“Keadilan hanyalah milik para pemangku
kepentingan yang dipanggulnya kepentingan keluarga dan kelompok mereka sendiri.
Sesungguhnya keadilan yang engkau meksudkan tentu tak pernah ada.” Penulis.
Malam
terasa semakin petang saja rasanya. Sekedar keliling desa atau rumah pun sulit.
Ya bisa-bisa patok, tiang, tembok, dan slokan menghadang ku yang sigap ingin
jalan-jalan menigtari desa Raja Mimpi yang sudah sejak dulu tak berlampu.
Meskipun tahun ini kata orang seberang adalah tahun millineum, tahun penuh
cahaya, tahun dimana setiap desa akan memperoleh lampu atau listrik tegasnya.
Hahaha mimpi, lampu didesa, tak kira ada !
“Progam
penerangan dari menteri Koplo kan sudah ada to mas, ” terang mas Bener dari
tempat duduknya. Aku diam menatapi bibirnya sambil menghalaunya dengan sedikit
tiupan asap tembakau dari bibirku ini.
“Betul
memang ada, tapi adanya itu hanya ada di pulau seberang sana ! dan percayakah
engkau kalau semuanya memang ada, tapi diseberang sana tuh…” jawab ku sambil
tersenyum menghina disamping meja bale di kanannya Mas Bener.
“Ya
kan masih proses to Jo_Rabejo, maklumlah tempat kita kan jauh dari kehidupan
masyarakat pada umumnya, tentu butuh waktu lama untuk melakukan pengiriman
perlengkapan atau peralatan teknis program lampu. Kau pun tau sendiri Jo_Kan pulau
kita ada diseberang ibu kota to bukan di ibu kota. Lagi pula pulau kita sulit
pula dijamah manusia. Angin besar tak menentu datangnya, obak tajam setinggi
kapal pinisi suka datang tanpa kenal kompromi. Belum lagi jalanan yang mampu
menenggelamkan truk setinggi bus-bus kota, ada pula hutan-hutan yang dijaga para
perampok. Bayangkan saja Jo… bagaimana bisa cepat ayo??”
“Ah,
peduli sekali kamu mas Ben. Lalu pedulikah aku dengan maksudmu itu !”
“Kita
sebagai masyarakat yang berbangsa, bernegara setidaknya harus mengikuti aturan
main negara kita, bukan !” ujar mas Bener dengan santainya menjerebab menghadap
Rabejo sambil memanggut-manggutkan kepalanya sembari menikmati bibir berair yang
muncrat-muncrat.
“Iya
juga mas Ben, kita memang harus begitu sebenarnya. Tapi… sialan, siapa pula
mereka itu !” sanggah Rabejo dengan menunjukan karakternya. “Meraka yang ada di
seberang sana tak lebih dari bajingan-bajingan kelas negara. Besopan sopan
kerjanya, berpakaian rapi-rapi hidupnya, berhamburan kemegahan dan kelebihan
kebiasaannya. Lalu kita mas Ben ! apakah mereka peduli pada kita disini ?”
Ditataplah mata Bener sekeras mungkin oleh Rabejo.
Dengan
santun Benerpun menjawab pernyataan-pernyataan tersebut, “aku paham maksudmu Jo
! kita disini hidup dalam penuh kegelapan malam, bersenandung sendu dengan
nyanyian malam bukan diskotik, café atau festival band. Kita disini tak ada
yang mengenakan pakaian bergaya-gaya kayak di ibu kota, yang ada hanya pakaian
kusut yang sudah pudar warnanya. Itu pun kita punya tiga tak lebih dari itu.
Itukan Jo maksudmu !”
“Mas
pun sudah mengerti, kenapa pula kita harus mematuhi aturan mereka. Bukankah
seluruh pajak yang kita bayar selama ini selalu saja di buat mayoran diseberang sana. Kopi, Sawit,
Batu bara dan Minyak Bumi serta Gas kita pun dianggkut dengan kapal-kapal yang
tak pernah memikirkan kesejah teraan kita. Bukankah ini tanah-tanah kita
sendiri, nenek moyang kita pula yang memperjuangkan tanah kelahiran ini bukan
mereka mas,” gregetnya memantaui jawaban mas Bener kakaknya.
“Rabejo,
engkau memang pintar. Engkau memang tahu pula masalah-masalah kesejahteraan
masyarkat di desa ini. Aku paham. Kau memang memiliki kemampuan diatas
masyarakat kita,” santun, diucapkannya kata-kata itu. “Rabejo adikku, umurmu
baru saja genap embat belas tahun, ku harap kau jadi orang hebat nantinya.
Merantaulah ke negeri seberang lalu temuilah Mas Bohong, Paman mu yang jadi DPR
di sana.”
“Kau
pikir aku lakas maukah mas. Tidak mas, tidak. Aku adalah anak negeri mimpi.
Disini tanah kelahiranku mas.” Tatap mata kakaknya sambil menghentak-hentakan
kaki kirinya ketanah. “Mas kemanah larinya keadilan, kemanakah larinya kekayaan
negeri ini. Orang-orang bertopi lebar itu, sepatunya yang tinggi, setinggi
lutut. Mampu saja menguasai harta bumi kita. Bahkan para perampok di sebarang
hutan pun tak mampu melakukan apa-apa. Seolah mereka telah mendapat jatah
rasanya mas. Padahal mereka dulunya merampok untuk mengabdikan dirinya pada
masyarkat, dan hasil rampokan mereka sering mereka bagikan pada masyarakat
kita. Sial, sialan mereka semua mas.”
“Janganlah
begitu adikku. Aku hanyalah tukang kebun yang hasil panennya tak lebih dari
persediaan makan kita selama delapan bulan.” Melas Bener pada ku. “Bukankah sebenarnya mas bener juga lebih
pintar otaknya. Karena ketika masih ada sekolah di desa ini, ia pernah mendapat
penghargaan sebagai siswa terpandai di sekolahnya.” Anganku, bayangkan
kecerdasan mas Bener. Mas Bener adalah anak yang cerdas benar. Tak ada remaja
di desa ini yang mampu mengalahkannya. Iya tak ada rasanya.
“Kamu
cari saja pamanmu Sombong Jo, disana kau bisa bantu perbaiki kehidupan keluarga
kita.” Sahut Bener yang sambil mengelus-elus rambut kepala adikknya.
“Tidak,
mas, tidak_kenapa pula aku harus mengemis pada paman. Paman yang jadi DPR saja
tak mampu berbuat apa-apa pada tanah kelahirannya sendiri. Ia pun seolah telah
lupa mas. Mas aku hanya butuh keadilan negeri ini. Dimanakah keberadaan negeri
ini sebenarnya. Tetangga kita mas, Apes, ia sudah hampir dua puluh tahun sakit
akalnya,ingatannya. Tapi tetap saja obat, dokter, atau pun rumah sakait desa
tak pernah singgah ke desa ini. Ramah, yang mantan Veteran pun kini hidup sebagai
penghuni ranjang yang menggantungkan hidupnya pada belas kasihan para tetangga
kita. Pak Kroso mas, pak Kroso yang dulu orang paling di anut di negeri ini.
Kini makamnya saja tak terawatt. Kecuali para kecoak dan tikus hutan yang
merwatnya ketika para hewan itu hilir mudik dari lobang rumahnya. Sekaligus
menyapu debu-debu kuburan mas.”
“Kau
pun benar dengan hal itu Jo.” Jawabnya Bener sambil menatap lembut bibir adinya
yang semakin mengeras suaranya.
“Mas,
dimana keadilan negara ini. Sialan mereka semua. Tak tahuan mereka penderitaan
masyarakat kita. Mereka ambil kekayaan dari tanah ini. Mereka jaga ketat harta
kami dengan kitaran tembok-tembot setebal tubuh manusia tergemuk di desa ini.
Belum lagi para penjaga yang berparas seperti intel pada gambar Koran, bedil
berlaras panjang serta pakaian dan kaca mata hitam melekat pada tubuhnya.”
“Adikku,
kau pun tahu hal itu. Sungguh engkaulah adikku yang pintar yang mengerti nasib
masyarakat desa ini.” Mas Bener yang mencoba meredam ucapan Rabejo. Namun
matanya yang merah merona, bulu-bulu ditangannya yang semakin bergetar karena
semangatnya tak mampulah rasanya Bener menenangkan adikknya dengan cepat.
“Mas
dimana keadilan bangsa ini. Mereka mati terkubur ditanahnya sendiri, desa Raja
Mimpi ini. Mereka lahir pun dari desa ini. Tapi kenapa mereka seolah tak
memiliki apa yang dimiliki nya sendiri. Bahkan mungkin, hutan-hutan diseberang
sana itu tingal menunggu waktu saja untuk gundul dan penuh sawit nantinya. Dan
dataran tinggi di belakang rumah nantinya pastiakan rata dengan tanah ketika
usia kita sudah using dimakan fajar mas.” Tetap saja Rabejo menghentak-hentakan
kakinya dan sabil menikmati elusan lengan kakak tercintanya.
“Ting-tong-ting-tong-ting-tong,” detak jam menandakan pukul 20.00 malam. Dan biasanya, di
jam seperti ini masyarakat desa sudah mulai mematikan obor mereka, dan
berangkat keranjangnya masing-masing dan segera mengenakan selimut di antara
dada mereka. Hingga fajar menyapa.
“Mas,
dimanakah keadilan itu mas. Lampu kita tak punya, di desa seluas ini hanya lima
orang yang punya TV. Tapi bukan itu saja mas. Listrik, Motor, mobil, alat
pemasak nasi, penggorengan pada dapur, komputer, kotak box yang dapat mengeluarkan suara lagu,
mesin yang bisa berjalan di atas kebun-kebun yang mampu merubah bentuk tanah
yang rata menjadi tak karuan mas. Dan itu semua mas, tak bakalan ada yang punya
kayaknya mas.” Terus saja, tanyanya dalam pekatnya malam yang semakain menusuk
kulit dinginnya.
“Rabejo
adikku, kau harus tahu. Para pejuang selama ini berjuang demi negeri ini, demi
seluruh masyarakat bangsa. Bukan untuk desa kita saja. Para masyakat kita tak
ada yang sekolah hingga SMP, SMA atau duduk di perguruan tinggi seperti
orang-orang diseberang sana. Itulah sebabnya mereka tak mampu berbicara apapun
pada para penguasa negeri, penguasaha di belakang atau samping desa ini.” Jawab
mas Bener padaku.
Lengan
kirinya mas Bener yang sambil memegangi gagang rokok lintingannya sendiri dan lengan kanannya yang ia letakkan ke atas
kepalaku. Aku masih mengamati dan menunggu bibir mas Bener yang seolah belum
juga berniat menghentikan pesannya padaku.
“Adikku,
negeri ini memang begini adanya. Dulu yang kalah mengidam-idamkan kemenangan.
Namun setelah itu, mereka memanfaatkan yang kalah itu, saudarannya sendiri.
Adil menurut mereka mungkin adalah adil menurut keluarga dan kelompok mereka
sendiri. Kini, di seberang sana kekayaan kita berada, di seberang sana pula apa
saja yang kau bicarakan tadi ada. Tapi adikku, apalah daya kita ini ? kita
hanyalah orang kecil yang tak punya sedikit keberanian untuk melawan. Yang
tersisa adalah keberanian untuk menjaga keluarga kita masing-masing dan tak
lupa ketabahan hati yang telah pasrah lagi jenuh memikirkan kedhaliman para
penguasannya, adikku. Kita adalah orang yang tak beradap dan tak berpendidikan
kata mereka. Kadang dalam bilik hati, mereka juga sebut kita ini sampah-sampah
negeri. Itulah keadilan adikku, itulah keadilan, keadilan yang sekarang.”
“Lalu
mas,” herannya Rabejo mendengar jawab masnya. Dan matanya yang masih penuh
tanda tanya, untuk menggali seluruh maksud kata-kata masnnya.
“Adikku,
kalau bisa pergilah ke kota sana. Bersekolah-lah engkau, meski mengemis pada
pamanmu. Tak apa adikku, dan jika nanti kau telah berpendidikan lagi penya
kuasa pulanglanglah. Perbaiki desa ini, ambillah seluruh kekayaan negeri ini
nantinya dengan tanganmu sendiri, dengan hukum negara in. kau mengerti adikku.”
“Iya
mas !” tenanglah kini ia mendengar pesan masnya itu.
“Hari
sudah malam adikku, kini waktunya kita tidur. Besok ! kita berdua harus pergi
berkebun seperti biasanya.” Lanjut mas Bener, tuturnya pada adikknya.
Dimalam
yang begitu sunyi, sesunyi kuburan di desa-desa. Kegelapan tanpa penerang
kecuali bintang kemintang dan bulan. Nyanyian para hewan penglana dunia
kegelapanpun beriringan. Di desa yang tak butuh para satpam untuk menjaga
kekayaan. Mereka pun mematikan lampu obor di depan mejanya. Dan menuju ranjang
tidur.
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda