Rabu, 04 Juni 2014

MACAK_AN[1]

Keadilan hanyalah milik para pemangku kepentingan yang dipanggulnya kepentingan keluarga dan kelompok mereka sendiri. Sesungguhnya keadilan yang engkau meksudkan tentu tak pernah ada.” Penulis.
       Malam terasa semakin petang saja rasanya. Sekedar keliling desa atau rumah pun sulit. Ya bisa-bisa patok, tiang, tembok, dan slokan menghadang ku yang sigap ingin jalan-jalan menigtari desa Raja Mimpi yang sudah sejak dulu tak berlampu. Meskipun tahun ini kata orang seberang adalah tahun millineum, tahun penuh cahaya, tahun dimana setiap desa akan memperoleh lampu atau listrik tegasnya. Hahaha mimpi, lampu didesa, tak kira ada !


       “Progam penerangan dari menteri Koplo kan sudah ada to mas, ” terang mas Bener dari tempat duduknya. Aku diam menatapi bibirnya sambil menghalaunya dengan sedikit tiupan asap tembakau dari bibirku ini.
       “Betul memang ada, tapi adanya itu hanya ada di pulau seberang sana ! dan percayakah engkau kalau semuanya memang ada, tapi diseberang sana tuh…” jawab ku sambil tersenyum menghina disamping meja bale di kanannya Mas Bener.
       “Ya kan masih proses to Jo_Rabejo, maklumlah tempat kita kan jauh dari kehidupan masyarakat pada umumnya, tentu butuh waktu lama untuk melakukan pengiriman perlengkapan atau peralatan teknis program lampu. Kau pun tau sendiri Jo_Kan pulau kita ada diseberang ibu kota to bukan di ibu kota. Lagi pula pulau kita sulit pula dijamah manusia. Angin besar tak menentu datangnya, obak tajam setinggi kapal pinisi suka datang tanpa kenal kompromi. Belum lagi jalanan yang mampu menenggelamkan truk setinggi bus-bus kota, ada pula hutan-hutan yang dijaga para perampok. Bayangkan saja Jo… bagaimana bisa cepat ayo??”
       “Ah, peduli sekali kamu mas Ben. Lalu pedulikah aku dengan maksudmu itu !”
       “Kita sebagai masyarakat yang berbangsa, bernegara setidaknya harus mengikuti aturan main negara kita, bukan !” ujar mas Bener dengan santainya menjerebab menghadap Rabejo sambil memanggut-manggutkan kepalanya sembari menikmati bibir berair yang muncrat-muncrat.
       “Iya juga mas Ben, kita memang harus begitu sebenarnya. Tapi… sialan, siapa pula mereka itu !” sanggah Rabejo dengan menunjukan karakternya. “Meraka yang ada di seberang sana tak lebih dari bajingan-bajingan kelas negara. Besopan sopan kerjanya, berpakaian rapi-rapi hidupnya, berhamburan kemegahan dan kelebihan kebiasaannya. Lalu kita mas Ben ! apakah mereka peduli pada kita disini ?” Ditataplah mata Bener sekeras mungkin oleh Rabejo.
       Dengan santun Benerpun menjawab pernyataan-pernyataan tersebut, “aku paham maksudmu Jo ! kita disini hidup dalam penuh kegelapan malam, bersenandung sendu dengan nyanyian malam bukan diskotik, café atau festival band. Kita disini tak ada yang mengenakan pakaian bergaya-gaya kayak di ibu kota, yang ada hanya pakaian kusut yang sudah pudar warnanya. Itu pun kita punya tiga tak lebih dari itu. Itukan Jo maksudmu !”
       “Mas pun sudah mengerti, kenapa pula kita harus mematuhi aturan mereka. Bukankah seluruh pajak yang kita bayar selama ini selalu saja di buat mayoran diseberang sana. Kopi, Sawit, Batu bara dan Minyak Bumi serta Gas kita pun dianggkut dengan kapal-kapal yang tak pernah memikirkan kesejah teraan kita. Bukankah ini tanah-tanah kita sendiri, nenek moyang kita pula yang memperjuangkan tanah kelahiran ini bukan mereka mas,” gregetnya memantaui jawaban mas Bener kakaknya.
       “Rabejo, engkau memang pintar. Engkau memang tahu pula masalah-masalah kesejahteraan masyarkat di desa ini. Aku paham. Kau memang memiliki kemampuan diatas masyarakat kita,” santun, diucapkannya kata-kata itu. “Rabejo adikku, umurmu baru saja genap embat belas tahun, ku harap kau jadi orang hebat nantinya. Merantaulah ke negeri seberang lalu temuilah Mas Bohong, Paman mu yang jadi DPR di sana.”
       “Kau pikir aku lakas maukah mas. Tidak mas, tidak. Aku adalah anak negeri mimpi. Disini tanah kelahiranku mas.” Tatap mata kakaknya sambil menghentak-hentakan kaki kirinya ketanah. “Mas kemanah larinya keadilan, kemanakah larinya kekayaan negeri ini. Orang-orang bertopi lebar itu, sepatunya yang tinggi, setinggi lutut. Mampu saja menguasai harta bumi kita. Bahkan para perampok di sebarang hutan pun tak mampu melakukan apa-apa. Seolah mereka telah mendapat jatah rasanya mas. Padahal mereka dulunya merampok untuk mengabdikan dirinya pada masyarkat, dan hasil rampokan mereka sering mereka bagikan pada masyarakat kita. Sial, sialan mereka semua mas.”
       “Janganlah begitu adikku. Aku hanyalah tukang kebun yang hasil panennya tak lebih dari persediaan makan kita selama delapan bulan.” Melas Bener pada ku. “Bukankah sebenarnya mas bener juga lebih pintar otaknya. Karena ketika masih ada sekolah di desa ini, ia pernah mendapat penghargaan sebagai siswa terpandai di sekolahnya.” Anganku, bayangkan kecerdasan mas Bener. Mas Bener adalah anak yang cerdas benar. Tak ada remaja di desa ini yang mampu mengalahkannya. Iya tak ada rasanya.
       “Kamu cari saja pamanmu Sombong Jo, disana kau bisa bantu perbaiki kehidupan keluarga kita.” Sahut Bener yang sambil mengelus-elus rambut kepala adikknya.
       “Tidak, mas, tidak_kenapa pula aku harus mengemis pada paman. Paman yang jadi DPR saja tak mampu berbuat apa-apa pada tanah kelahirannya sendiri. Ia pun seolah telah lupa mas. Mas aku hanya butuh keadilan negeri ini. Dimanakah keberadaan negeri ini sebenarnya. Tetangga kita mas, Apes, ia sudah hampir dua puluh tahun sakit akalnya,ingatannya. Tapi tetap saja obat, dokter, atau pun rumah sakait desa tak pernah singgah ke desa ini. Ramah, yang mantan Veteran pun kini hidup sebagai penghuni ranjang yang menggantungkan hidupnya pada belas kasihan para tetangga kita. Pak Kroso mas, pak Kroso yang dulu orang paling di anut di negeri ini. Kini makamnya saja tak terawatt. Kecuali para kecoak dan tikus hutan yang merwatnya ketika para hewan itu hilir mudik dari lobang rumahnya. Sekaligus menyapu debu-debu kuburan mas.”
       “Kau pun benar dengan hal itu Jo.” Jawabnya Bener sambil menatap lembut bibir adinya yang semakin mengeras suaranya.
       “Mas, dimana keadilan negara ini. Sialan mereka semua. Tak tahuan mereka penderitaan masyarakat kita. Mereka ambil kekayaan dari tanah ini. Mereka jaga ketat harta kami dengan kitaran tembok-tembot setebal tubuh manusia tergemuk di desa ini. Belum lagi para penjaga yang berparas seperti intel pada gambar Koran, bedil berlaras panjang serta pakaian dan kaca mata hitam melekat pada tubuhnya.”
       “Adikku, kau pun tahu hal itu. Sungguh engkaulah adikku yang pintar yang mengerti nasib masyarakat desa ini.” Mas Bener yang mencoba meredam ucapan Rabejo. Namun matanya yang merah merona, bulu-bulu ditangannya yang semakin bergetar karena semangatnya tak mampulah rasanya Bener menenangkan adikknya dengan cepat.
       “Mas dimana keadilan bangsa ini. Mereka mati terkubur ditanahnya sendiri, desa Raja Mimpi ini. Mereka lahir pun dari desa ini. Tapi kenapa mereka seolah tak memiliki apa yang dimiliki nya sendiri. Bahkan mungkin, hutan-hutan diseberang sana itu tingal menunggu waktu saja untuk gundul dan penuh sawit nantinya. Dan dataran tinggi di belakang rumah nantinya pastiakan rata dengan tanah ketika usia kita sudah using dimakan fajar mas.” Tetap saja Rabejo menghentak-hentakan kakinya dan sabil menikmati elusan lengan kakak tercintanya.
       Ting-tong-ting-tong-ting-tong,” detak jam menandakan pukul 20.00 malam. Dan biasanya, di jam seperti ini masyarakat desa sudah mulai mematikan obor mereka, dan berangkat keranjangnya masing-masing dan segera mengenakan selimut di antara dada mereka. Hingga fajar menyapa.
       “Mas, dimanakah keadilan itu mas. Lampu kita tak punya, di desa seluas ini hanya lima orang yang punya TV. Tapi bukan itu saja mas. Listrik, Motor, mobil, alat pemasak nasi, penggorengan pada dapur, komputer,  kotak box yang dapat mengeluarkan suara lagu, mesin yang bisa berjalan di atas kebun-kebun yang mampu merubah bentuk tanah yang rata menjadi tak karuan mas. Dan itu semua mas, tak bakalan ada yang punya kayaknya mas.” Terus saja, tanyanya dalam pekatnya malam yang semakain menusuk kulit dinginnya.
       “Rabejo adikku, kau harus tahu. Para pejuang selama ini berjuang demi negeri ini, demi seluruh masyarakat bangsa. Bukan untuk desa kita saja. Para masyakat kita tak ada yang sekolah hingga SMP, SMA atau duduk di perguruan tinggi seperti orang-orang diseberang sana. Itulah sebabnya mereka tak mampu berbicara apapun pada para penguasa negeri, penguasaha di belakang atau samping desa ini.” Jawab mas Bener padaku.
       Lengan kirinya mas Bener yang sambil memegangi gagang rokok lintingannya sendiri dan lengan kanannya yang ia letakkan ke atas kepalaku. Aku masih mengamati dan menunggu bibir mas Bener yang seolah belum juga berniat menghentikan pesannya padaku.
       “Adikku, negeri ini memang begini adanya. Dulu yang kalah mengidam-idamkan kemenangan. Namun setelah itu, mereka memanfaatkan yang kalah itu, saudarannya sendiri. Adil menurut mereka mungkin adalah adil menurut keluarga dan kelompok mereka sendiri. Kini, di seberang sana kekayaan kita berada, di seberang sana pula apa saja yang kau bicarakan tadi ada. Tapi adikku, apalah daya kita ini ? kita hanyalah orang kecil yang tak punya sedikit keberanian untuk melawan. Yang tersisa adalah keberanian untuk menjaga keluarga kita masing-masing dan tak lupa ketabahan hati yang telah pasrah lagi jenuh memikirkan kedhaliman para penguasannya, adikku. Kita adalah orang yang tak beradap dan tak berpendidikan kata mereka. Kadang dalam bilik hati, mereka juga sebut kita ini sampah-sampah negeri. Itulah keadilan adikku, itulah keadilan, keadilan yang sekarang.”
       “Lalu mas,” herannya Rabejo mendengar jawab masnya. Dan matanya yang masih penuh tanda tanya, untuk menggali seluruh maksud kata-kata masnnya.
       “Adikku, kalau bisa pergilah ke kota sana. Bersekolah-lah engkau, meski mengemis pada pamanmu. Tak apa adikku, dan jika nanti kau telah berpendidikan lagi penya kuasa pulanglanglah. Perbaiki desa ini, ambillah seluruh kekayaan negeri ini nantinya dengan tanganmu sendiri, dengan hukum negara in. kau mengerti adikku.”
       “Iya mas !” tenanglah kini ia mendengar pesan masnya itu.
       “Hari sudah malam adikku, kini waktunya kita tidur. Besok ! kita berdua harus pergi berkebun seperti biasanya.” Lanjut mas Bener, tuturnya pada adikknya.
       Dimalam yang begitu sunyi, sesunyi kuburan di desa-desa. Kegelapan tanpa penerang kecuali bintang kemintang dan bulan. Nyanyian para hewan penglana dunia kegelapanpun beriringan. Di desa yang tak butuh para satpam untuk menjaga kekayaan. Mereka pun mematikan lampu obor di depan mejanya. Dan menuju ranjang tidur.



[1]Macak_an atau Mas’ CARIKAN AKU KEADILAN napA !

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda