Kamis, 29 Mei 2014

SANG KORBAN

Jurang Samudra Pemikiran
       Surya gemilang menjelma menjadi anjing penjilat kekuasaan. Gangang sepak Trunojoyo memudar benar di medan belantara. Warna putih suci yang manakah sebagai gambaran keindahan, lantas seperti apakah keberadaan puithnya. Gerbang kejujuran memangkas ratusan pemikiran, menguak merajalela kemana pun jua.
Kabut malam pun amat ramai bergumam sembari udara memanas menyambut ketika itu.
       Aneh begitu sangat…! Siapa yang dapat dipercaya, siapa pula yang dapat mencipta damai, siapa jua yang mampu menukas menantang scenario alam Ketuhanan. Begitu lagak tangan dan bibir sesombong rahwana yang tak mugkin ditelan bumi. Penyimpangan jalan dari jalan awalnya mereka tak begitu sadar, apa! Kenapa! Bagaimana! seperti apa!  Kapan! dimana air diperlakukan sebagai air, air diperlakukan seperti pisau, atau air dipandang sebagai sinar terang yang menerangi relung, menetes pelan-pelan dari atap langit-langit kehidupan. Dimana penuh belalak mata bahwa air itu diambil dari samudra pemikiran.
       Meski kornea dan pupil itu menatapkan mana yang benar, mana salah, mana baik, mana buruk, mana yang diutamakan, mana yang ditinggalkan, mereka jelas tau pasti. Daun telinga yang biasanya menyimpan suara-suara surga penuh kebisingan kebenaran, hidung yang sering mencium harumnya kedamaian, kesejahteraan, kebijaksanaan telah mati seketika didepan ratusan hidung lainya, dan disahut metinya hidung-hidung berikutnya. Kulit yang dulu mampu merasakan sakit ketika dicubit, dipukul, disobek, ditendang, kini mulai belajar anti pati-anti rasa. Hati itu memang sebagai hakim pengambilan keputusan kian frustasi dan akhirnya duduk menyendiri menjauhi kulit, telinga, hidung, mata, bahkan saudara sekandngnya, akal namanya.
       Bukan gender, bukan rupa fisik, bukan pula nafsu yang sering membuat gaduh kehidupan mahluk suci. Lantas bagaimanakah caranya mempertanggung jawabkan atas penciptaan sifat dan keputusan kita hari ini. Kepentingan diatas kepentingan meraja buana, tak perduli kawan siapa lawan, perang pemikiran mediktatkan cerita sejarah silam. Bukan kerajaan Majapahit dengan kadigdayaannya, bukan Babilonia dengan keagungannya, bukan pula Athena dengan kemegahan dan perkasanya, tapi bagaimana cara meneruskan kerajaan-kerajaan ini untuk lebih bermuara pada keadilan yang semestinya yaitu keadilan hidup dan berprilaku sesuai aturan yang berlaku.
       Korban-korban politik berjejeran. Gila-benar amat benar – benar gila mereka yang pernah belajar mengesensikan sang Pancasila dan Garuda. Pejantan dan betina hilang arah organisasi demi kepentingan sepihak yaitu rasa sosialisme kelompok. Sadar atau tidak mereka bahwa mereka sedang berdealiktik-romantisme dengan pandangan politik devide at empera. Anak-anak belia yang baru saja mulai menjajakan kakinya di universitasku begitu bedanya hari ini. Mereka diseret kekanan-kekiri ibarat kambing muda dan dungu. Ada juga yang seperti kera topeng monyet ! mereka sebenarnya mampu menemukan apa dan kenapa dibalik ajakan si sutradara forum. Tapi naas monyet-monyet itu tak pernah rela untuk berfikir demikian. Ada juga yang seperti Singa tak bertaring, maka akhirnya apa? Singa itu tak mampu mengayomi anak buahnya, meskipun dia sebagai raja Hutan. Di benakku juga terjerembab memaknai sisilainya bahwa akan muncul Hayna-Hayna picik dengan kemampuan oportunismenya.
       Aku benar benar tak habis pikir…
      
Malam 29 Nopember 2013
       Malam ini tanggal 29 Nopember 2013 dimana sekitar jam 20:10 WIB hadirlah aku dalam acara Musyawarah Mahasiswa (MUSWA). Acara itu akan membahas kegiatan rutinan kampusku untuk melaksanakan tatacara pemilu, pola pemilihan pemimpin sidang (presidium) dan pemilihan  presiden mahasiswa (presma). Aku tahu betul bahwa mahasiswa Universitas Trunojoyo terbesit total kurang lebih 10.000 banyaknya. Tapi malam ini mereka semua ada dimana dalam acara muswa ini. Kenapa aku tidak boleh bungung. Dari total mahasiswa hanya sekitar 600 saja mereka yang menghadiri muswa di gedung penampung 3000 jiwa ini. Suatu kewajaran bukan atas bingungku. Cakra lantai dasar saksi bisu bukan atas hari ini.
       Selain itu sebenarnya muswa ini tujuannya apa? Aku kabur untuk memaknainya kalau aku melihat suasana ini. Semua suadah beradu argument, pengelompokan kelompok sosial, idealisme-idealisme pribadi begitu menguat, hausnya akan kekuasaan, lebelisasi kelompok dan pamorisme juga salah satu dalang tujuan mereka. Malam ini ada yang mencoba eksis dihadapan 600 mahasiswa dan beberapa masyarakat UTM.
       Temanku mala mini ada di dua kubu. Mereka saling berebut meminta dukungan. Aku sadar aku dulu pernah punya kedekatan di organisasi merah sebagai kubu timur. Beberapa teman akrapku juga ada di kubu barat yang semua orangnya cenderung dari kaum kuning. Sungkannya aku yang berusaha sebagai golput dalam pemilihan presidium. Kanapa, aku disahut hilir mudik dari kawan-kawan merah untuk menerapkan printah satu suara satu komando. Padahal hari ini aku sedang berusaha melepas bajuku dan mencoba tak mengenakan baju di sini.
       Tatapan mata tajam merenggut kebebasanku. Bukanlah salah mereka ketika mereka marah, kesal, emosi dalam voting penentuan presidium kala itu. Inilah risiko yang siap atau tidak harus aku terima dasarnya. Antara chauvinistic dan independenistik di persandungkan pada dunia persaudaraan.
           

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda