Jurang Samudra Pemikiran
Surya gemilang menjelma
menjadi anjing penjilat kekuasaan. Gangang sepak Trunojoyo memudar benar di medan
belantara. Warna putih suci yang manakah sebagai gambaran keindahan, lantas
seperti apakah keberadaan puithnya. Gerbang kejujuran memangkas ratusan
pemikiran, menguak merajalela kemana pun jua.
Kabut malam pun amat ramai
bergumam sembari udara memanas menyambut ketika itu.
Aneh begitu sangat…!
Siapa yang dapat dipercaya, siapa pula yang dapat mencipta damai, siapa jua
yang mampu menukas menantang scenario alam Ketuhanan. Begitu lagak tangan dan
bibir sesombong rahwana yang tak mugkin ditelan bumi. Penyimpangan jalan dari
jalan awalnya mereka tak begitu sadar, apa! Kenapa! Bagaimana! seperti
apa! Kapan! dimana air diperlakukan
sebagai air, air diperlakukan seperti pisau, atau air dipandang sebagai sinar
terang yang menerangi relung, menetes pelan-pelan dari atap langit-langit
kehidupan. Dimana penuh belalak mata bahwa air itu diambil dari samudra
pemikiran.
Meski kornea dan pupil
itu menatapkan mana yang benar, mana salah, mana baik, mana buruk, mana yang
diutamakan, mana yang ditinggalkan, mereka jelas tau pasti. Daun telinga yang
biasanya menyimpan suara-suara surga penuh kebisingan kebenaran, hidung yang sering
mencium harumnya kedamaian, kesejahteraan, kebijaksanaan telah mati seketika
didepan ratusan hidung lainya, dan disahut metinya hidung-hidung berikutnya.
Kulit yang dulu mampu merasakan sakit ketika dicubit, dipukul, disobek,
ditendang, kini mulai belajar anti pati-anti rasa. Hati itu memang sebagai
hakim pengambilan keputusan kian frustasi dan akhirnya duduk menyendiri
menjauhi kulit, telinga, hidung, mata, bahkan saudara sekandngnya, akal
namanya.
Bukan gender, bukan
rupa fisik, bukan pula nafsu yang sering membuat gaduh kehidupan mahluk suci.
Lantas bagaimanakah caranya mempertanggung jawabkan atas penciptaan sifat dan
keputusan kita hari ini. Kepentingan diatas kepentingan meraja buana, tak
perduli kawan siapa lawan, perang pemikiran mediktatkan cerita sejarah silam.
Bukan kerajaan Majapahit dengan kadigdayaannya, bukan Babilonia dengan
keagungannya, bukan pula Athena dengan kemegahan dan perkasanya, tapi bagaimana
cara meneruskan kerajaan-kerajaan ini untuk lebih bermuara pada keadilan yang
semestinya yaitu keadilan hidup dan berprilaku sesuai aturan yang berlaku.
Korban-korban politik
berjejeran. Gila-benar amat benar – benar gila mereka yang pernah belajar
mengesensikan sang Pancasila dan Garuda. Pejantan dan betina hilang arah
organisasi demi kepentingan sepihak yaitu rasa sosialisme kelompok. Sadar atau
tidak mereka bahwa mereka sedang berdealiktik-romantisme dengan pandangan
politik devide at empera. Anak-anak
belia yang baru saja mulai menjajakan kakinya di universitasku begitu bedanya
hari ini. Mereka diseret kekanan-kekiri ibarat kambing muda dan dungu. Ada juga
yang seperti kera topeng monyet ! mereka sebenarnya mampu menemukan apa dan
kenapa dibalik ajakan si sutradara forum. Tapi naas monyet-monyet itu tak
pernah rela untuk berfikir demikian. Ada juga yang seperti Singa tak bertaring,
maka akhirnya apa? Singa itu tak mampu mengayomi anak buahnya, meskipun dia
sebagai raja Hutan. Di benakku juga terjerembab memaknai sisilainya bahwa akan
muncul Hayna-Hayna picik dengan kemampuan oportunismenya.
Aku benar benar tak
habis pikir…
Malam 29 Nopember 2013
Malam ini tanggal 29
Nopember 2013 dimana sekitar jam 20:10 WIB hadirlah aku dalam acara Musyawarah
Mahasiswa (MUSWA). Acara itu akan membahas kegiatan rutinan kampusku untuk
melaksanakan tatacara pemilu, pola pemilihan pemimpin sidang (presidium) dan
pemilihan presiden mahasiswa (presma).
Aku tahu betul bahwa mahasiswa Universitas Trunojoyo terbesit total kurang lebih
10.000 banyaknya. Tapi malam ini mereka semua ada dimana dalam acara muswa ini.
Kenapa aku tidak boleh bungung. Dari total mahasiswa hanya sekitar 600 saja
mereka yang menghadiri muswa di gedung penampung 3000 jiwa ini. Suatu kewajaran
bukan atas bingungku. Cakra lantai dasar saksi bisu bukan atas hari ini.
Selain itu sebenarnya
muswa ini tujuannya apa? Aku kabur untuk memaknainya kalau aku melihat suasana
ini. Semua suadah beradu argument, pengelompokan kelompok sosial, idealisme-idealisme
pribadi begitu menguat, hausnya akan kekuasaan, lebelisasi kelompok dan
pamorisme juga salah satu dalang tujuan mereka. Malam ini ada yang mencoba eksis
dihadapan 600 mahasiswa dan beberapa masyarakat UTM.
Temanku mala mini ada
di dua kubu. Mereka saling berebut meminta dukungan. Aku sadar aku dulu pernah
punya kedekatan di organisasi merah sebagai kubu timur. Beberapa teman akrapku
juga ada di kubu barat yang semua orangnya cenderung dari kaum kuning.
Sungkannya aku yang berusaha sebagai golput dalam pemilihan presidium. Kanapa,
aku disahut hilir mudik dari kawan-kawan merah untuk menerapkan printah satu
suara satu komando. Padahal hari ini aku sedang berusaha melepas bajuku dan mencoba
tak mengenakan baju di sini.
Tatapan mata tajam
merenggut kebebasanku. Bukanlah salah mereka ketika mereka marah, kesal, emosi
dalam voting penentuan presidium kala itu. Inilah risiko yang siap atau tidak
harus aku terima dasarnya. Antara chauvinistic dan independenistik di
persandungkan pada dunia persaudaraan.
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda