Selasa, 27 Mei 2014

LPM Keilmuanku

Siapa aku ?
       Pernahkah kamu mendengar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Keilmuan ? Merupakan suatu LPM yang dimiliki fakultas tehnik di kampus kerajaan Timur Jawa. LPM ini berdiri mendahului beberapa LPM dikampus itu. Tapi apakah anda juga tahu beberapa permasalahan eksternal yang dihadapinya selama ini? Saya kira tidak, dengan keras aku bilang tidak.
       Menjadi sebuah pembicaraan yang penting untuk di cermati ketika suatu lembaga pers namun orietasinya dibelokan ke pengada acara. Yah, meski pun acara yang berkaitan dengan kejurnalistikan maksudnya. Seminar atau pun
workshop sering digagas oleh mereka setiap tahunnya. Mungkin dua sampai tiga kalilah porsinya.
       Perlu dicatat, mereka seperti itu bukan karena kepentingan pribadi. Dugaan adanya pemaksaan dari birokrat fakultas untuk mengadakan acara-acara melalui dana kemahasiswaan menjadi rutinitas yang sampai saat ini belum dapat dirubah. Sekedar memfokus diri dalam peliputan dan penerbitan bulletin bulanan, tak juga usai rasanya. Mungkin juga, tekanan non apresitif sifatnya. Munkin saja. Ya mungkin saja.
       Dilebur tahun yang selalu mendekatkan akan kelulusan. Menderukan auman kegelisahan yang malu rasanya didengar tetangga atau saudara. “Jangan-jangan nanti mereka di kebiri nilainya,” kata penulis dalam angannya.  Menelusup hingga ke rongga-rongga tempat keluarnya air mata dalam hati tak juga dirasa sifatnya. Mencari arah latar pemikiran tak juga sampai. Puisi nrimo ing pandom selalu saja membuat resah hati yang seolah terhibur dengan lagu Indonesia Raya. Demokrasi menjadi alat promosi. Kebebasan di makan birokrat pendidikan. Itu, itu lah rasanya jadi pemain pers mahasiswa.
       Hari semakin berselang mengganti-ganti wajahnya. Kadang riang, kadang muram, kadang juga garang kadang juga pucat tanpa pengharapan. Begitulah LPM itu dipertahankan.
       “Hai nak, pakailah dana lain untuk nerbit bulletin ! Janga pakai dana ini ya.”
       Hei nak, kapan mengadakan acara?” Bisikan yang selalu menghantui kertas-kertas yang mulus warnanya, suci kadarnya hingga beberapa puluh bulan tinta pun tak juga menyentuhnya.
       Hahaha, “kebal tanpo diroso, loro yen ngerti ngono,” kata penulis dalam sastra jawanya.
       Lembaga pers seperti badan kelengkapan kabinet kemahasiswaan. Kesusksesan dilihat dari seringnya membuat acara. Pamor dan popularitas akhir dari tujuan. Begitulah suasana kampus di kerajaan Timur Jawa.
      
Tolong…!!!
       Ada Pembina yang tak nampak taring-taring kepahlawanannya, kecuali dorongan internal pada kami. Ada tangan pers tapi tak menulis, ada pikiran pers tapi tak berfikir, ada pena penuh tinta dekat di hati namun semakin menjauh rasanya ketika kita ingin mendekat mengambilnya. Ada kertas yang menangis bertahun-tahun menanti sapa manusia. Ada lembaga yang selalu tertawa melihat orang yang didalamnya ibarat hidup dalam penjara. Ada penguasa sistem bertangan besi, kadang memburu ancam-nilai dan kelulusan pusaka perang. Ada mata-mata seperti penonton bola diam menyaksikan suasana macam ini. Ada pula tetangga yang asik menggunjing lembaga ini, “lembaga pers kok seperti itu,” anggap penulis melalui pembicaraan ringan dari warung kopi. Ada- ya, yang jelas ada ada saja.
       Beberapa tahun lalu dua kader mampu menerbitkan bulletin bulanan, mengadakan acara besar. Hanya dua kader.
       Tahun lalu anggotanya mengganyang sistem sebelum sekarang dimakan sistem
       Tahun lalu anak cucunya tak terhitung jumlahnya sebelum sekarang diambang kepunahan
       Tahun lalu berdiri lembaga Kontroling sekaligus media arbitrase sebelum konstitusi penguasa menghukuminya hukum rimba.
       Wahai sahabat, wahai tetangga, wahai saudara sekandung, wahai pemuda-pemudi pemilik penguasa pemikiran yang setiap hari pulang pergi dari rumah pendidikan. Bukan maksud memohon atau berteriak mencari bala bantuan. Tapi tahukah engkau yang ku rasakan. Tahukah engkau bagaimana rasanya menjadi diriku. Tahukah engkau, sekali lagi tahukah engkau.
       Aku sakit tak ada obat menjemputku. Aku haus tak ada tempat sumber mata air untukku cari lalu ku teguk demi teguk ketika bertemu. Aku lapar tak ada sesuap nasi terhidang di mejaku walau aku kadang tahu kalau di meja sebelah apa pun dapat kau temuai, macam aneka olahan tepung, telur, nasi, apa saja ada disana. Aku merasa sendiri tak satu pun tempat kosong diantara kursi-kursi yang dipenuhi audien untukku saling sapa-saling cerita.
       Dari Utara, Selatan, Barat, atau pun Timur bagiku ketakutan ada disegala penjuru. Birokrat dekanatlah aktor skaligus sutradara dalam karya ini.
        Tolong-tolong-tolonglah aku dalam diamku, dalam sombongku. Tolonglah aku dalam iklasmu, tolonglah aku tanpa baju dan kepentingan bajumu. Tolonglah-tolonglah aku melalui kewenangan dan peduli kasihmu.
Bangkalan, 27 Mei 2014. Persembahan untuk suara-suara ketidaktahuan_untuk kampusku.

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda