Siapa aku ?
Pernahkah
kamu mendengar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Keilmuan ? Merupakan suatu LPM yang
dimiliki fakultas tehnik di kampus kerajaan Timur Jawa. LPM ini berdiri
mendahului beberapa LPM dikampus itu. Tapi apakah anda juga tahu beberapa permasalahan
eksternal yang dihadapinya selama ini? Saya kira tidak, dengan keras aku bilang
tidak.
Menjadi
sebuah pembicaraan yang penting untuk di cermati ketika suatu lembaga pers namun
orietasinya dibelokan ke pengada acara. Yah, meski pun acara yang berkaitan
dengan kejurnalistikan maksudnya. Seminar atau pun
workshop sering digagas oleh mereka setiap tahunnya. Mungkin dua sampai tiga kalilah porsinya.
workshop sering digagas oleh mereka setiap tahunnya. Mungkin dua sampai tiga kalilah porsinya.
Perlu
dicatat, mereka seperti itu bukan karena kepentingan pribadi. Dugaan adanya
pemaksaan dari birokrat fakultas untuk mengadakan acara-acara melalui dana
kemahasiswaan menjadi rutinitas yang sampai saat ini belum dapat dirubah.
Sekedar memfokus diri dalam peliputan dan penerbitan bulletin bulanan, tak juga
usai rasanya. Mungkin juga, tekanan non apresitif sifatnya. Munkin saja. Ya
mungkin saja.
Dilebur
tahun yang selalu mendekatkan akan kelulusan. Menderukan auman kegelisahan yang
malu rasanya didengar tetangga atau saudara. “Jangan-jangan nanti mereka di kebiri nilainya,” kata penulis dalam
angannya. Menelusup hingga ke
rongga-rongga tempat keluarnya air mata dalam hati tak juga dirasa sifatnya.
Mencari arah latar pemikiran tak juga sampai. Puisi nrimo ing pandom selalu saja membuat resah hati yang seolah
terhibur dengan lagu Indonesia Raya. Demokrasi menjadi alat promosi. Kebebasan
di makan birokrat pendidikan. Itu, itu lah rasanya jadi pemain pers mahasiswa.
Hari
semakin berselang mengganti-ganti wajahnya. Kadang riang, kadang muram, kadang
juga garang kadang juga pucat tanpa pengharapan. Begitulah LPM itu
dipertahankan.
“Hai
nak, pakailah dana lain untuk nerbit bulletin ! Janga pakai dana ini ya.”
“Hei nak, kapan mengadakan acara?”
Bisikan yang selalu menghantui kertas-kertas yang mulus warnanya, suci kadarnya
hingga beberapa puluh bulan tinta pun tak juga menyentuhnya.
Hahaha,
“kebal tanpo diroso, loro yen ngerti
ngono,” kata penulis dalam sastra jawanya.
Lembaga
pers seperti badan kelengkapan kabinet kemahasiswaan. Kesusksesan dilihat dari
seringnya membuat acara. Pamor dan popularitas akhir dari tujuan. Begitulah
suasana kampus di kerajaan Timur Jawa.
Tolong…!!!
Ada
Pembina yang tak nampak taring-taring kepahlawanannya, kecuali dorongan
internal pada kami. Ada tangan pers tapi tak menulis, ada pikiran pers tapi tak
berfikir, ada pena penuh tinta dekat di hati namun semakin menjauh rasanya
ketika kita ingin mendekat mengambilnya. Ada kertas yang menangis bertahun-tahun
menanti sapa manusia. Ada lembaga yang selalu tertawa melihat orang yang
didalamnya ibarat hidup dalam penjara. Ada penguasa sistem bertangan besi,
kadang memburu ancam-nilai dan kelulusan pusaka perang. Ada mata-mata seperti
penonton bola diam menyaksikan suasana macam ini. Ada pula tetangga yang asik
menggunjing lembaga ini, “lembaga pers kok seperti itu,” anggap penulis melalui
pembicaraan ringan dari warung kopi. Ada- ya, yang jelas ada ada saja.
Beberapa
tahun lalu dua kader mampu menerbitkan bulletin bulanan, mengadakan acara
besar. Hanya dua kader.
Tahun
lalu anggotanya mengganyang sistem sebelum sekarang dimakan sistem
Tahun
lalu anak cucunya tak terhitung jumlahnya sebelum sekarang diambang kepunahan
Tahun
lalu berdiri lembaga Kontroling sekaligus media arbitrase sebelum konstitusi
penguasa menghukuminya hukum rimba.
Wahai
sahabat, wahai tetangga, wahai saudara sekandung, wahai pemuda-pemudi pemilik
penguasa pemikiran yang setiap hari pulang pergi dari rumah pendidikan. Bukan
maksud memohon atau berteriak mencari bala bantuan. Tapi tahukah engkau yang ku
rasakan. Tahukah engkau bagaimana rasanya menjadi diriku. Tahukah engkau,
sekali lagi tahukah engkau.
Aku
sakit tak ada obat menjemputku. Aku haus tak ada tempat sumber mata air untukku
cari lalu ku teguk demi teguk ketika bertemu. Aku lapar tak ada sesuap nasi
terhidang di mejaku walau aku kadang tahu kalau di meja sebelah apa pun dapat
kau temuai, macam aneka olahan tepung, telur, nasi, apa saja ada disana. Aku
merasa sendiri tak satu pun tempat kosong diantara kursi-kursi yang dipenuhi
audien untukku saling sapa-saling cerita.
Dari Utara,
Selatan, Barat, atau pun Timur bagiku ketakutan ada disegala penjuru. Birokrat
dekanatlah aktor skaligus sutradara dalam karya ini.
Tolong-tolong-tolonglah aku dalam diamku,
dalam sombongku. Tolonglah aku dalam iklasmu, tolonglah aku tanpa baju dan
kepentingan bajumu. Tolonglah-tolonglah aku melalui kewenangan dan peduli
kasihmu.
Bangkalan, 27 Mei
2014. Persembahan untuk suara-suara ketidaktahuan_untuk kampusku.
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda