Pagi
itu Sondong dan pak lurah sedang asyik
nonton tipi. Seperti biasa jiwanya yang haus akan tayangan mahluk penebar fakta
yang dibungkus unsur jurnalistik seperti berita akan menjadi pengisi informasi
jiwanya yang kosong akan informasi jiwa-jiwa diluaran sana. Kartun dan sinetron
remaja, akan menempati prioritas sebagai penghibur jiwa keduanya yang kian
hari-kian kurus menyaksikan berbagai ribuan warna-warni bunga fatamorgana dunia
yang dibalut kepedihan, sakitnya perasaan, kepongahan manusia, ketamakan yang
tiada tara, kesombongan yang menyusup keruang-ruang kosongnya jiwa yang lain,
jiwa yang seringkali tega mengasingkan bahakan membunuh jiwa yang lain.
Pelan
sekali suara jarum jam mengantarkan waktu ketempatnya hari ini. Serasa ada yang
melambatkan dirinya untuk pamer diri. Mungkinkah jarum jam itu telah terbeli
harga dirinya oleh tumpukan lembaran kertas kekayaan. Sehingga ia melambat seperti
itu. Dan menimbulkan keresahan setiap muka. Begitu pula muka Sondong dan pak
lurah.
“E
yo..yo..yo.. jancukan tenan Tipi iki. Bikin wong cilik emosi. Nek begini terus
aku yo males mendengarkan dan nonton Tipi.” Teriak pak lurah di depan Tipi
warkop Sido Rame.
Bersabarlah
wahai saudara jiwaku. Ndak perlu gundah gulana seperti itu. Belajarlah
menikmati apa yang ada. Meski dalam jiwamu berebut penilaian baik-buruk,
nikmat-ndak nikmat. Sebab ya beginilah keadaan kita saat ini, yang dipaksa hidup
dalam permainkan bermacam-macam skenario.
“Lha
ya to Son ! Masak acara Tipi dari pagi sampai ketemu pagi lagi semua berbicara
kemenangan kedua calon wakil kita. Di sana-sini, stasion Tipi dipenuhui acara
itu. Jal pie (coba bagaimana)
pikirmu?”
Dalam
era modernisasi, Tipi, sudah menjadi mahnet promosi perpolitikan. Pertarungan
lembaga survey yang ingin memengkan kedua calon wakil kita di gambar Tipi adalah
wujud buah dari berbagai scenario tersebut. Reseknya
ulah oknum tertentu memang sudah sejak telah dilumrahkan oleh banyak kalangan
manusia berpendidikan. Mana kawan mana lawan. Kurangnya pendewasaan berpolitik
semakin memperburuk kiprah mereka. Hauskah, serakah atau tamakkah mereka di sana
akan kekuasaan. Kita ndak tau pula, karena kita hanya wong cilik. Yang jelas, saat ini, perang pemikiran masyarakat telah
terjadi gara-gara tampilan tipi yang pamer hasil quick count sejak 9 Juli lalu.
Kebingungan
telah merajalela. Dan yang sedang gelap hatinya akan debat ngalor-ngidol, tuding sana tuding sini. Ancam mengancam nek bisa yo
pukul memukul pun halal rasanya.
“Bener
itu Son, bener… jal pie to setiap
stasiun Tipi berbondong-bondong berburu kepentingan pro A dan B. ndak peduli
opini publik yang akan terbentuk. Acara yang kita suka berganti wajah.
Begitupun Tipi yang kita suka dulu Son. Katanya kebebasan ada undang-undang
yang menyangkut Independensi pers ! Tapi mbok yo jangan bersifat terlihat over komersialisasi ke politik begitu to
!” tegas pak urah Soraso.
Sondong
tersenyum santun. Matanya menandakan kesepakatan apa yang dikatan pak lurah.
Ini
semua ndak penting untuk diperdebatkan pak lurah. Karena masalah kecil dan
besar di sana telah menghadang seluruh warga Indonesia. Raja dunia permainan
manusia telah menanti di ujung Samudra. Dan sedang menyaksikan siapa yang akan
menang. Wong cilik seperti kita hanya
bisa berdoa Son, semoga saja emosionalisasi seperti ini tiada dampak pada
kepempinan lima tahun mendatang. Dimana agar wakil dapat berfikir seperti apa benar
untuk diwakili. Ndak ambisi akan peperangan perebutan harga diri dan pengakuan
kekuasaan. Ndak pula mudah menggampangkan setiap masalah atau malah memberikan
tanggung jawab segumpal masalah kepada bapak-ibu sesepuh parpol pendukung yang
menang.
“Pak
lurah… kita semua berharap, kedepnnya, setiap wakil rakyat dapat memanusiakan
manusia. Meletakkan kebudayaan berbudaya sesuai porsinya masing-masing. Mampu
menjadikan hukum yang adil dan beradab meski dipandang dari berbagai rumpun multi
keilmuan. Mempu menciptakan tunas-tunas negeri yang berdigari di tanah sendiri.
Mampu memberikan kebebasan berkaraya rakyatnya tanpa ada tetakanan. Mampu
menciptakan regulasi peraturan yang pro Asing. Dan memampukan mampu-mampu yang
lainnya.”
Namun
yang sementara ini aku galaukan Son,
tentang berbagai macam keluhan masalah pahlawan devisa kita. Jangan sampai kita
biarkan saudara-saudara kita yang diluran sana terkena penganiayaan batin,
fisik dan finansial. Kedepnnya, pak wakil terpilih dapat menegur. Ya nek bisa
meresafle pejabat kedutaan dan pegawai penanganan permasalahan TKI. Agar mereka
mampu bersifat tegas dalam mengambil tidakan yang semestinya diambil. Ndak pula
mereka mengadakan perjanjian non formal dengan mengorbankan jiwa-jiwa
sesamanya.
Suara
tangisan para pelarian pahlawan devisa dari majikannya karena kasus
penganiayaan, ribuan tempat pelucuran yang di huni saudara-saudari kita,
pemerkosaan, penyetrikaan kulit manusia, pemutusan gaji, kesewenang-wenangan
pemutusan dan penambahan kontrak waktu kerja. Kabuuueh wae ndak boleh nyletuk
lagi dirongga telinga kita. Apalagi tetangga kemarin menghina kita ini dengan
sebutan bangsa buruh. Jadi nek bisa ya jangan kita terima itu. Tapi bukan
lantas terus kita angkat senjata terus memusnahkan jiwa-jiwa di negeri sana, ya
bukan begitu caranya. Cukuplah perbaiki ekonomi dan kesejahteraan dalam negeri.
Agar ndak ada lagi jiwa-jiwa yang mengemis rejeki ke sana.
Keduanya saling tertawa
memikirkan harapan mereka masing-masing
Inikan
Cuma jenker kecil kecilan lumrahnya wong cilik. Jengker
yang mewarnai warkop Sido Rame setiap hari, tempat paling agung dalam
menjunjung nilai-nilai demokrasi untuk mengelurkan keganjalan perasaan apa saja
yang kita rasakan.
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda