Selasa, 22 Juli 2014

JANCUKAN TENAN TIPI IKI…

Pagi itu Sondong  dan pak lurah sedang asyik nonton tipi. Seperti biasa jiwanya yang haus akan tayangan mahluk penebar fakta yang dibungkus unsur jurnalistik seperti berita akan menjadi pengisi informasi jiwanya yang kosong akan informasi jiwa-jiwa diluaran sana. Kartun dan sinetron remaja, akan menempati prioritas sebagai penghibur jiwa keduanya yang kian hari-kian kurus menyaksikan berbagai ribuan warna-warni bunga fatamorgana dunia yang dibalut kepedihan, sakitnya perasaan, kepongahan manusia, ketamakan yang tiada tara, kesombongan yang menyusup keruang-ruang kosongnya jiwa yang lain, jiwa yang seringkali tega mengasingkan bahakan membunuh jiwa yang lain.
Pelan sekali suara jarum jam mengantarkan waktu ketempatnya hari ini. Serasa ada yang melambatkan dirinya untuk pamer diri. Mungkinkah jarum jam itu telah terbeli harga dirinya oleh tumpukan lembaran kertas kekayaan. Sehingga ia melambat seperti itu. Dan menimbulkan keresahan setiap muka. Begitu pula muka Sondong dan pak lurah.
“E yo..yo..yo.. jancukan tenan Tipi iki. Bikin wong cilik emosi. Nek begini terus aku yo males mendengarkan dan nonton Tipi.” Teriak pak lurah di depan Tipi warkop Sido Rame.
Bersabarlah wahai saudara jiwaku. Ndak perlu gundah gulana seperti itu. Belajarlah menikmati apa yang ada. Meski dalam jiwamu berebut penilaian baik-buruk, nikmat-ndak nikmat. Sebab ya beginilah keadaan kita saat ini, yang dipaksa hidup dalam permainkan bermacam-macam skenario.
“Lha ya to Son ! Masak acara Tipi dari pagi sampai ketemu pagi lagi semua berbicara kemenangan kedua calon wakil kita. Di sana-sini, stasion Tipi dipenuhui acara itu. Jal pie (coba bagaimana) pikirmu?”
Dalam era modernisasi, Tipi, sudah menjadi mahnet promosi perpolitikan. Pertarungan lembaga survey yang ingin memengkan kedua calon wakil kita di gambar Tipi adalah wujud buah dari berbagai scenario tersebut. Reseknya ulah oknum tertentu memang sudah sejak telah dilumrahkan oleh banyak kalangan manusia berpendidikan. Mana kawan mana lawan. Kurangnya pendewasaan berpolitik semakin memperburuk kiprah mereka. Hauskah, serakah atau tamakkah mereka di sana akan kekuasaan. Kita ndak tau pula, karena kita hanya wong cilik. Yang jelas, saat ini, perang pemikiran masyarakat telah terjadi gara-gara tampilan tipi yang pamer hasil quick count sejak 9 Juli lalu.
Kebingungan telah merajalela. Dan yang sedang gelap hatinya akan debat ngalor-ngidol, tuding sana tuding sini. Ancam mengancam nek bisa yo pukul memukul pun halal rasanya.
“Bener itu Son, bener… jal pie to setiap stasiun Tipi berbondong-bondong berburu kepentingan pro A dan B. ndak peduli opini publik yang akan terbentuk. Acara yang kita suka berganti wajah. Begitupun Tipi yang kita suka dulu Son. Katanya kebebasan ada undang-undang yang menyangkut Independensi pers ! Tapi mbok yo jangan bersifat terlihat over komersialisasi ke politik begitu to !” tegas pak urah Soraso.
Sondong tersenyum santun. Matanya menandakan kesepakatan apa yang dikatan pak lurah.
Ini semua ndak penting untuk diperdebatkan pak lurah. Karena masalah kecil dan besar di sana telah menghadang seluruh warga Indonesia. Raja dunia permainan manusia telah menanti di ujung Samudra. Dan sedang menyaksikan siapa yang akan menang. Wong cilik seperti kita hanya bisa berdoa Son, semoga saja emosionalisasi seperti ini tiada dampak pada kepempinan lima tahun mendatang. Dimana agar wakil dapat berfikir seperti apa benar untuk diwakili. Ndak ambisi akan peperangan perebutan harga diri dan pengakuan kekuasaan. Ndak pula mudah menggampangkan setiap masalah atau malah memberikan tanggung jawab segumpal masalah kepada bapak-ibu sesepuh parpol pendukung yang menang.
“Pak lurah… kita semua berharap, kedepnnya, setiap wakil rakyat dapat memanusiakan manusia. Meletakkan kebudayaan berbudaya sesuai porsinya masing-masing. Mampu menjadikan hukum yang adil dan beradab meski dipandang dari berbagai rumpun multi keilmuan. Mempu menciptakan tunas-tunas negeri yang berdigari di tanah sendiri. Mampu memberikan kebebasan berkaraya rakyatnya tanpa ada tetakanan. Mampu menciptakan regulasi peraturan yang pro Asing. Dan memampukan mampu-mampu yang lainnya.”
Namun yang sementara ini aku galaukan Son, tentang berbagai macam keluhan masalah pahlawan devisa kita. Jangan sampai kita biarkan saudara-saudara kita yang diluran sana terkena penganiayaan batin, fisik dan finansial. Kedepnnya, pak wakil terpilih dapat menegur. Ya nek bisa meresafle pejabat kedutaan dan pegawai penanganan permasalahan TKI. Agar mereka mampu bersifat tegas dalam mengambil tidakan yang semestinya diambil. Ndak pula mereka mengadakan perjanjian non formal dengan mengorbankan jiwa-jiwa sesamanya.
Suara tangisan para pelarian pahlawan devisa dari majikannya karena kasus penganiayaan, ribuan tempat pelucuran yang di huni saudara-saudari kita, pemerkosaan, penyetrikaan kulit manusia, pemutusan gaji, kesewenang-wenangan pemutusan dan penambahan kontrak waktu kerja. Kabuuueh wae ndak boleh nyletuk lagi dirongga telinga kita. Apalagi tetangga kemarin menghina kita ini dengan sebutan bangsa buruh. Jadi nek bisa ya jangan kita terima itu. Tapi bukan lantas terus kita angkat senjata terus memusnahkan jiwa-jiwa di negeri sana, ya bukan begitu caranya. Cukuplah perbaiki ekonomi dan kesejahteraan dalam negeri. Agar ndak ada lagi jiwa-jiwa yang mengemis rejeki ke sana.
Keduanya saling tertawa memikirkan harapan mereka masing-masing
Inikan Cuma jenker  kecil kecilan lumrahnya wong cilik. Jengker yang mewarnai warkop Sido Rame setiap hari, tempat paling agung dalam menjunjung nilai-nilai demokrasi untuk mengelurkan keganjalan perasaan apa saja yang kita rasakan.

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda