Jumat, 18 Juli 2014

SAJAK UNTUK SANG GURU[1]

Maaf, ini sajak puisi untuk seseorang yang sedang betapa pedih rautnya memandang kegamanan jiwa-jiwa hidup diatas Bumi.
Gelombang nyanyian pasang surut samudra utara membelai belai tebing terjal pada rumah bumi. Begitupun rasa dan jiwa yang sedang bernyanyi dalam diri ibuku ini. Pertanyaan-pertanyaan yang terselip dalam bilik jiwa tiada tara jumlahnya. Mengumbar, menari, menyekap, menghujat, menyelinap. Begitulah sifatnya pertanyaan itu.

Dahulu ketika bunga Teratai mulai berkuncup, ketika Padi-Padi di sawah mulai beranak, ketika daun Beringin mulai tertawa memandang kelebatan dan kehijauan rambutnya. Ibuku lah yang berusaha memberikan kehidupan pada jiwa ketiga mahluk tersebut. Ia bangga pada suatu masa. Namun ia mendadak lumpuh saat pohon tersebut dicabut oleh pemiliknya dan di berikan kepada orang lain. Dan bukan kepada ibuku. Meskipun ibuku telah bertahun-tahun menhidupi ketiga mahluk itu.
Ibuku kini tinggal menikmati jiwa penuh lara. Terlihatlah semua rasa yang tergambar pada masa, pada ruang, pada waktu, kala bapak fajar terbit dan menghilang diantara gelombang samudra.
UNTUK SANG MANTAN KAJUR
Selembar begitu hebat menarik napas, melangkahkan telapak kaki, matanya menunjuk-nunjuk jendela, menerawang anggapan-anggapan dengan pemikiran, menaruh atas dada yang berada dalam depan tubuhnya. Ya, begitu hebat rasanya.
Daging-daging yang dibungkus halus oleh lapisan-lapisan jiwa yang halus. Antara jiwa pengasih, penasihat, pemarah, atau pun pengampun. Diruang kosong mereka bersembunyi, diantara hati, dan fikiran. Ketika darah mengalir melalui selaput-selaput kecil pada plasma dan rel kehidupan ia kadang lupa. Lupa akan tujuan jiwa yang lain, lupa akan harapan jiwa yang lain, lupa akan usaha jiwa yang lain, lupa akan cita-cita jiwa yang lain.
Berfikir menjadi pelukis. Berpola menyerupai kejiawan objek lukisannya. Namun ia lupa kalau Penciptalah pemilik jiwa itu. Ia lupa. Ia lupa.
Santun sekali ! Ya, santun. Namun dalam kesantunannya ada tujuh ekor Bunglon yang menganga mulutnya menunggu siapa saja yang menyapa. Srigala yang mampu mengubah kaidah etika dan moral menjadi angka dan huruf yang tak beretika dan moral. Kesantunan yang pandai namun lupa akan siapa pemilik kepandaiannya.
Embrio-embrio kecil yang akan berengkarnasi dan tumbuh menjadi manusia sebagai mana mestinya. Terkadang pupus jiwanya karenanya. Jikalau selamat embrio tersebut kuatlah jiwanya. Jikalau tidak nyanyian alam yang akan membantunya berkicau dikemudian hari.
UNTUK SANG BAPAKKU


Gubuk penampung jiwa yang haus akan ilmu, baru saja didirikan. Ratusan tetesan air asin tercecer dari kulit manusia. Syair lagu retorika semakin menguatkan saja apa maksut pendirian sebuah gubuk.
Sebuah tempat yang diharapkan akan memuncul anak dan cucu bapak serta ibu perhitungan. Lalu, hanya berharap kelahiran generasinya tiada tersandung batu sekecil apa pun saat ibu bulan dan bapak fajar mulai menunjukan kesaktiaannya. Kesaksian bisu telah dibungkus, secuil hati yang kian melemah namun menampak kuat bayangnya.
Disanalah beberapa tahun lalu telah berlangsung persembahan sesaji pengabdian ketahuan manusia-manusia setengah dewa. Manusia yang tak terobsesi oleh imbalan. Manusia yang selalu dimudahkan jalan pangannya oleh si Pemberi pangan.
Gubuk itu masih seumur dengan rumput di belakang rumah ku yang baru saja bertunas. Bertunas ketika musim kemarau masih melanda. Sehingga memerlukan kesabaran dan kedisiplanan dalam perawatan. Semakin sering disiram dan diberi sedikit pupuk maka rumput itu akan semakin bertunas. Lagi, lagi dan lagi.
Tiang-tiang gubuk di sana terlihat amat muda belia. Berasal dari serpihan pohon beringin. Yang mana pembuatnya tak begitu tahu kapan robohnya serta runtuhnya gubuk itu. Ya, walaupun sang pembuat selalu saja berdoa syujud syukur kepada sang Pembuat yang mashur. Dalam wujudnya, ada kalanya gentengnya bocor dari satu tempat di tempat lainya. Dan menunggu waktu yang cukup lama untuk membetulkannya.
GUBUK
Engkau hujani kami dengan tiada ketentraman. Penyiksaan yang dibungkus peraturan memecahkan telinga serta rumah jiwaku. Bahagiaku yang dulu mengkusut seiring kusutan kulit keningku yang kian bertambah. Kantong-kantong menkosong perlahan. Selembar dua lembar nominal angka berpola tertumpah pada tinta. Hingga perut ini tiada isinya demi tinta berlampir kertas saja. Tulisan bermakna pada lampiran selalu tebal dan di tambah lalu ditambah dan ditambah saja.
Siapa  yang tak sakit ! Bapak dan Ibu dosen tahunya memajukan Indonesia melalui pendidikan legal formal. Tak peduli kemampuan nurani yang sering berkeluh kesah membayangkan keringan orang tua yang selalu saja membanjiri panggung pekerjaan. Usia tua tak jadi urusan, nyawa pun jadi taruhan demi pendidikanku ini. kepandaaian tak memiliki celah kesederhaanaan. Paksa dan memaksa sudah dibiasakan jika menginginkan nilai pada selembar KHS.
Tak perdan tak boleh ada komentar. Sekali menyanggah program maka tiada keselamatan. Dikunci arah pikirannya. Dikombongkan pada lonceng emas yang lubangnya di tutup rapat-rapat. Lama kelamaan ada yang biasa ada yang menyingkir. Dan yang biasa akan meneruskan kiprahmu lalu mengkarmakan nasibnya kepada generasi selanjutnya.
MENERUSKAN KIPRAHMU


[1] Edisi Surat Untuk Anak Negeri

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda