Maaf, ini sajak
puisi untuk seseorang yang sedang betapa pedih rautnya memandang kegamanan
jiwa-jiwa hidup diatas Bumi.
Gelombang nyanyian
pasang surut samudra utara membelai belai tebing terjal pada rumah bumi. Begitupun
rasa dan jiwa yang sedang bernyanyi dalam diri ibuku ini. Pertanyaan-pertanyaan
yang terselip dalam bilik jiwa tiada tara jumlahnya. Mengumbar, menari,
menyekap, menghujat, menyelinap. Begitulah sifatnya pertanyaan itu.
Dahulu ketika bunga
Teratai mulai berkuncup, ketika Padi-Padi di sawah mulai beranak, ketika daun
Beringin mulai tertawa memandang kelebatan dan kehijauan rambutnya. Ibuku lah
yang berusaha memberikan kehidupan pada jiwa ketiga mahluk tersebut. Ia bangga
pada suatu masa. Namun ia mendadak lumpuh saat pohon tersebut dicabut oleh
pemiliknya dan di berikan kepada orang lain. Dan bukan kepada ibuku. Meskipun
ibuku telah bertahun-tahun menhidupi ketiga mahluk itu.
Ibuku kini tinggal
menikmati jiwa penuh lara. Terlihatlah semua rasa yang tergambar pada masa,
pada ruang, pada waktu, kala bapak fajar terbit dan menghilang diantara
gelombang samudra.
UNTUK SANG MANTAN KAJUR
Selembar begitu
hebat menarik napas, melangkahkan telapak kaki, matanya menunjuk-nunjuk
jendela, menerawang anggapan-anggapan dengan pemikiran, menaruh atas dada yang
berada dalam depan tubuhnya. Ya, begitu hebat rasanya.
Daging-daging yang
dibungkus halus oleh lapisan-lapisan jiwa yang halus. Antara jiwa pengasih,
penasihat, pemarah, atau pun pengampun. Diruang kosong mereka bersembunyi, diantara
hati, dan fikiran. Ketika darah mengalir melalui selaput-selaput kecil pada
plasma dan rel kehidupan ia kadang lupa. Lupa akan tujuan jiwa yang lain, lupa
akan harapan jiwa yang lain, lupa akan usaha jiwa yang lain, lupa akan
cita-cita jiwa yang lain.
Berfikir menjadi
pelukis. Berpola menyerupai kejiawan objek lukisannya. Namun ia lupa kalau
Penciptalah pemilik jiwa itu. Ia lupa. Ia lupa.
Santun sekali ! Ya,
santun. Namun dalam kesantunannya ada tujuh ekor Bunglon yang menganga mulutnya
menunggu siapa saja yang menyapa. Srigala yang mampu mengubah kaidah etika dan
moral menjadi angka dan huruf yang tak beretika dan moral. Kesantunan yang
pandai namun lupa akan siapa pemilik kepandaiannya.
Embrio-embrio kecil
yang akan berengkarnasi dan tumbuh menjadi manusia sebagai mana mestinya.
Terkadang pupus jiwanya karenanya. Jikalau selamat embrio tersebut kuatlah
jiwanya. Jikalau tidak nyanyian alam yang akan membantunya berkicau dikemudian
hari.
UNTUK SANG BAPAKKU
Gubuk penampung jiwa
yang haus akan ilmu, baru saja didirikan. Ratusan tetesan air asin tercecer
dari kulit manusia. Syair lagu retorika semakin menguatkan saja apa maksut
pendirian sebuah gubuk.
Sebuah tempat yang
diharapkan akan memuncul anak dan cucu bapak serta ibu perhitungan. Lalu, hanya
berharap kelahiran generasinya tiada tersandung batu sekecil apa pun saat ibu
bulan dan bapak fajar mulai menunjukan kesaktiaannya. Kesaksian bisu telah
dibungkus, secuil hati yang kian melemah namun menampak kuat bayangnya.
Disanalah beberapa
tahun lalu telah berlangsung persembahan sesaji pengabdian ketahuan
manusia-manusia setengah dewa. Manusia yang tak terobsesi oleh imbalan. Manusia
yang selalu dimudahkan jalan pangannya oleh si Pemberi pangan.
Gubuk itu masih
seumur dengan rumput di belakang rumah ku yang baru saja bertunas. Bertunas
ketika musim kemarau masih melanda. Sehingga memerlukan kesabaran dan
kedisiplanan dalam perawatan. Semakin sering disiram dan diberi sedikit pupuk
maka rumput itu akan semakin bertunas. Lagi, lagi dan lagi.
Tiang-tiang gubuk di
sana terlihat amat muda belia. Berasal dari serpihan pohon beringin. Yang mana
pembuatnya tak begitu tahu kapan robohnya serta runtuhnya gubuk itu. Ya,
walaupun sang pembuat selalu saja berdoa syujud syukur kepada sang Pembuat yang
mashur. Dalam wujudnya, ada kalanya gentengnya bocor dari satu tempat di tempat
lainya. Dan menunggu waktu yang cukup lama untuk membetulkannya.
GUBUK
Engkau hujani kami
dengan tiada ketentraman. Penyiksaan yang dibungkus peraturan memecahkan
telinga serta rumah jiwaku. Bahagiaku yang dulu mengkusut seiring kusutan kulit
keningku yang kian bertambah. Kantong-kantong menkosong perlahan. Selembar dua
lembar nominal angka berpola tertumpah pada tinta. Hingga perut ini tiada
isinya demi tinta berlampir kertas saja. Tulisan bermakna pada lampiran selalu
tebal dan di tambah lalu ditambah dan ditambah saja.
Siapa yang tak sakit ! Bapak dan Ibu dosen tahunya
memajukan Indonesia melalui pendidikan legal formal. Tak peduli kemampuan
nurani yang sering berkeluh kesah membayangkan keringan orang tua yang selalu
saja membanjiri panggung pekerjaan. Usia tua tak jadi urusan, nyawa pun jadi
taruhan demi pendidikanku ini. kepandaaian tak memiliki celah kesederhaanaan.
Paksa dan memaksa sudah dibiasakan jika menginginkan nilai pada selembar KHS.
Tak perdan tak boleh
ada komentar. Sekali menyanggah program maka tiada keselamatan. Dikunci arah
pikirannya. Dikombongkan pada lonceng emas yang lubangnya di tutup rapat-rapat.
Lama kelamaan ada yang biasa ada yang menyingkir. Dan yang biasa akan meneruskan
kiprahmu lalu mengkarmakan nasibnya kepada generasi selanjutnya.
MENERUSKAN
KIPRAHMU
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda