Sabtu, 19 April 2014

HARUS HATI-HATI DENGAN DO’A YANG BAIK

Di pertengahan bulan April 2014 ada kisah unik menyapaku dan akhirnya aku ungkapkan dalam catatanku kali ini. Dan tulisan ini aku persembahkan untuk kariyawan-kariyawan Tata Usaha (TU) Fisib, beberapa dosen UTM, para kiyai, para jutawan dan setiap orang tua serta setiap manusia di dunia ini serta lebih khususnya untuk seorang wanita Madura, Dina Medira. :D
Selanjutnya, jikalau anda hari ini termasuk orang tua berkucupan, dari golongan konglomerat, atau bagi anda yang memang tidak diantara keduanya silahkan dicermati, dibayangkan dan direnungkan. Karena nantinya diparagraf selanjutnya bakalan ada penjelasan sisi lain mengenai esensi doa yang baik itu juga dapat menjadi sangat berbahaya bagi anda dan keluarga anda. :D


Hal Yang Menggusarkan Pemikiran
       “Kriieeettt…bregg” bunyi pintu yang sedang tertutup disebuah gedung tingkat 10 di kampusku Universitas Trunojoyo. Tiba waktunya aku masuk di suatu ruangan berdiameter 10 x 5 m2. Kira-kira didalamnya terdapat 7 – 8 Kariyawan kantor. Dimana setiap kariyawan memiliki inventaris alat kerjanyanya masing-masing.
       Waktu itu aku datang untuk mengurus surat tugas magang. Sebab bulan Juni mendatang aku harus mengambil mata kuliah tersebut. Untuk itu aku pesiapkan awal-awal surat penting itu. Tempat pengurusan surat itu bisa didapat di TU masing-masing jurusan, tepatnya dibagian akademik kala itu.
       “Iya Imam ! ada perlu apa? ” tanya kariyawan jurursan dengan sopan.
       “Itu bu, yang kemarin”
       “Oh iya ! urat magang ya ! iya tunggu sebentar aku cari proposalmu dulu sebab suratnya ada diproposalmu itu. Tapi aku tak tahu, lupa aku taruh mana kemarin.”
       “Iya ! santai saja bu. Saya tidak terburu-buru kok.”
       “Baguslah ” sahut ibu sambil terlihat gugup walau sedikit manggut-manggut menatapku yang duduk dibwah AC.
       Biasanya saat siang hari ruang ini terlihat ramai. Mahasiswa banyak keluar masuk dari pintu yang sama aku lewati tadi.
Bahkan beberapa kariyawan biasanya sibuk mengotak-atik kompeternya, Kompeter yang dikoneksikan dengan internet. Kadang kala, namun jarang, ada bisik-bisik tawar menawar  absensi perkuliahan.  
       Disebelah timur, tempat aku duduk, ada wanita yang mungkin ukuran umurnya tante-tante. Cantik, putih,bergelombang semi ikal rambutnya dan press body pakian yang ia kenakan. “Bikin merangsang aja orang ini, mantap sesuai selera, hehehe” bayangku. Apalagi ditambah dinginya AC yang menyelimuti sekujur tubuhku, yang membiaskan setiap bulu kuduk diantara sela-sela kulit, yang semakin membawa aku terbayang didunia bayangan sewajarnya lelaki dewasa.
       “Maaf Imam, tidak ketemu… maaf ya ! kemarin ibu terlalu sibuk dan banyak fikiran. Mungkin itu sebabnya ibu tledor, sehingga proposalmu ketlingsut.
       “Emang masalah apa bu ?”
       “Biasa, urusan keluarga,” jawab ibu santai sambil menggerak-gerakan tanganya kekanan-kekiri tak jelas.
       “Hati-hati denga dengan do’a Imam!”
       Serentak mata ku terbelalak memandanginya. Kedua korneaku tepat aku arahkan ke bibirmu, sambil mengatur nafas yang tak karuan geram. Disamping itu, secara bersamaan suara landai wanita itu merengsek membangunkan otakku dengan begitu cepatnya. “Heran…! kenapa dengan do’a, apa yang salah dengan do’a sampai-sampai aku harus hati-hati segala,” anganku.
Tak berusaha menunda waktu atau memberikan celah bersantai-santai kepada wanita itu. “Maksud dan alasnanya bu ? saya merasa tidak paham.” “Bukankah semua do’a itu baik !” lanjutan pertanyaanku dengan tatapan penuh tanda Tanya dan lebih memusatkan mataku kebibirnya. Agar setiap bisik yang akan keluar dapat aku amati secara cermat.
       “Kadang kala do’a yang baik itu dapat menjadi bencana bagi keluarga kita. Kecenderungan orang, selalu berdoa agar setiap anak cucunya tidak merasakan nasib pilu, seperti yang mungkin mereka rasakan sekarang, benarkan Imam ?”
       “Iya !” Aku masih saja berusaha menyikapi tabir makna dari kalimat yang wanita itu luncurkan tepat pada kedua telingaku.
       “Apakah mereka juga tidak sadar kalau pada akhirnya jika do’a itu diucapkan oleh seorang ibu, lalu do’a itu terwujud.”
       “Tidak sadar bagaimana maksudnya ?”
       Diantara sorotan cahaya fajar yang tak mampu membantuku berfikir atas satu pertanyaan pertanyaan seorang wanita yang mampu menghilangakan patahan-patahan bayangan seorang lelaki terhadap tante-tante seksi yang dibarengi dinginnya AC. Diantara ratusan lembar kertas yang tertata rapi dibeberapa rak yang tak mampu memberikan jawaban atas patahan ungkapan kalimat wanita itu.

Kisah Wanita Madura dan Milyarder Jawa Timur
       Di dataran tanah Jawa dan Madura ada beberapa kesamaan cerita tentang pentingnya berhati-hati dalam berdo’a. Di Madura ada seorang wanita yang bernama Raisa dan di Jawa ada Halang. Mereka dulu sama-sama hidup pas-pasan bahkan dapat dibilang kurang mampu.
       Raisa telah lama hidup dirumah shalter kepemilikan kakek neneknya semenjak ibu bapaknya meninggal saat ia berumur 2 tahun. Rumah shalter dengan diatapi genteng, yang ketika hujan dapat merubah lantainya menjadi lumpur. Raisa setiap harinya membantu kakeknya mencari rumput dihutan, untuk pakan Sapi tetangganya. Aktivitas itu ia lakukan mulai pukul 05.00-06.00 pagi. Dan setelah pulang sekolah ia masih harus mencari pakan sapi lagi pukul 15.00-04.30 sore. Begitulah kerjaanya semenjak SD hingga SMP. Disamping itu, ia masih harus membantu neneknya memasak ketika pagi dan menjelang malam. Kadang ia terlihat bingung mengatur jadwal belajarnya.
       Cita-cita Raisa  menjadi orang kaya. “aku harus kaya sebab dengan begitu aku dapat membalas mereka budi mereka; Mereka yang telah membesarkanku sampai sekarang ini; Mereka yang telah membiayai sekolahku, mencukupi kebutuhan pribadiku,” Kata Raisa setiap ia akan tidur malam. Selain itu, semenjak SMA Raisa telah menjadi tulang punggung keluarganya sebab kakeknya telah meninggal dan neneknya sakit setrok. Sempat ia menjadi penjaga took, penjual pulsa, sales rokok, buruh cuci manual, penjual jajanan ringan dan ngeles anak SD/SMP.
       Lain wanita Madura lain juga kisah Halang. Ia dulunya hidup diantara atap langit dan berkasur bumi. Saat ia berumur 5 tahun bapak ibunya meninggalkannya disalah satu gor setadion sepak bola di Jawa Timur kala itu.
       Kala berumur 5-15 tahun ia menjadi pengamen dan akhirnya menjadi buruh pabrik, penjahit baju, penjahit sepatu, penjual sepatu, dompet, nasi, Koran dan air. Selama belasan tahun Halang besar diatara kamar persewaan. Dan cita-cita Halang adalah menjadi orang terkaya di Dunia.
       Kini Raisa dan Halang telah sama kaya dan mampu meraih cita-citanya. Mereka juga telah mempunyai belahan hati masing-masing. Serta sama-sama memiliki balita.
       “Semoga kelak jika anakku besar dia akan menjadi orang sukses; orang yang enak hidupnya dan tak akan pernah merasakan kesakitan hidup seperti apa yang pernah aku rasakan dulu saat masih kecil,” do’a Raisa. Do’a ini selalu ia ucapkan saat terbit fajar dan tenggelamnya fajar.
       “Ya tuhan, semoga kelak jika anakku besar dia akan menjadi orang yang disayangi teman-temanya; menjadi orang pinter; dan tak akan pernah merasakan kesakitan hidup seperti apa yang aku rasakan dulu.” Inilah doa Halang.
       Pada akhirnya, Raisa dan Halang sama-sama menjadi orang kaya. Anak mereka menjadi apa yang mereka do’akan. Tapi kini mereka sedikit menyesal karena pernah berkata : “ Semoga kelak anakku tak akan pernah merasakan kesakitan hidup seperti apa yang aku rasakan dulu”. Demikian memang, mereka kaya bergelimang harta. Apapun keinginan anaknya dapat mereka dipenuhi. Baik tempat sekolah, makanan, minuman, rumah, mobil, motor, Handphone, Leptop, uang bahkan pacarpun dapat tercukupi. Tapi sayang, anak mereka sekarang lebih bersifat manja kepada orang tua. Sedikit-sedikit mereka bilang, “maaa, paaa, apa kalian sudah tak sayang lagi sama aku.” Fatalnya anak mereka selalu terlihat glamorisme, konsumerisme, instanisme dan oportunisme. Tak pernah merenungi sulitnya mencari uang atau mempelajari sejarah orang tuanya yang sekarang telah menjadi milyarder.

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda