Ketemu Ma dan Dea
Disebuah
warung, disebut WDK. Dimana para advokat dari beberapa organisasi
berkepentingan bertemu. Pertemuan itu seperti tak disengaja saja sebenarnya.
Disana pembicaraan atas kebenaran diri dan keumumnnya orang disebutkan, dihujatkan,
didamaikan, atau sekedar diguyonkan ke satu dan satunya.
Dea
sebagai kawan lamanya Ma bertemu disitu. Dea sebagai perwakilan advokat bendera
perjuangan kiri dan Ma sebagai perwakilan advokat bendera perjuangan garis
tengah saling sapa untuk waktu yang cukup lama.
Disebut
sebagai bendera perjuangan kiri karena bendera ini diposisikan sebagai cerminan
baru terhadap sejarah masa silam, masa-masa perjuangan. Perjuangan pernuh
tantangan, penuh hujata, kesediahan kala itu. Pada era pra kemerdekaan, orde
lama, orde baru atau era reformasi sekali pun. Bendera ini tetap saja dapat
dipersamakan. Karena esensi dai bendera ini sama dengan para sejarahnya,
perjuangan.
Tetapi
sudah beberapa decade ini bendera perjuangan kiri atau enaknya aku sebut si
kiri berjalan pada arah pergerakan riil di ranah aksi demonstrasi, pembinaan
warga, tulisan-tulisan petisi, karikatur atau membuat gerakan-gerak anti
penindasan. Selama ini itulah yang mereka lakukan. Acuan totalitas arah
pergerakan si kiri dapat digambarkan untuk melawan system di kampus kerajaan
Timut Jawa dan perlawanan terhadap kebijakan pro penindasan di kerajaan Timut
Jawa itu sendiri.
Si
kiri h yang garang dengan langkah sorak, kata-kata, dealiktik, agitasi dan
retorikanya berlalu menunjukan kepalanya.
Beda
kisah si kiri, berbeda juga kisah si Ma sebagai perwakilan advokat bendera
perjuangan garis tengah. Ia dan sejarahnya umumnya bergerak melalui
tulisan-tulisan. Dalam era yang sama sejarahnya bendera perjuangan garis tengah
atau si tengah memiliki posisi yang tak jau beda dengan si kiri. Sama-sama
pejuang. Ajakan persuaasif, hipnotis, empati melalui coretan-coretan tinta
adalah keahlian si tengah. Bahkan masa lalu, pada tokoh satu orang saja si kiri
dan si tengah dapat dipertemukan. Karena satu tokoh ini memiliki posisi si kiri
dan si tengah.
Tak
ada yang perlu diperdebatkan, dingototkan antara Ma dan Dea karena sama-sama
berada pada garis perjuangan. Ma dan Dea saling menghargai, mereka sama-sama
sadar bahwa mereka harus saling melengkapi dan satu posisi dalam beberapa
keadaan. Tapi bukan berarti satu padu dalam satu kesatuan. Beda syariat gerak
dan memiliki esensi sama.
“Ingat
Ma ! Satoe sadja, Satoe sadja, Satoe sadja, dan djangan oenani pada dirimoe
sendiri,” sahut Dea saat diskusi tak memiliki titik temu. Ma berusaha
menyelaraskan igatanya terhadap perjuangan kepa si Ma. Ya, walau sebenarnya Ma
juga ingin berkata yang sama pada si Dea.
“Kita
memang disekat payung organisasi. Tapi kita tidak ada perbedaan, kita bukan
musuh, kita juga tak lawan. Kita adalah sahabat selama kau tak keluar dari
esensi pergerakanmu, ” tandas dengan tegas atas ucapan si Dea saat itu.
Ma
dan Dea dulu sama, tapi ini Ma memisah diri mencari Baju baru karena ia
berusaha mencari keahliannya dalam memetakan kemampuan pergerakannya.
Renung
“Bangsat kau malam ! kenapa kau pertemukan Ma dengan Dea,”.
Namun setelah itu untuk beberapa menit nurani ku berbincang, “terimkasih telah
pertemukan Ma dan Dea dalam posisi yang sama. Sama-sama sebagai advokat
pembenaran dan kebenaran”
Nyanyian
dedaunan yang merasuk kedalam jantung yang semakin men-disko-kan nadinya. Krik-kirk-krik syair jangkrik yang
sebentar datang-sebentar mengilang mencoba menggugat setiap pemikiran mereka
berdua. Mata-mata pembohong pun mencoba mencari kata dibalik badan-badan bodoh
yang berjajar dikanan kiri Ma dan Dea.
Senyuman
pengais harapan mengarahkan pada kata doktrin dan indoktrin. Bukan sekedar
antara hawa nafsu yang diperangi melainkan diri kita sendiri-seniri. Tak ada
titik henti tempat kita berdealek, tak ada pula titik awal sebagai agenda
tawar-menawarkan tema. Antara bintang
dan bulan menjadi saksi, menjadi pengumbar sekaligus pembombong keadaan.
Malam
pun semakin tak jelas keberadaannya karena ditindih fajar yang mulai meronta
datang. Ma dan Dea larut dalam sajak-sajak. Bibir-bibir mereka kaku dan
mengeras biasanya. Lengan keduanya tak jarang berlarian untuk menggurui dan
digurui satu tangan dengan tangan lainya.
Lupalah
mereka itu akan apa yang kurang dalam dirinya, dalam payungnya, dalam dasarnya,
atau dalam praktiknya. Keduanya saling menyayat. Sampai waktunya tiba mereka
sama-sama sadar akan keberadaanya dirinya masing-masing.
Setelah
kurang lebih kopi dan rokok menemani, bersila membukti, mereka pun berpisah.
Dalam keadaan damai dan penuh ingatan. Dea pun ketimur lalu si Ma kebarat.
Untuk waktu yang cukup lama mereka mungkin tak akan pernah bertemu dulu.
Pesan-Pesan Ma dan Dea
Si
Ma,
“Ingatlah
de kalau disini ada 3 macam Hp dengan merek yang sama tetapi berbeda-beda
bentuknya. Merek adalah esensinya dan bentuk adalah eksistensinya. Meski
berbeda eksistensi seperti apapun, kita tetap sama.”
Si
Dea,
“Janganlah
kau menjadi lawak, kraktermu yang dulu telah berbeda dengan hari ini.”
Si
Ma,
“Mencoba
membentuk konspirasi dibalik maksud yang sama itu lebih baik dari pada haru
koar-koar mengagitasi orang lain.”
Si
Dea,
“Siapapun
dirimu kau tetaplah orang Indonesia, berbangsa satu dalam satu Negara, untuk
itu memilihlah”
Si
Ma,
“Aku
adalah produk skeptis, feudal, oportunis, apatis dari buku-buku bukan dari
barat, karena aku masih berfikir dan mencerna serta mnyaring maksudku
menjadikan diriku sebagai produk itu”
Si
Dea,
“Tak
boleh ada perbincangan di pertentangan kelas karena kita bukan dan tak sama
seperti zaman Marx tapi disini zaman Indonesia baru, era paska reformasi. Lalu
berbicarlah Penyadaran kelas.”
Si
Ma,
“Kita
bukan siapa-siapa, kamu dan aku bukan siapa-siapa dinegara ini. Karena kita
hanya anak-anak pagi dari bagian terkecil bangsa ini. Tapi yang paling penting
adalah menjadi diri kita sendiri dan mengerti maksud akan eksistensi diri kita
sendiri.”
Si
Dea,
“Aku
pun bukan pemimpin, aku pun tak mau jadi pemimpin karena pemimpin memiliki
tanggungjawab moril yang amat besar kepada anggota dan apa yang ia payungi.
Lalu aku tak pantas menyandangnya kecuali sebagai faktor penggerak.”
Si
Ma,
“Bukan
Eksisntensi semata tapi setiap orang punya metode berjuang masing masing. Dan
jangan samapai apa yang baru membuat siklus baru lalu mengusangkan siklus yang
sebenarnya sudah dianggap baik lagi benar.”
Si
Dea,
“Jangan
pernah lupa kalau kita masih punya harapan, sesekali harapan itu kita sandarkan
kepada orang lain. Bukan malah kita ikat dan kita bending sendiri
samapai-sampai orang laing tak mengerti maksud kita”
Si
Ma,
“Jaman
ini penuh kepalsuan dibalik tirai-tirai pemikiran ada juga yang tak palsu tapi
terkadang ia lupa dan berubah memalsukan dirinya juga”
Si
Ma,
“Kita
diajarkan bukan menjadi cecunguk penjilat tetapi kita diajarkan sebagai orang
yang kritis hingga tak perduli siapa lawan kita, meski harus sedikit menyelipakan
kata-kata sopan untu beberapa posisi”
Si
Dea,
“Ingatah,
jangan kemanana-mana, tetaplah SATOE !”
Si
Ma,
Tetaplah
menjadi apa yang engkau pegang lalu lepaskan peganganmu setelah engkau sendiri
pudar dan lemah”
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda