Selasa, 06 Mei 2014

MA-DEA

Ketemu Ma dan Dea
     Disebuah warung, disebut WDK. Dimana para advokat dari beberapa organisasi berkepentingan bertemu. Pertemuan itu seperti tak disengaja saja sebenarnya. Disana pembicaraan atas kebenaran diri dan keumumnnya orang disebutkan, dihujatkan, didamaikan, atau sekedar diguyonkan ke satu dan satunya.
Dea sebagai kawan lamanya Ma bertemu disitu. Dea sebagai perwakilan advokat bendera perjuangan kiri dan Ma sebagai perwakilan advokat bendera perjuangan garis tengah saling sapa untuk waktu yang cukup lama.
     Disebut sebagai bendera perjuangan kiri karena bendera ini diposisikan sebagai cerminan baru terhadap sejarah masa silam, masa-masa perjuangan. Perjuangan pernuh tantangan, penuh hujata, kesediahan kala itu. Pada era pra kemerdekaan, orde lama, orde baru atau era reformasi sekali pun. Bendera ini tetap saja dapat dipersamakan. Karena esensi dai bendera ini sama dengan para sejarahnya, perjuangan.
Tetapi sudah beberapa decade ini bendera perjuangan kiri atau enaknya aku sebut si kiri berjalan pada arah pergerakan riil di ranah aksi demonstrasi, pembinaan warga, tulisan-tulisan petisi, karikatur atau membuat gerakan-gerak anti
penindasan. Selama ini itulah yang mereka lakukan. Acuan totalitas arah pergerakan si kiri dapat digambarkan untuk melawan system di kampus kerajaan Timut Jawa dan perlawanan terhadap kebijakan pro penindasan di kerajaan Timut Jawa itu sendiri.
Si kiri h yang garang dengan langkah sorak, kata-kata, dealiktik, agitasi dan retorikanya berlalu menunjukan kepalanya.
     Beda kisah si kiri, berbeda juga kisah si Ma sebagai perwakilan advokat bendera perjuangan garis tengah. Ia dan sejarahnya umumnya bergerak melalui tulisan-tulisan. Dalam era yang sama sejarahnya bendera perjuangan garis tengah atau si tengah memiliki posisi yang tak jau beda dengan si kiri. Sama-sama pejuang. Ajakan persuaasif, hipnotis, empati melalui coretan-coretan tinta adalah keahlian si tengah. Bahkan masa lalu, pada tokoh satu orang saja si kiri dan si tengah dapat dipertemukan. Karena satu tokoh ini memiliki posisi si kiri dan si tengah.
      Tak ada yang perlu diperdebatkan, dingototkan antara Ma dan Dea karena sama-sama berada pada garis perjuangan. Ma dan Dea saling menghargai, mereka sama-sama sadar bahwa mereka harus saling melengkapi dan satu posisi dalam beberapa keadaan. Tapi bukan berarti satu padu dalam satu kesatuan. Beda syariat gerak dan memiliki esensi sama.
    “Ingat Ma ! Satoe sadja, Satoe sadja, Satoe sadja, dan djangan oenani pada dirimoe sendiri,” sahut Dea saat diskusi tak memiliki titik temu. Ma berusaha menyelaraskan igatanya terhadap perjuangan kepa si Ma. Ya, walau sebenarnya Ma juga ingin berkata yang sama pada si Dea.
    “Kita memang disekat payung organisasi. Tapi kita tidak ada perbedaan, kita bukan musuh, kita juga tak lawan. Kita adalah sahabat selama kau tak keluar dari esensi pergerakanmu, ” tandas dengan tegas atas ucapan si Dea saat itu.
   Ma dan Dea dulu sama, tapi ini Ma memisah diri mencari Baju baru karena ia berusaha mencari keahliannya dalam memetakan kemampuan pergerakannya.


Renung
     “Bangsat kau malam ! kenapa kau pertemukan Ma dengan Dea,”. Namun setelah itu untuk beberapa menit nurani ku berbincang, “terimkasih telah pertemukan Ma dan Dea dalam posisi yang sama. Sama-sama sebagai advokat pembenaran dan kebenaran”
     Nyanyian dedaunan yang merasuk kedalam jantung yang semakin men-disko-kan nadinya. Krik-kirk-krik syair jangkrik yang sebentar datang-sebentar mengilang mencoba menggugat setiap pemikiran mereka berdua. Mata-mata pembohong pun mencoba mencari kata dibalik badan-badan bodoh yang berjajar dikanan kiri Ma dan Dea.
     Senyuman pengais harapan mengarahkan pada kata doktrin dan indoktrin. Bukan sekedar antara hawa nafsu yang diperangi melainkan diri kita sendiri-seniri. Tak ada titik henti tempat kita berdealek, tak ada pula titik awal sebagai agenda tawar-menawarkan  tema. Antara bintang dan bulan menjadi saksi, menjadi pengumbar sekaligus pembombong keadaan.
     Malam pun semakin tak jelas keberadaannya karena ditindih fajar yang mulai meronta datang. Ma dan Dea larut dalam sajak-sajak. Bibir-bibir mereka kaku dan mengeras biasanya. Lengan keduanya tak jarang berlarian untuk menggurui dan digurui satu tangan dengan tangan lainya.
     Lupalah mereka itu akan apa yang kurang dalam dirinya, dalam payungnya, dalam dasarnya, atau dalam praktiknya. Keduanya saling menyayat. Sampai waktunya tiba mereka sama-sama sadar akan keberadaanya dirinya masing-masing.
    Setelah kurang lebih kopi dan rokok menemani, bersila membukti, mereka pun berpisah. Dalam keadaan damai dan penuh ingatan. Dea pun ketimur lalu si Ma kebarat. Untuk waktu yang cukup lama mereka mungkin tak akan pernah bertemu dulu.


Pesan-Pesan Ma dan Dea
Si Ma,
    “Ingatlah de kalau disini ada 3 macam Hp dengan merek yang sama tetapi berbeda-beda bentuknya. Merek adalah esensinya dan bentuk adalah eksistensinya. Meski berbeda eksistensi seperti apapun, kita tetap sama.”
Si Dea,
     “Janganlah kau menjadi lawak, kraktermu yang dulu telah berbeda dengan hari ini.”
Si Ma,
    “Mencoba membentuk konspirasi dibalik maksud yang sama itu lebih baik dari pada haru koar-koar mengagitasi orang lain.”
Si Dea,
   “Siapapun dirimu kau tetaplah orang Indonesia, berbangsa satu dalam satu Negara, untuk itu memilihlah”
Si Ma,
    “Aku adalah produk skeptis, feudal, oportunis, apatis dari buku-buku bukan dari barat, karena aku masih berfikir dan mencerna serta mnyaring maksudku menjadikan diriku sebagai produk itu”
Si Dea,
    “Tak boleh ada perbincangan di pertentangan kelas karena kita bukan dan tak sama seperti zaman Marx tapi disini zaman Indonesia baru, era paska reformasi. Lalu berbicarlah Penyadaran kelas.”
Si Ma,
    “Kita bukan siapa-siapa, kamu dan aku bukan siapa-siapa dinegara ini. Karena kita hanya anak-anak pagi dari bagian terkecil bangsa ini. Tapi yang paling penting adalah menjadi diri kita sendiri dan mengerti maksud akan eksistensi diri kita sendiri.”
Si Dea,
    “Aku pun bukan pemimpin, aku pun tak mau jadi pemimpin karena pemimpin memiliki tanggungjawab moril yang amat besar kepada anggota dan apa yang ia payungi. Lalu aku tak pantas menyandangnya kecuali sebagai faktor penggerak.”
Si Ma,
   “Bukan Eksisntensi semata tapi setiap orang punya metode berjuang masing masing. Dan jangan samapai apa yang baru membuat siklus baru lalu mengusangkan siklus yang sebenarnya sudah dianggap baik lagi benar.”
Si Dea,
   “Jangan pernah lupa kalau kita masih punya harapan, sesekali harapan itu kita sandarkan kepada orang lain. Bukan malah kita ikat dan kita bending sendiri samapai-sampai orang laing tak mengerti maksud kita”
Si Ma,
    “Jaman ini penuh kepalsuan dibalik tirai-tirai pemikiran ada juga yang tak palsu tapi terkadang ia lupa dan berubah memalsukan dirinya juga”
Si Ma,
    “Kita diajarkan bukan menjadi cecunguk penjilat tetapi kita diajarkan sebagai orang yang kritis hingga tak perduli siapa lawan kita, meski harus sedikit menyelipakan kata-kata sopan untu beberapa posisi”
Si Dea,
    “Ingatah, jangan kemanana-mana, tetaplah SATOE !”
Si Ma,
    Tetaplah menjadi apa yang engkau pegang lalu lepaskan peganganmu setelah engkau sendiri pudar dan lemah”

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda