Hari ini memasuki bulan pahlawan nasional. Aku (Sukma) sudah sekitar 3 tahun tingal di Negeri Anta Branta dari Kerajaan Timur Jawa. Siang itu sekitar pukul 13.18 suatu kejadian lucu menimpaku hari ini. Kenapa lucu, gara-gara aku bertemu dengan Rogo, si manusia angkuh,
sombong, pemarah, egois, lagi haus popularitas eksistensi, panakut, dangkal isi bicaranya, ucap ku dalam otak dangkal dikepalaku.
“Hai Sukma,
maksudmu apa menyebutkan namaku kemarin malam dalam diskusi dadakan itu,”
sontak Rogo padaku dalam sebuah ruang berukuran sepetak ladang pekarangan yang
didalamnya dihiasi gambar-gambar kepala saudaranya Rogo dan beberapa plastic
penghargaan serta sebuah mesin aneh yang dapat menampilkan tulisan-tulisan,
game, gambar-gambar didalamnya lalu terkadang di sampingnya mesin aneh itu
keluar masuk kertas. Kertas yang awalnya bersih mulus menjadi kehitam-hitaman
berpola setelah keluar dari tempat khusus.
“Saya lo gak
pernah merasa kamu wawancarai, tapi kenapa kamu menyebutkan namaku. Sekarang gimana
ini namaku dan nama rumahku serta keluargaku tercemar ma-Sukma, kamu paham itu
kan,” tegas Rogo padaku.
“Gini lo go Rogo,
sebelumnya aku minta maaf yang sebesar besarnya padamu dan pada rumahmu serta
pada keluargamu. Secara pribadi perlu sampean pahami pula kalau kemarin itu aku
salah ceplos menggunakan nama narasumber. Padahal aku kemaribertemu dan ngobrol
sama kamu itu bukan atas nama rumah dan keluarga, nama pribadiku sendiri.”
“Anak
kecilpun bisa ngomong demikian, kalau minta maaf hanya sekedar ucapan. Terus
terang aku malu ma Sukma. Gara-gara kamu menyebut namaku dalam diskusi itu
seluruh orang tuaku memarahiku nantinya, mencemarkan nama baik katanya nanti.”
“Maaf Rogo,
bukan begitu maksudku. Maaf jangan salah faham dulu go. Aku menyebut namamu
karena kepepet dan sanat terpaksa setelah para para cengkareng memaksaku bicara
dasar atas tulisanku. Itu pun sudah seijin ibumu.” Jawabku yang masih berusaha menenangkan suasana
batin yang belum begitu tenang akibat pristiwa diskusi malam.
“Jujur ya
saya sangat tidak terima ma. Kamu menyebut namaku dan akhirnya beberapa
tetangga mengejekku dengan asumsi mencemarkan nama baik tetanggaku sendiri. Akhirnya
namaku dan keluargaku cemar to secara tidak disengaja. Sudah kamu nulis tak
bilang bilang kalau wawancara. Tulisanmu juga melangar etika penulsian. Bisa
tak tuntut lo tulisanmu itu, kamu bisa masuk jeruji boneka nantinya. Gak terima
aku pokoknya,” eyel Rogo.
Aku lambat laun berfikir. Menghela nafas untuk
sekedar memenangkan kepalaku. Ternya tak mampu dan tak sanggup membendung
kepalaku kini. Akhirnya perang pemikiran sendiri terjadi. Tak tanggung-tanggung
aku berkeputusan, “Lawan, ini pembenaran
pribadi lalu aku akan jadi korban mereka. Aku tak boleh berlaku sopan lagi.”
“Gini, aku
menulis atas nama pribadi go dan jangan bawa siapapun dalam masalah ini. Kalau
tadi kamu dan bapakmu bilang aku melanggar etika penulisan. Etika penulisan
yang mana ? Kalau kamu bilang mencemarkan nama baik alasannya apa? Toh aku
kemarin juga benar-benar bertemu denganmu, ngobrol denganmu, dan apa yang kamu
katakana ternyata juga sama dengan yang aku alami. Jujur juga go, aku
sebenarnya orang yang gak suka emosi tapi karena karena seolah olah kamu malah
memojokanku dan mempersulitku serta tak mencoba memberkan maaf padaku,” lantang jawabku seketika itu juga.
“Masalahnya,
kamu menyebut namaku. Coba tidak menyebut aku dan rumah serta keluargaku juga
tidak akan malu gara-gara diejek orang dan aku juga tak akan memanggilmu
kesini, kerumahku” tegas Rogo
dan bapaknya dengan esensi sama.
“Masalah apa?
Dan apakah dengan sekedar asumsi kamu lantas mengadiliku seperti ini ! wajarkah
ini. Dan kamu juga harus ingat go kalau aku itu bicara realita dan bukti kalau
aku benar-benar ketemu dirimu. Tapi tolong, tolong dipahami kalau saya menulis
2 atau 3 lembar dalam tulisan itu bukan berarti seluruh ide tulisan itu utuh
darimu, Bahkan judul,” jawab dalam
tatap mata tajam pada Rogo saat itu.
“Maaf bapak,
kalau pernyataan Rogo dan saya sampai nanti dilanjut tentu tak akan usai karena
Rogo tetap ngotot dengan pendapatnya dan saya juga. Maaf bapak dengan beribu
maaf saya mengakui salah telah membuka nama Rogo. Dan saya tidak mau ini saling
ngotot dan nantinya timbul perang. Saya tidak mau, sekali lagi saya tidak mau.
Disini saya berharap anda sebegai bapak.”
“Saya paham
mas maksudmu. Tapi bagaimana cara memperbaiki nama baik Rogo anakku ini.
Namanya sudah cemar, nama kami sudah cemar. Kamu mengerti itukan,” tukas bapak Rogo kala itu sambil bersila dengan
sopan.
Perlahan aku
menatapi mata Rogo sesering munkin. “Kalau bicara cemar pak, cemar yang mana !
saya tidak berbohong dalam tulisan itu atas pernyataan Rogo, dan pertemuanku
dengan Rogo. Aku tak mau diskusi ini diperpanjang, tak ada gunanya. Karena tak
ada pihak ke 3. Dan masak aku harus berkata Rogo egois dan ngotot dalam hal
ini. Lalu sebenarnya yang kalian inginkan apa, solusinya apa? Aku akan kabulkan
itu, jika aku sanggup,” sentakku
sembari membaca mantra peredam emosi dan mantra pukul.
“Pokoknya
tulisan itu harus kamu tenggelamkan dari samudra. Dan kamu harus membuat surat
permintaan maaf secara tertulis dan berstempel pada ku atas tulisanku. Baru aku
mau. Kalau masalah maaf aku sudah memaafkanmu. Tapi ini lo syaratku,” eyel Rogo dan bapaknya seperti itu.
Aku pun geram, perlahan menaruh muka, tepat
diantara muka Rogo dan bapaknya. Kesalku menggunung, karena eyel Rogo dan
bapaknya yang sok benar dan tak belajar memaknai kata-kataku secara perlahan.
Entah atas nama egoime atau popularitas mungkin, aku tak paham betul hingga
eyelnya membugah mahluk kasar dalam
riku.
“Gak mau,
jujur gak mau. Secara hormat aku sudah meminta maaf dan sebagai bukti
permintaan maafku. Tulisanku yang kau sebut-sebut tadi aku kasihkan padamu biar
kau tahu apakah ada namamu dalam dulisanku? Apakah pantas kau sebut aku
mencemarkan nama baikmu. Pokoknya kalau mau kalian begitu aku minta maaf, tidak
bisa. Dan bapak secara terhormat saya minta maaf, aku tak mau,” tegasku saat itu dengan lantang hingga seluruh
isi ruangan gemetaran. Tapi bukan karena takut, hanya kareana bingung menagawasi
diskusi ini yang kian runyam. Dia malu pada alam, lau berdoa pada alam
mangkanya gemetaran.
Siang itu suasana sulit dikendalikan. Antara aku
dan Rogo serta keluarganya bahkan rumahnya tak bisa disatukan lagi. Aku atas
nama peribadiku denga tulisanku. Dan Rogo
atas nama rumah dan keluarganya berasumsi negative pada seluruh isi tulisanku.
Ancaman akan dilapokan kepada kepala RT dan
Bahkan Kepala Suku dihujatkan pula oleh Rogo, gara-gara aku tak mau memenuhi eyelnya
Rogo.
Susasana makin alot namun lumayan lengang karana
tak ada titik temu.
“Go Rogo, aku siap kau mau bawa aku kemana pun kalau kau bilang aku mencemarkan namamu, rumahmu dan keluargamu. Aku siap. Dan akan aku penuhi itu. Kau panggil aku saat seluruh keluargamu telah kau kumpulkan aku juga siap, dan akan datang sendiri dihadapan kalian. Go jujur aku minta maaf kalau kau nantinya tersinggung dengan hal ini,” tandasku waktu itu.
“Go Rogo, aku siap kau mau bawa aku kemana pun kalau kau bilang aku mencemarkan namamu, rumahmu dan keluargamu. Aku siap. Dan akan aku penuhi itu. Kau panggil aku saat seluruh keluargamu telah kau kumpulkan aku juga siap, dan akan datang sendiri dihadapan kalian. Go jujur aku minta maaf kalau kau nantinya tersinggung dengan hal ini,” tandasku waktu itu.
“Kalau begitu
jangan kau salahkan aku jika besok-besok masalah ini semakin rumit dan panjang.
Lalu kepala suku mengeluarkanmu dari desa ini. Aku kenal betul kepala suku. Dan
kau pasti bisa-saja dikeluarkan.”
Ucapan itulah yang berkali kali aku dengar sampai aku pergi dari ruang itu
secara baik-baik. Dan beberapa jabat tangan. Aku lalu pergi dari ruang.
Bersambung…..!!!!
Bangkalan…..!!!
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda