Jumat, 23 Mei 2014

ROGO, SUKMA DAN KELUARGANYA


           Hari ini memasuki bulan pahlawan nasional. Aku (Sukma) sudah sekitar 3 tahun tingal di Negeri Anta Branta dari  Kerajaan Timur Jawa. Siang itu sekitar pukul 13.18 suatu kejadian lucu menimpaku hari ini. Kenapa lucu, gara-gara aku bertemu dengan Rogo, si manusia angkuh,
sombong, pemarah, egois, lagi haus popularitas eksistensi, panakut, dangkal isi bicaranya, ucap ku dalam otak dangkal dikepalaku.
Hai Sukma, maksudmu apa menyebutkan namaku kemarin malam dalam diskusi dadakan itu,” sontak Rogo padaku dalam sebuah ruang berukuran sepetak ladang pekarangan yang didalamnya dihiasi gambar-gambar kepala saudaranya Rogo dan beberapa plastic penghargaan serta sebuah mesin aneh yang dapat menampilkan tulisan-tulisan, game, gambar-gambar didalamnya lalu terkadang di sampingnya mesin aneh itu keluar masuk kertas. Kertas yang awalnya bersih mulus menjadi kehitam-hitaman berpola setelah keluar dari tempat khusus.
“Saya lo gak pernah merasa kamu wawancarai, tapi kenapa kamu menyebutkan namaku. Sekarang gimana ini namaku dan nama rumahku serta keluargaku tercemar ma-Sukma, kamu paham itu kan,” tegas Rogo padaku.
“Gini lo go Rogo, sebelumnya aku minta maaf yang sebesar besarnya padamu dan pada rumahmu serta pada keluargamu. Secara pribadi perlu sampean pahami pula kalau kemarin itu aku salah ceplos menggunakan nama narasumber. Padahal aku kemaribertemu dan ngobrol sama kamu itu bukan atas nama rumah dan keluarga, nama pribadiku sendiri.”
“Anak kecilpun bisa ngomong demikian, kalau minta maaf hanya sekedar ucapan. Terus terang aku malu ma Sukma. Gara-gara kamu menyebut namaku dalam diskusi itu seluruh orang tuaku memarahiku nantinya, mencemarkan nama baik katanya nanti.”
“Maaf Rogo, bukan begitu maksudku. Maaf jangan salah faham dulu go. Aku menyebut namamu karena kepepet dan sanat terpaksa setelah para para cengkareng memaksaku bicara dasar atas tulisanku. Itu pun sudah seijin ibumu.” Jawabku yang masih berusaha menenangkan suasana batin yang belum begitu tenang akibat pristiwa diskusi malam.
“Jujur ya saya sangat tidak terima ma. Kamu menyebut namaku dan akhirnya beberapa tetangga mengejekku dengan asumsi mencemarkan nama baik tetanggaku sendiri. Akhirnya namaku dan keluargaku cemar to secara tidak disengaja. Sudah kamu nulis tak bilang bilang kalau wawancara. Tulisanmu juga melangar etika penulsian. Bisa tak tuntut lo tulisanmu itu, kamu bisa masuk jeruji boneka nantinya. Gak terima aku pokoknya,” eyel Rogo.
Aku lambat laun berfikir. Menghela nafas untuk sekedar memenangkan kepalaku. Ternya tak mampu dan tak sanggup membendung kepalaku kini. Akhirnya perang pemikiran sendiri terjadi. Tak tanggung-tanggung aku berkeputusan, “Lawan, ini pembenaran pribadi lalu aku akan jadi korban mereka. Aku tak boleh berlaku sopan lagi.”
“Gini, aku menulis atas nama pribadi go dan jangan bawa siapapun dalam masalah ini. Kalau tadi kamu dan bapakmu bilang aku melanggar etika penulisan. Etika penulisan yang mana ? Kalau kamu bilang mencemarkan nama baik alasannya apa? Toh aku kemarin juga benar-benar bertemu denganmu, ngobrol denganmu, dan apa yang kamu katakana ternyata juga sama dengan yang aku alami. Jujur juga go, aku sebenarnya orang yang gak suka emosi tapi karena karena seolah olah kamu malah memojokanku dan mempersulitku serta tak mencoba memberkan maaf padaku,” lantang jawabku seketika itu juga.
“Masalahnya, kamu menyebut namaku. Coba tidak menyebut aku dan rumah serta keluargaku juga tidak akan malu gara-gara diejek orang dan aku juga tak akan memanggilmu kesini, kerumahku” tegas Rogo dan bapaknya dengan esensi sama.
“Masalah apa? Dan apakah dengan sekedar asumsi kamu lantas mengadiliku seperti ini ! wajarkah ini. Dan kamu juga harus ingat go kalau aku itu bicara realita dan bukti kalau aku benar-benar ketemu dirimu. Tapi tolong, tolong dipahami kalau saya menulis 2 atau 3 lembar dalam tulisan itu bukan berarti seluruh ide tulisan itu utuh darimu, Bahkan judul,” jawab dalam tatap mata tajam pada Rogo saat itu.
“Maaf bapak, kalau pernyataan Rogo dan saya sampai nanti dilanjut tentu tak akan usai karena Rogo tetap ngotot dengan pendapatnya dan saya juga. Maaf bapak dengan beribu maaf saya mengakui salah telah membuka nama Rogo. Dan saya tidak mau ini saling ngotot dan nantinya timbul perang. Saya tidak mau, sekali lagi saya tidak mau. Disini saya berharap anda sebegai bapak.”
“Saya paham mas maksudmu. Tapi bagaimana cara memperbaiki nama baik Rogo anakku ini. Namanya sudah cemar, nama kami sudah cemar. Kamu mengerti itukan,” tukas bapak Rogo kala itu sambil bersila dengan sopan.
Perlahan aku menatapi mata Rogo sesering munkin. “Kalau bicara cemar pak, cemar yang mana ! saya tidak berbohong dalam tulisan itu atas pernyataan Rogo, dan pertemuanku dengan Rogo. Aku tak mau diskusi ini diperpanjang, tak ada gunanya. Karena tak ada pihak ke 3. Dan masak aku harus berkata Rogo egois dan ngotot dalam hal ini. Lalu sebenarnya yang kalian inginkan apa, solusinya apa? Aku akan kabulkan itu, jika aku sanggup,” sentakku sembari membaca mantra peredam emosi dan mantra pukul.
“Pokoknya tulisan itu harus kamu tenggelamkan dari samudra. Dan kamu harus membuat surat permintaan maaf secara tertulis dan berstempel pada ku atas tulisanku. Baru aku mau. Kalau masalah maaf aku sudah memaafkanmu. Tapi ini lo syaratku,” eyel Rogo dan bapaknya seperti itu.
Aku pun geram, perlahan menaruh muka, tepat diantara muka Rogo dan bapaknya. Kesalku menggunung, karena eyel Rogo dan bapaknya yang sok benar dan tak belajar memaknai kata-kataku secara perlahan. Entah atas nama egoime atau popularitas mungkin, aku tak paham betul hingga eyelnya membugah mahluk kasar dalam riku.
“Gak mau, jujur gak mau. Secara hormat aku sudah meminta maaf dan sebagai bukti permintaan maafku. Tulisanku yang kau sebut-sebut tadi aku kasihkan padamu biar kau tahu apakah ada namamu dalam dulisanku? Apakah pantas kau sebut aku mencemarkan nama baikmu. Pokoknya kalau mau kalian begitu aku minta maaf, tidak bisa. Dan bapak secara terhormat saya minta maaf, aku tak mau,” tegasku saat itu dengan lantang hingga seluruh isi ruangan gemetaran. Tapi bukan karena takut, hanya kareana bingung menagawasi diskusi ini yang kian runyam. Dia malu pada alam, lau berdoa pada alam mangkanya gemetaran.
Siang itu suasana sulit dikendalikan. Antara aku dan Rogo serta keluarganya bahkan rumahnya tak bisa disatukan lagi. Aku atas nama peribadiku denga  tulisanku. Dan Rogo atas nama rumah dan keluarganya berasumsi negative pada seluruh isi tulisanku.
Ancaman akan dilapokan kepada kepala RT dan Bahkan Kepala Suku dihujatkan pula oleh Rogo, gara-gara aku tak mau memenuhi eyelnya Rogo.
Susasana makin alot namun lumayan lengang karana tak ada titik temu.
“Go Rogo, aku siap kau mau bawa aku kemana pun kalau kau bilang aku mencemarkan namamu, rumahmu dan keluargamu. Aku siap. Dan akan aku penuhi itu. Kau panggil aku saat seluruh keluargamu telah kau kumpulkan aku juga siap, dan akan datang sendiri dihadapan kalian. Go jujur aku minta maaf kalau kau nantinya tersinggung dengan hal ini,” tandasku waktu itu.
“Kalau begitu jangan kau salahkan aku jika besok-besok masalah ini semakin rumit dan panjang. Lalu kepala suku mengeluarkanmu dari desa ini. Aku kenal betul kepala suku. Dan kau pasti bisa-saja dikeluarkan.” Ucapan itulah yang berkali kali aku dengar sampai aku pergi dari ruang itu secara baik-baik. Dan beberapa jabat tangan. Aku lalu pergi dari ruang.
Bersambung…..!!!!
Bangkalan…..!!!

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda