Tiba-tiba
saja sebuah buku catatan bersampul hitam direnggut tanpa seijin yang punya. Dan
ketika itu pemiliknya memandangi si pengambil dengan kecutnya. Matanya
menjalar-jalar menanti maksud pengambilan buku miliknya.
Tak
lama kemudian Tio yang tadi mengambil buku tersebut memegang pena warna hitam.
Pena itu dipandangi dengan kedua bola matanya sambil terlihat memikirkan
sesuatu. Wajahnya mengartikan suatu keinginan untuk memuntahkan pemikiran yang
amat besar rasanya.
Firy
si pemilik buku tetap saja memelototi gerak-gerik Tio. Menantikan maksud
renggutannya. “Awas kau Yo, kupukul
otakmu nanti jika engkau mengambil tanpa sebab,” pikir si Firy.
Saat
itu suasana petang. Fajar baru saja memantulkan cahaya kemerahannya di
langit-langit. Dan seorang bapak paruh baya yang memegang sebuah kitab berwarna
merah terlihat dibolak-balik. Di tangan bapak paruh baya itu dipeganya mic yang
dapat mengantarkan suara merdunya ke sound system dikanan bapak paruh baya.
Terlihat ia mengertikan sebuah kata-kata bertuliskan arab rasanya.
Firy
masih saja mengawasi tindakannya Tio.
Tiba-tiba
saja Tio mengantarkan penanya ke atas kertas putih yang telah dibukannya 5
menit lalu. Tulisan-tulisan hitam mulai menari-nari di atas kertas itu.
“Keyakinan terhadap agama hanyalah sebuah
kesepakatan mayoritas seperti halnya Matematika,” tulis Tio. Lalu, tanpa
bicara sepatah kata pun tulisan pada kertas itu ia serahkan pada lengan Firy
yang terbuka diatas kedua pupunya.
Firy
membuang pandangnya pada Tio seketika itu juga. Ia pun tak segera mengambil
respon pada kertas itu. Sesekali ia melirikan matanya kebawah. Kekertas diatas
pahanya.
Kembalilah
diambil buku itu dari pangkuannya Firy. Lalu Tio pun berusaha memberikan uraian
pertanyaan kembali. “Apakah Allah
meridhoi agama hanya pada agama yang disukai-Nya saja?” tulis Tio. Dan
secepat mungkin ia meletakan buku itu ke pangkuannya Firy.
Firy
terlihat diam. Ia mencoba mengela nafas diatara kebingungannya. “Kenapa Tio menulis seperti ini. Apa yang
terjadi padanya? Apa otaknya sedang dicuci oleh orang hari ini,” fikirnya
setelah membaca tulisan pada kertas tersebut.
Pelan-pelan
ia meminta pena yang dipegang oleh Tio. Pelan-pelan pula dengan penuh hati hati
ia menjawab tulisan itu. Pertanyaan yang datangnya melalui tulisan dan ia
mencoba menghargai pertanyaan melalui tulisan pula dalam jawabannya.
“Ia, karena Allah maha berkehendak”
“Setiap agama juga punya pemahaman yang sama
dan sangat baik pula, seperti agama kita ini.”
“Karena Allah yang menciptakan itu semua.
Contoh kecil saja pada manusia, UUD saja masih bisa diamandement. Apakah UUD
sebelumnya lebih kuat?”
“Allah itu sekedar nama. Agama yang lain pun
punya pemahaman itu tadi.”
Mata
yang mulai memerah. Jari-jari yang memegang pena pun mulai mengaku penuh
gemetar semangat. “Janggal-sungguh
janggal engkau ini Yo. Setan apa yang telah masuk pada otakmu kini,” gumam
Firy dalam diamnya.
“Tidak, Allah tidak sekedar nama. Makanya
perbanyaklah membaca buku-buku agama kita.” Begitulah tinta yang berpola
dituliskan Firy sore itu.
“Agama yang lain juga seperti demikian dalam
memahami nama Tuhannya. Lalu, Allah itu apa? ” tulis Tio. Ia begitu tenang
menulis. Ia tak terlihat sok tau atau menggurui. Hanya ingin mengetahi jawaban
Firy saja rasanya tulisan demi tulisan, peertanyaan demi pertanyaan di
lemparkan malam itu.
Bulan
mulai menampakkan wajahnya malam itu. Bintang gemintang pun mulai memberi warna
pada langit-langit angkasa. Dan suara bising jalan raya depan pondok mahasiswa
yang mereka tempati kian menyepi saja. Hingga begitu sepi benar rasanya.
“Tidak dapat dijawab sepenuhnya. Yang jelas
mahas sesungguhnya. Akan tetapi agama lain tidak mengakui adanya nabi yang
terakhir. Itu bedanya. Dan agama yang dibawa nabi terakhir kita ini adalah
Islam Yo.”
Tio
serasa semakin bingung untuk mengambil kesipulan tulisa dan jawaban lawan
tulisnya. “Apakah si Firy tak pernah
berfikir untuk menggunakan teori keterbalikan dengan dasar tetap mengindahkan
lagi menghargai agama yang lain,” angannya. Dipandangailah dengan ketat
mata Firy yang bergitu terlihat bergelora penuh idealism agama.
Tio
mencoba memberikan penanya kembali pada Firy. Pena yang dari tadi
dilempar-lempar oleh kedua belah pihak. “Pelan-pelan
saja ! gak perlu pakai semangat, buat santai dan biasa tanpa ambisi Fir. Lihat
tuh tulisanmu menjadi tak rapi karena ulahmu sendiri. Nikmatilah tak perlu
menderu-deru,” bisiknya pada firy.
Firy
memandangi muka Tio kembali. Muka yang makin lama makin kabur anggapnya. Makin
tak jelas keberadaan keimanannya.
“Agama kita selama ini mengajarkan kita untuk
mengakui keberadaan nabi terakhir. Nabi itu pun sejarah yang dipaksakan Tuhan.
Lalu, apakah engkau pun pernah menghargai nabi mereka ! dewa Ra’ atau Siwa? ”
“Agama yang lain pun mempunyai nabi. Kita
kembalikan lagi pertanyaanmu. Masalah dewa Matahari, dewa Matahari pun ciptaan
Allah. Secara tidak langsung dewa itu memiliki kuasa, Kuasa hanya milik Allah. Jadi
tetap kembali pada Allah.” Pelan-pelan Firy mulai mengatur semangatnya ia
tulis jawaban pada kertas putih yang semakin kehilangan warna dasarnya.
“Nabimu adalah ciptaan Tuhan dan Dewanya
mereka juga ciptaan Tuhan.”
“Memang, tapi apakah dalam melihat
peritah Tuhan kita. Kita lebih pantas memuliakan dewa Matahari dari pada Nabi?
Tidak rasanya, tidak.”
“Engkau pun benar ! Agama kita memang terasa benar-benar
memaksa kita untuk mempercayaai itu semua. Sebuah paksaan yang mungkin saat ini
tak engkau akui,” jawab Tio.
Pelan-pelan ia pun mulai mengatur emosionalnya. Dengan hati-hati dan mencoba
menghargai jawaban orang dari keturunan Madura.
“Paksaan disini karena perintah Allah.
Paksaan dari Allah dengan selain Allah harus dibedakan. Masalah mengakui atau
tidak mengakui itu kembali pada orangnya sendiri-sendiri. Susah menilai hati
Yo. ”
Tio
serasa sedang berhadapan dengan ombak. Ombak yang begitu tinggi besar kekuatan
volumenya. Tapi volume itu seolah tak berarti karena ombak itu berada dalam
sebuah bak berukuran 10 liter saja. Dasarnya pun landai setinggi 25 cm kiranya.
“Karena itu semualah kukira, dalam agam kita
ini pulalah kita begini, karena Allah. Itu semua engkau katakana dengan benar.
Namun setidaknya kuburlah perasaanmu itu untuk anakmu, untuk anak cucumu dalam
memaksakan agama. Dan sebisa mungkin janganlah engkau memperlihatkan perbedaan
serta meng-wah-wah-kan agamamu kini dan dirimu sendiri,” tulis Tio.
“Kembali pada tulisan yang awal tadi. Akan
timbul dari dari hati nurani apabila kita melewati sebuah pemahaman. Jadi
kenapa harus dikubur ! dan masalah anak-cucu member atau memperlihatkan
perbedaan, itu kehendak Allah. Kenapa aku dilahirkan seorang muslim.”
“Benar-benar !!! ku kira engkau tak pernah
mencoba menghargai perbedaan agama. Ya tak pernah, yang ada hanya Allah-Allah-
dan Allah.”
“Cara menghargai itukan banyak lagi relative.
Tapi untuk mengarah kekeyakinan itu tetap. Keyakinan mampu mengalahkan logika
dan pikiran. Jikalau engkau tidak percaya maka buktikan saja.”
“Ku pikir disini aku tak mencoba
mempertempurkan logika dan keyakinan. Tapi aku hanya mencoba memberi pemahaman
untuk menarik kesipulan. Bagaimana rasanya, pentingnya keberadaan
bermultikulturan dalam kedamaian antar agama,” hati hati ia mendengarkan
suara dari hatinya. Suara yang tak mampu ia katakn pada Firy. Suara yang selalu
terpendam begitu saja, begitu saja pada alur kemaluannya.
Pelan-pelan
ia pun mencoba menutup goresan-goresan diskusi tinta. Ramah ia menulis, hampir
tak terdengar ketikan nada tulisannya. “Benar-benar
! saranku sesekali engkau perlulah mencoba hidup diantara orang-orang beda
agama.”
SUARA
LELAKI SETENGAH BAYA pun menghilang seiring goresan tinta yang telah berhenti 2
menit lalu. Mereka pun bubar saling menjauh dengan tetap saling sapa. Sesekali
mereka juga tertawa terbahak-bahak bersama saat melihat kembali tulisan dalam
buku tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda