Kamis, 12 Juni 2014

GORESAN DISKUSI TINTA

       Tiba-tiba saja sebuah buku catatan bersampul hitam direnggut tanpa seijin yang punya. Dan ketika itu pemiliknya memandangi si pengambil dengan kecutnya. Matanya menjalar-jalar menanti maksud pengambilan buku miliknya.
       Tak lama kemudian Tio yang tadi mengambil buku tersebut memegang pena warna hitam. Pena itu dipandangi dengan kedua bola matanya sambil terlihat memikirkan sesuatu. Wajahnya mengartikan suatu keinginan untuk memuntahkan pemikiran yang amat besar rasanya.

       Firy si pemilik buku tetap saja memelototi gerak-gerik Tio. Menantikan maksud renggutannya. “Awas kau Yo, kupukul otakmu nanti jika engkau mengambil tanpa sebab,” pikir si Firy.
       Saat itu suasana petang. Fajar baru saja memantulkan cahaya kemerahannya di langit-langit. Dan seorang bapak paruh baya yang memegang sebuah kitab berwarna merah terlihat dibolak-balik. Di tangan bapak paruh baya itu dipeganya mic yang dapat mengantarkan suara merdunya ke sound system dikanan bapak paruh baya. Terlihat ia mengertikan sebuah kata-kata bertuliskan arab rasanya.
       Firy masih saja mengawasi tindakannya Tio.
       Tiba-tiba saja Tio mengantarkan penanya ke atas kertas putih yang telah dibukannya 5 menit lalu. Tulisan-tulisan hitam mulai menari-nari di atas kertas itu.
       Keyakinan terhadap agama hanyalah sebuah kesepakatan mayoritas seperti halnya Matematika,” tulis Tio. Lalu, tanpa bicara sepatah kata pun tulisan pada kertas itu ia serahkan pada lengan Firy yang terbuka diatas kedua pupunya.
       Firy membuang pandangnya pada Tio seketika itu juga. Ia pun tak segera mengambil respon pada kertas itu. Sesekali ia melirikan matanya kebawah. Kekertas diatas pahanya.
       Kembalilah diambil buku itu dari pangkuannya Firy. Lalu Tio pun berusaha memberikan uraian pertanyaan kembali. “Apakah Allah meridhoi agama hanya pada agama yang disukai-Nya saja?” tulis Tio. Dan secepat mungkin ia meletakan buku itu ke pangkuannya Firy.
       Firy terlihat diam. Ia mencoba mengela nafas diatara kebingungannya. “Kenapa Tio menulis seperti ini. Apa yang terjadi padanya? Apa otaknya sedang dicuci oleh orang hari ini,” fikirnya setelah membaca tulisan pada kertas tersebut.
       Pelan-pelan ia meminta pena yang dipegang oleh Tio. Pelan-pelan pula dengan penuh hati hati ia menjawab tulisan itu. Pertanyaan yang datangnya melalui tulisan dan ia mencoba menghargai pertanyaan melalui tulisan pula dalam jawabannya.
       Ia, karena Allah maha berkehendak
       Setiap agama juga punya pemahaman yang sama dan sangat baik pula, seperti agama kita ini.
       Karena Allah yang menciptakan itu semua. Contoh kecil saja pada manusia, UUD saja masih bisa diamandement. Apakah UUD sebelumnya lebih kuat?
       Allah itu sekedar nama. Agama yang lain pun punya pemahaman itu tadi.
       Mata yang mulai memerah. Jari-jari yang memegang pena pun mulai mengaku penuh gemetar semangat. “Janggal-sungguh janggal engkau ini Yo. Setan apa yang telah masuk pada otakmu kini,” gumam Firy dalam diamnya.
       Tidak, Allah tidak sekedar nama. Makanya perbanyaklah membaca buku-buku agama kita.” Begitulah tinta yang berpola dituliskan Firy sore itu.
       Agama yang lain juga seperti demikian dalam memahami nama Tuhannya. Lalu, Allah itu apa? ” tulis Tio. Ia begitu tenang menulis. Ia tak terlihat sok tau atau menggurui. Hanya ingin mengetahi jawaban Firy saja rasanya tulisan demi tulisan, peertanyaan demi pertanyaan di lemparkan malam itu.
       Bulan mulai menampakkan wajahnya malam itu. Bintang gemintang pun mulai memberi warna pada langit-langit angkasa. Dan suara bising jalan raya depan pondok mahasiswa yang mereka tempati kian menyepi saja. Hingga begitu sepi benar rasanya.
       Tidak dapat dijawab sepenuhnya. Yang jelas mahas sesungguhnya. Akan tetapi agama lain tidak mengakui adanya nabi yang terakhir. Itu bedanya. Dan agama yang dibawa nabi terakhir kita ini adalah Islam Yo.
       Tio serasa semakin bingung untuk mengambil kesipulan tulisa dan jawaban lawan tulisnya. “Apakah si Firy tak pernah berfikir untuk menggunakan teori keterbalikan dengan dasar tetap mengindahkan lagi menghargai agama yang lain,” angannya. Dipandangailah dengan ketat mata Firy yang bergitu terlihat bergelora penuh idealism agama.
       Tio mencoba memberikan penanya kembali pada Firy. Pena yang dari tadi dilempar-lempar oleh kedua belah pihak. “Pelan-pelan saja ! gak perlu pakai semangat, buat santai dan biasa tanpa ambisi Fir. Lihat tuh tulisanmu menjadi tak rapi karena ulahmu sendiri. Nikmatilah tak perlu menderu-deru,” bisiknya pada firy.
       Firy memandangi muka Tio kembali. Muka yang makin lama makin kabur anggapnya. Makin tak jelas keberadaan keimanannya.
       Agama kita selama ini mengajarkan kita untuk mengakui keberadaan nabi terakhir. Nabi itu pun sejarah yang dipaksakan Tuhan. Lalu, apakah engkau pun pernah menghargai nabi mereka ! dewa Ra’ atau Siwa?
       Agama yang lain pun mempunyai nabi. Kita kembalikan lagi pertanyaanmu. Masalah dewa Matahari, dewa Matahari pun ciptaan Allah. Secara tidak langsung dewa itu memiliki kuasa, Kuasa hanya milik Allah. Jadi tetap kembali pada Allah.” Pelan-pelan Firy mulai mengatur semangatnya ia tulis jawaban pada kertas putih yang semakin kehilangan warna dasarnya.
       Nabimu adalah ciptaan Tuhan dan Dewanya mereka juga ciptaan Tuhan.
       Memang, tapi apakah dalam melihat peritah Tuhan kita. Kita lebih pantas memuliakan dewa Matahari dari pada Nabi? Tidak rasanya, tidak.”
       Engkau pun benar ! Agama kita memang terasa benar-benar memaksa kita untuk mempercayaai itu semua. Sebuah paksaan yang mungkin saat ini tak engkau akui,”  jawab Tio. Pelan-pelan ia pun mulai mengatur emosionalnya. Dengan hati-hati dan mencoba menghargai jawaban orang dari keturunan Madura.
       Paksaan disini karena perintah Allah. Paksaan dari Allah dengan selain Allah harus dibedakan. Masalah mengakui atau tidak mengakui itu kembali pada orangnya sendiri-sendiri. Susah menilai hati Yo.
       Tio serasa sedang berhadapan dengan ombak. Ombak yang begitu tinggi besar kekuatan volumenya. Tapi volume itu seolah tak berarti karena ombak itu berada dalam sebuah bak berukuran 10 liter saja. Dasarnya pun landai setinggi 25 cm kiranya.
       Karena itu semualah kukira, dalam agam kita ini pulalah kita begini, karena Allah. Itu semua engkau katakana dengan benar. Namun setidaknya kuburlah perasaanmu itu untuk anakmu, untuk anak cucumu dalam memaksakan agama. Dan sebisa mungkin janganlah engkau memperlihatkan perbedaan serta meng-wah-wah-kan agamamu kini dan dirimu sendiri,” tulis Tio.
       Kembali pada tulisan yang awal tadi. Akan timbul dari dari hati nurani apabila kita melewati sebuah pemahaman. Jadi kenapa harus dikubur ! dan masalah anak-cucu member atau memperlihatkan perbedaan, itu kehendak Allah. Kenapa aku dilahirkan seorang muslim.
       Benar-benar !!! ku kira engkau tak pernah mencoba menghargai perbedaan agama. Ya tak pernah, yang ada hanya Allah-Allah- dan Allah.”
       Cara menghargai itukan banyak lagi relative. Tapi untuk mengarah kekeyakinan itu tetap. Keyakinan mampu mengalahkan logika dan pikiran. Jikalau engkau tidak percaya maka buktikan saja.
       Ku pikir disini aku tak mencoba mempertempurkan logika dan keyakinan. Tapi aku hanya mencoba memberi pemahaman untuk menarik kesipulan. Bagaimana rasanya, pentingnya keberadaan bermultikulturan dalam kedamaian antar agama,” hati hati ia mendengarkan suara dari hatinya. Suara yang tak mampu ia katakn pada Firy. Suara yang selalu terpendam begitu saja, begitu saja pada alur kemaluannya.
       Pelan-pelan ia pun mencoba menutup goresan-goresan diskusi tinta. Ramah ia menulis, hampir tak terdengar ketikan nada tulisannya. “Benar-benar ! saranku sesekali engkau perlulah mencoba hidup diantara orang-orang beda agama.
       SUARA LELAKI SETENGAH BAYA pun menghilang seiring goresan tinta yang telah berhenti 2 menit lalu. Mereka pun bubar saling menjauh dengan tetap saling sapa. Sesekali mereka juga tertawa terbahak-bahak bersama saat melihat kembali tulisan dalam buku tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda