Kamis, 26 Juni 2014

PESAN PENGASONG KOPI

       Kenalkan nama aku Firy umurku 22 tahun. Kalaminku Cowok Tulen. Aku asal Madura. Dan statusku sekarang adalah seorang mahasiswa di kerajaan Timur Jawa. Aku ingin bercerita dengan sahabat-sahabat pembaca, mengenai perjumpaanku dengan calon wartawan masa depan dari Indonesia.
       Hari-hari biasa ku adalah aktif sebagai mahasiswa beneran. Tujuanku adalah membahagiakan orang tuaku melalui jalur pendidikan akademik yang mungkin tak begitu ku suka. Tapi sebagai buki dan wujud tanggung jawab moral maka aku harus menyukai serta menikmati akademik ini.

       Malam ini udara serasa segar sekali, sangat segar sekali. Oksigen yang keluar masuk dari hidung, melewati rongga-rongga dada dan menuju jantung amat lancer tak terhalang apapun. Oksigen yang digunakan untuk memperlancar peredaran darah sekaligus memperlancar kebaradaan hidupku terasa nyaman  benar. Udara pun berhembus keluar dari ujung hidungku.
       Tak lama kemudian, Tio duduk disampingku. Memandangiku dengan pekat-lembut. Bibirnya kembang kempis serasa ingin mengucapkan sesuatu padaku. Aku tetap saja santai. Merapikan rentengan kopi di rak kopiku. Tak peduli meski Tio tetap memandangku tanpa kata. Dan rasanya ku pikir ia telah memandangku lebih dari 10 menit lamnya. Ia masih saja diam. Seolah malu untuk berucap. Ya malu kayaknya !
       “Kenapa Yo, apa yang salah padaku? Kok kamu pandang aku terus ! ada maksud apakah pandanganmu itu,” ucap Firy sambil meutar-mutarkan ujung jari telunjuknya ke atas rak depannya.
       “Bolehkah aku tanya padamu Fir? Karena aku ingin tahu sekalai tentang pengalamanmu sebagai seorang pengasong kopi yang bukan pengasong kopi biasa. Sebab ku kira engkau sebenarnya paham bagaimana sulitnya mempertahankan hidup ditengah kesepian dan kesunyian pulau Madura ini sebagai seorang mahasiswa yang mengabdi untuk negerimu kini.”
       Firy hanya melempar senyum. Dan menghadapkan mukanya kea rah Tio untuk sebentar-sebentar. Lalu ia merapikan kembali ceceran rentengan kopi didepannya. Dan segera menaruh tresmos air panas ke depnnya, tremos yang ia letakkan sebelumnya tepat di belakangku.
       “Hah, apa-apan kamu ini Yo ! kalau engkau mau tanya padak adalah sebuah kekeliruan rasanya bagiku. Dan bukankah engkau dulu juga pernah berjuang mempertahankan hidupmu disini, sekaligus sebagai perintis wirausahawan pengepul barang bekas. Ya walu aku tahu sekarang engkau sudah gulung tikar.”
       “Hemm…” Tio pun tersenyum mendengar sindiran dari Firy. Dan akhirnya keduanya juga saling tersenyum. Tersenyum sipu saling malu-malu.
       “Iya-iya Fir, tapi apkah salah jika aku berniat untuk dapat mengetahui pengalamanmu juga ! salahkah jika aku sebagai saudara sepondokmu ini ingin mengupas kisahmu. Kisahmu yang amat menjauhi nalar dan nyaliku ini.”
       “Hem… hahaaha, boleh-boleh. Emang apa yang mau engkau tanyakan Yo.”
       Keduanya saling tersenyum. Tio menganggukan kepalanya serasa ingin membuktikan rasa perhatiannya dalam pertemuan itu setelah Firy mengiyakan harapnya.
       “Kira-kira engkau itu telah melakukan hal ini berapa bulan Fir?”
       “Tepatnya, 22 Maret 2014 lalu Yo”
       “Tak terasa ya sudah hampir 3 bulan. Hebat sekali sungguh hebat nyalimu ini”
       Disela-sela percakapan beberapa anak pondok hilir mudik disamping kami. Di depan pintu masuk ruang asrama.
       “Bukan begitu Yo…! Sebenarnya aku seperti ini, itu karena terpaksa. Kurangnya uang jajan, belanja hidup,  kebutuhan kuliah membuatku memaksakan jualan seperti ini. Tapi asal engkau tahu, aku seperti ini bukan modal nekat saja. Tapi bukan pula penuh perencanaan yang matang. Kayak matangnya bakaran jagung. Hahaha. Aku seperti ini berasal dari pengalaman pribadi salah seorang keluargaku di Sampang sana. Ia yang mengajariku tentang tata cara  mamaknai hidup sebagai seorang mahasiswa. Sebagai anak kedua dari 8 bersaudara.”
       Tio diam. Tatapan matanya diarahkan ke bibir Firy. Serasa tak mau ketinggalan sepenggal kata cerita pun dari bibir Firy.
       “Yo, mungkin pengalanmu sebagai pengepul barang bekas tak jauh berbeda denganku. Dulu pas pertama kali praktik lapang aku juga malu. Malu yang seperti malumu juga.”
       Perlahan Firy menghadapkan badanya ke kiri. Tepat di depan Tio. Kini mereka berdua sama-sama saling sila. Dan berhadapan. Tio tetap memperhatikan gerak gerik Firy.
       “Engkau memang begitu hebat Yo. Aku berani menjadi pengepul kertas bekas namun tak berani menjual kopi.”
       “Dasar… Tio. Selalu ada-ada saja engkau ini. bukankah penjual kopi lumayan mulia dari pada pengepul kopi ketika engkau masih seorang mahasiswa. Lalu kenapa engkau harus malu jika engkau seperti aku ini. Apa yang engkau anggap menciptakan rasa malu pada dirimu ?”
       Sebentar Tio mencibirkan bibirnya keatas. Mukanya yang riang penuh keingin tahuan lenyap sebentar karena perkataan perbandiandan Firy. Tak lama namun suasana itu hilang lagi dari Tio. Lalu Tio kembali pada keadaan sedia kala.
       “Sumpah aku tak berani Fir !” ia diam kembali.
       “Hahaha, Tak ada pilihan lain selain menggadaikan diri demi mimpi. Penting kepastian hari harus aku dapati meski hari ini susah begini. Walau engkau malu pun engkau harus bangga karena pernah pula berjuang dalam masa ini.”
       “Dihina teman, digocelin dosen ibarat lagu-lagu popular kini lalu lenyap kembali. Benarkan Fir ?”
       “Itu benar Yo. Tak perlu malu bagimu-bagiku. Jalanmu harus engkau tentukan sendiri.  Sendang jalanku harus pula ku tentukan sendiri. Kemarin lalu pacar seorang teman berkata padaku, ‘mas ini kenapa memilih berjualan seperti ini, apa tidak ada cara lain untuk mendapatkan uang,’ dan aku tersentak pada saat itu. Karena yang berkata ini seorang cewek. Yang ku kira ia cantik tak begitu, kaya ia tak punya, kerja ia malas pula sukanya.”
       Tio diam mendengarkan dengan penuh perhatian. Telapak lengan kanannya ia letakkan pada pundak Firy. lalu berucap sopan, lembut, “Sabar-ya Fir !”
       “Oya ! kamukan ini jualan hanya paska magrib sampai sekitar pukul 23.00 malam. Lalu kiranya setiap malam engkau dapat untung berapa Fir ?”
       “Tak banyak Yo, kalau dihitung dengan untung pulsanya mungkin pendapatan bersihnya tak sampa 50 ribu rupiah.”
       “Oya Yo, ku dengar engkau aktiv di Lembaga Pers Mahasiswa Sekarang. Benarkah itu?”
       “Iya, benar ! Kenapa Fir ?”
       “Semoga kelak engkau mampu menjadi penulis yang bener sebener benernya. Engkau pun mampu betah dengan duniamu itu tanpa berpindah dunia baru dikemudian hari.”
       Tak ada kepuasan dalam diri mereka. Malam dan dingin berselimut begitu saja. Asumsi dan anggapan mewarnai jatidiri mereka. Pembicaaraan yang dianggap biasa akhirnya diam dan terputus begitu saja. Mereka pun berpisah. Firy keluar pondok untuk mengasong kopi di wilyah telang-cendana dengan berjalan kaki. Sedang Tio masuk kedalam kamar untuk membuka buku karya Pramoedya Ananta yang belum ia selesaikan siang tadi.      

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda