Kenalkan
nama aku Firy umurku 22 tahun. Kalaminku Cowok Tulen. Aku asal Madura. Dan
statusku sekarang adalah seorang mahasiswa di kerajaan Timur Jawa. Aku ingin
bercerita dengan sahabat-sahabat pembaca, mengenai perjumpaanku dengan calon
wartawan masa depan dari Indonesia.
Hari-hari
biasa ku adalah aktif sebagai mahasiswa beneran. Tujuanku adalah membahagiakan
orang tuaku melalui jalur pendidikan akademik yang mungkin tak begitu ku suka.
Tapi sebagai buki dan wujud tanggung jawab moral maka aku harus menyukai serta
menikmati akademik ini.
Malam
ini udara serasa segar sekali, sangat segar sekali. Oksigen yang keluar masuk
dari hidung, melewati rongga-rongga dada dan menuju jantung amat lancer tak
terhalang apapun. Oksigen yang digunakan untuk memperlancar peredaran darah
sekaligus memperlancar kebaradaan hidupku terasa nyaman benar. Udara pun berhembus keluar dari ujung
hidungku.
Tak
lama kemudian, Tio duduk disampingku. Memandangiku dengan pekat-lembut.
Bibirnya kembang kempis serasa ingin mengucapkan sesuatu padaku. Aku tetap saja
santai. Merapikan rentengan kopi di rak kopiku. Tak peduli meski Tio tetap
memandangku tanpa kata. Dan rasanya ku pikir ia telah memandangku lebih dari 10
menit lamnya. Ia masih saja diam. Seolah malu untuk berucap. Ya malu kayaknya !
“Kenapa
Yo, apa yang salah padaku? Kok kamu pandang aku terus ! ada maksud apakah
pandanganmu itu,” ucap Firy sambil meutar-mutarkan ujung jari telunjuknya ke
atas rak depannya.
“Bolehkah
aku tanya padamu Fir? Karena aku ingin tahu sekalai tentang pengalamanmu
sebagai seorang pengasong kopi yang bukan pengasong kopi biasa. Sebab ku kira
engkau sebenarnya paham bagaimana sulitnya mempertahankan hidup ditengah
kesepian dan kesunyian pulau Madura ini sebagai seorang mahasiswa yang mengabdi
untuk negerimu kini.”
Firy
hanya melempar senyum. Dan menghadapkan mukanya kea rah Tio untuk
sebentar-sebentar. Lalu ia merapikan kembali ceceran rentengan kopi didepannya.
Dan segera menaruh tresmos air panas ke depnnya, tremos yang ia letakkan
sebelumnya tepat di belakangku.
“Hah,
apa-apan kamu ini Yo ! kalau engkau mau tanya padak adalah sebuah kekeliruan
rasanya bagiku. Dan bukankah engkau dulu juga pernah berjuang mempertahankan
hidupmu disini, sekaligus sebagai perintis wirausahawan pengepul barang bekas.
Ya walu aku tahu sekarang engkau sudah gulung tikar.”
“Hemm…”
Tio pun tersenyum mendengar sindiran dari Firy. Dan akhirnya keduanya juga
saling tersenyum. Tersenyum sipu saling malu-malu.
“Iya-iya
Fir, tapi apkah salah jika aku berniat untuk dapat mengetahui pengalamanmu juga
! salahkah jika aku sebagai saudara sepondokmu ini ingin mengupas kisahmu.
Kisahmu yang amat menjauhi nalar dan nyaliku ini.”
“Hem…
hahaaha, boleh-boleh. Emang apa yang mau engkau tanyakan Yo.”
Keduanya
saling tersenyum. Tio menganggukan kepalanya serasa ingin membuktikan rasa
perhatiannya dalam pertemuan itu setelah Firy mengiyakan harapnya.
“Kira-kira
engkau itu telah melakukan hal ini berapa bulan Fir?”
“Tepatnya,
22 Maret 2014 lalu Yo”
“Tak
terasa ya sudah hampir 3 bulan. Hebat sekali sungguh hebat nyalimu ini”
Disela-sela
percakapan beberapa anak pondok hilir mudik disamping kami. Di depan pintu
masuk ruang asrama.
“Bukan
begitu Yo…! Sebenarnya aku seperti ini, itu karena terpaksa. Kurangnya uang
jajan, belanja hidup, kebutuhan kuliah membuatku
memaksakan jualan seperti ini. Tapi asal engkau tahu, aku seperti ini bukan
modal nekat saja. Tapi bukan pula penuh perencanaan yang matang. Kayak
matangnya bakaran jagung. Hahaha. Aku seperti ini berasal dari pengalaman
pribadi salah seorang keluargaku di Sampang sana. Ia yang mengajariku tentang
tata cara mamaknai hidup sebagai seorang
mahasiswa. Sebagai anak kedua dari 8 bersaudara.”
Tio
diam. Tatapan matanya diarahkan ke bibir Firy. Serasa tak mau ketinggalan
sepenggal kata cerita pun dari bibir Firy.
“Yo,
mungkin pengalanmu sebagai pengepul barang bekas tak jauh berbeda denganku.
Dulu pas pertama kali praktik lapang aku juga malu. Malu yang seperti malumu
juga.”
Perlahan
Firy menghadapkan badanya ke kiri. Tepat di depan Tio. Kini mereka berdua
sama-sama saling sila. Dan berhadapan. Tio tetap memperhatikan gerak gerik
Firy.
“Engkau
memang begitu hebat Yo. Aku berani menjadi pengepul kertas bekas namun tak
berani menjual kopi.”
“Dasar…
Tio. Selalu ada-ada saja engkau ini. bukankah penjual kopi lumayan mulia dari
pada pengepul kopi ketika engkau masih seorang mahasiswa. Lalu kenapa engkau
harus malu jika engkau seperti aku ini. Apa yang engkau anggap menciptakan rasa
malu pada dirimu ?”
Sebentar
Tio mencibirkan bibirnya keatas. Mukanya yang riang penuh keingin tahuan lenyap
sebentar karena perkataan perbandiandan Firy. Tak lama namun suasana itu hilang
lagi dari Tio. Lalu Tio kembali pada keadaan sedia kala.
“Sumpah
aku tak berani Fir !” ia diam kembali.
“Hahaha,
Tak ada pilihan lain selain menggadaikan diri demi mimpi. Penting kepastian
hari harus aku dapati meski hari ini susah begini. Walau engkau malu pun engkau
harus bangga karena pernah pula berjuang dalam masa ini.”
“Dihina
teman, digocelin dosen ibarat
lagu-lagu popular kini lalu lenyap kembali. Benarkan Fir ?”
“Itu
benar Yo. Tak perlu malu bagimu-bagiku. Jalanmu harus engkau tentukan
sendiri. Sendang jalanku harus pula ku
tentukan sendiri. Kemarin lalu pacar seorang teman berkata padaku, ‘mas ini
kenapa memilih berjualan seperti ini, apa tidak ada cara lain untuk mendapatkan
uang,’ dan aku tersentak pada saat itu. Karena yang berkata ini seorang cewek.
Yang ku kira ia cantik tak begitu, kaya ia tak punya, kerja ia malas pula
sukanya.”
Tio
diam mendengarkan dengan penuh perhatian. Telapak lengan kanannya ia letakkan
pada pundak Firy. lalu berucap sopan, lembut, “Sabar-ya Fir !”
“Oya
! kamukan ini jualan hanya paska magrib sampai sekitar pukul 23.00 malam. Lalu
kiranya setiap malam engkau dapat untung berapa Fir ?”
“Tak
banyak Yo, kalau dihitung dengan untung pulsanya mungkin pendapatan bersihnya
tak sampa 50 ribu rupiah.”
“Oya
Yo, ku dengar engkau aktiv di Lembaga Pers Mahasiswa Sekarang. Benarkah itu?”
“Iya,
benar ! Kenapa Fir ?”
“Semoga
kelak engkau mampu menjadi penulis yang bener sebener benernya. Engkau pun
mampu betah dengan duniamu itu tanpa berpindah dunia baru dikemudian hari.”
Tak
ada kepuasan dalam diri mereka. Malam dan dingin berselimut begitu saja. Asumsi
dan anggapan mewarnai jatidiri mereka. Pembicaaraan yang dianggap biasa akhirnya
diam dan terputus begitu saja. Mereka pun berpisah. Firy keluar pondok untuk
mengasong kopi di wilyah telang-cendana dengan berjalan kaki. Sedang Tio masuk
kedalam kamar untuk membuka buku karya Pramoedya Ananta yang belum ia
selesaikan siang tadi.
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda