Pada hari
lebaran ke dua Karmin diajak berkunjung ke rumah mertuanya tetangganya. Di
daerah Lasem-Semarang. Tempatnya di desa Manggar. Sudah sehari dia di sana.
Mengunjungi rumah saudara tetangganya terkadang membuatnya resah. “Kenapa ndak
pulang-pulang ya ! Padahal aku masih ada janji akan datang dengan keluargaku
yang di daerah Pakuwon. Lebaran ke empat besok ini.” Keluh Karmin ketika kepetangan
menyapa bulan.
Disamping dia berkunjung ke kerabat
tetangganya. Tak lupa dia memperhatikan dataran tinggi Lasem yang berada di
selatan desa Maggar yang konon berasal sebuah bekas kapal perang yang terbalik.
Sebuah kapal dari pasukan kerajaan Mongol yang datang ke tanah Jawa untuk
melakukan peperangan. Mungkin ada benarnya, sebab peninggalan Jangkar kapal yang
masih dapat disaksikan di daerah Lasem Barat. Tidak menunjukan jangkar kapal
pencari ikan, atau wisatawan penjelajah lautan lepas.
Berbeda dengan kisah masyarakat, Karmin merasakan
bahwa gunung tersebut adalah sebagai gundukan kapal tentara Mongol yang tak
terhitung jumlahnya dan bukan sebuah saja. Sebab dia merasakan ada banyak
peninggalan emas, perak bahkan keramik diantara gunung tersebut.
Sore pun datang. Ketika menjelang magrib Karmin
bertukar cerita mengenai sejarah Lasem dengan mertua dan tetangganya.
Tetangganya yang asli kelahiran Lasem tersebut mengatakan bahwa kemarin lalu
pernah ada penemuan emas dalam peti. Yang pada akhirnya di ambil paksa dan
dihak milikan menjadi milik negara. Tanpa kompensasi yang wajar.
Kini dataran tinggi tersebut sudah
mengalami pemugaran. Tanahnya di ambili di usung
ke Tuban, betunya di lobangi di buat pembangunan, Hutannya di sulap semua
menjadi Hutan Homogen pohon Jati. Tebingnya, belukarnya berubah menjadi tanah
persawahan masyarakat. Ada beberapa bagian di daerah tertentu yang tanahnya
mengandung mineral dan sekarang sedang dalam tahap eksplorasi tersembunyi.
Karmin juga sempat terbelalak matanya.
Lantaran di daerah kelahirannya setiap rumah telah berganti wajah menjadi tanah
tembok. Yang sebagian bahan bakunya berasal dari penggundulan dataran tinggi di
sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, di Lasem, di atas Pantura. Rerumahan
masih berpola dari krangka pohon Jati Tua-tua kayunya. Besar-besar pala.
Seluruh rumahnya dikelilingi blabag setebal
1-2 cm. Ada juga di bagian atapnya terbaring blandar seukuran pinggang orang dewasa. Begitupun ukuran tiang-tiangnya.
Malam pun datang, Karmin pun melelapkan
matanya mengikuti arus impian…
* *
*
Fajar
shodiq sudah di sapa oleh suara adzan Subuh. Karmin masih tidur hingga 1
jam setengah kemudian. Handphonya berbunyi, menyala-nyala. Tandanya sms
menyapa. “Lebaran hari ini ndak seperti lebaran tahun kemarin. Alias sepi…”
begitulah isi pesan yang ia dapat dari langganan sms facebooknya. 3 sampai 4
kali dia mendapat sms yang serupa dari kiriman seorang yang berbeda rupanya.
Saat dia bangun. Ia menyampaikan ungkapan
tersebut pada tetangganya tersebut. “Om-Om rioyo tahun iki ndak koyok rioyo
taun wingi. Alias sepi…”
“Lha kira kira menurutmu kenapa bisa
begitu ?” Balik tanya lelaki asal Lasem tersebut.
Ada banyak hal sebabnya Om. Seperti dari
segi penemuan teknologi modern mempermudah interaksi sosial silaturrahmi. semakin
banyaknya orang punya kendaraan pribadi baik motor atau mobil. Sehingga
memudahkan pemiliknya untuk berkunjung kesana kemari tanpa harus menunggu
berhari-hari seperti tahun yang dulu ketika aku masih dini Om. Tapi dalam satu
garis kewajaran peningkatan angka kemacetan akan lebih parah dan parah rasanya.
Tak hanya macet sekelo dua kelo meter jaraknya. Tak hanya 4 jam atau 8 jam
lamanya. Maka yang terjadi adalah melonjakknya tingkat kejenuhan manusia utuk
mudik lebaran.
Dalam hal teknologi Jaringan. Hanphone dan Komputer telah di lenkapi
dengan fasilitis 3G. Dimana sesamanya dapat saling bercakap face to face melalui depan Kamera Hp.
Akhir-akhir ini muncul pula program sejenis. Seperti campprog, Skype, dll. Manusia semakin dimanjakan oleh perkembangan
jaman. Yang jauh dapat semakin dekat dan yang dekat seperti tetangga dapat
semakan jauh. Itu baru sekarang saja sudah seperti itu. Ndak kebayang 25 tahun
lagi. Mungkin orang sudah seperti pilem power
rager yang mana setiap manusia akan memakai jam tangan dengan unsure 3G
atau wabcame.
Dari segi psiko-kultaral, juga telah popular kata-kata “tak mlaku sek ya, mumpung sek isok.” Kata inilah yang sering Karmin dengar dari
para tetangganya saat mereka merayakan lebaran dan berkunjung kerumah-rumah
antar tetangga. Dalam kajian psiko-sosial
adakalanya yang mengatakan hal tersebut ingin buru-buru selesai keliling
lingkungan lalu dapat cepat pulang agar dapat istirahat, tidur sejenak
menyimpan energi yang tersisa. Lalu menguras tenaga kembali untuk berkunjung ke
saudara tetangga di luar desa.
Dalam sudut pandang perkembangan ekonomi.
Lebaran sudah bukan menjadi alasan khusus untuk meliburkan/menyantaikan/bermalas-malasan
apalah. Yang kelas, di desa atau pun di kota sekarang sudah mulai umum tradisi
berjualan /beraktifitas ekonomi pada pagi hari lebaran setelah sholat ‘id dan
setelah bersalam-salaman dengan masyrakat sekitar lingkungan.
“Begitulah Om. Ular-ularnya. Dan jangan
heran Om jika pada penaggalan 2040 nanti atau malah sebelum tahun itu tiba.
Masyarakat yang merayakan lebaran cukup melalui Internet serta Handpone saja tanpa harus face to face
secara langsung. Karena kelak pada tahun itu komunikasi non verbal dari dunia cyber akan meraja lela. Melang-lang
buana sampai ke punjuru gang buntu.” Jawab Karmin.
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda