Selasa, 26 Agustus 2014

INGATAN NYLENEHNYA KARMIN

        Saat Karmin menyusuri jalan menuju ke Rembang dengan perlintasan stadion Bojonegoro lurus ke utara. Ia melewati kecamatan Parengan, Singgahan, Bangilan, Jatirogo, dan Bulu. Bayangannya kabur terbang melayang dari langit fantasi/langit imajinasi menuju langit realitas. Atau dari langit realitas menuju langit fantasi. Ada beberapa tempat yang membuat Karmin seperti membuang otak sadarnya untuk sementara waktu dan menikmati lamunan sunyinya.

      Persawahan Tebu, masyarakat di daerah dataran tinggi atau setidaknya Tuban dan Semarang (dekat pantai utara) memang terbiasa berladang tebu. Setiap mata melek Karmin keheranan. Karena di tempat asalnya padilah yang menyelaputi warna persawahan di rumahnya. Tapi di sana berhektar-hektar luasnya, sambung menyambung antar persawahan kanan-kiri jalan tembusan Bojonegoro-Tuban tebu tumbuh subur. Tebu yang mulai meninggi hingga 1 sampai 2 meter. Lebatnya cukup rapat, sekitar setengah meter antar ondokan tebu. Ada tebu merah, ada juga yang putih yang jelas Karmin masih belum tahu jenis tebu tersebut.
      Alas Homogen, dengan pohon produksi jenis Mahono dan Jati tak terhitung jumlah serta kuantitasnya. Yang jelas setiap pegunungan atau tanah pemerintah, tanah pekarangan masyarakat, kanan-kiri jalanan, puncak-lembahnya pohon tersebut berada. Seolah sudah menjadi icon andalah daerahnya. Wajar jika di daerah tersebut masih sangat mudah Karmin menemukan rumah penduduk dengan berangka kayu Jati. Rangka yang setebal 1-2 cm gebyoknya, se tebal pinggul orang dewasa tiang dan blandarnya, se ukuran betis praciknya. Alas Jati dan Mahoni merupakan satu-satunya tanaman menghasilkan di sana. Baik kaum perhutani dan masyarat memang meng iyakan. Dengan berbagai alasan masing-masingnya.
       Alas Homogen tersebut sedang mengalami regenerasi tanaman serta rebosasi secara total. Hal itu diakibatkan fatwa mantan presiden Abdurrahman Wahid. Sehingga terjadi penggundulan alas secara missal. Saat ini, pohonnya rata-rata masih seukuran kenalpot motor Rx King dengan ketinggian yang beragam. Tapi adakalanya di tempat tertentu cahaya surya kesulitan masuk. Akibat kerapatan jarak reboisasi pohon.
       Bagi Karmin tadi itu deskripsi riilnya. Namun ingatan nylenehnya Karmin tidak begitu baik selanjutnya. “Pernahkah manusia di negeriku ini membayangkan tragedi genosida dan pembunuhan di sekitar Tuban, Semarang atau di tempat lainnya ! Ketika genosida di masa transisi antara orla (orde lama) dan orba (orde baru) berjalan secara besar-besaran. Dengan alasan jiwa yang di anggap PKI[1] dengan kuantitas tiada diketahui secara pasti.” Bayangnya.
       Menurut Pram dan Soesilo jumlah korbannya amat banyak. Bahkan tak terhitung jumlahnya. Kalau cetohnya Karmin, genosida tersebut pasti lebih dari 3 juta jiwa manusia. Benar atau tidak itu masih hipotesa Karmin. Dan memang sampai saat ini belum pernah ada pendataan yang pasti terkait jumlah korban genosida tersebut.
       Saat agresi militer 1-2 tak banyak data disajika lengkap mengenai penculikan oleh tentara Indonesia terhadap masyarkat yang pro Belanda. Dan Bom bardir tentara Belanda yang meraja lela dari jalur udara serta darat. Jumlah korbannya tak di ketahui pasti. Bahkan ceritanya saja tak banyak orang tahu. Apa lagi jiwa yang lahir paska 1945.
       Pada masa kolonial Jepang keluar yang mana menimbulkan peperangan yang amat besar. Perang yang terjadi setiap perdesaan dan di perkotaan. Jumlah korbannya juga tak pasti rekapannnya.
       Dan ketika Jepang masuk lalu memerintah di negeri ini. Beribu-ribu penduduk beserta keluarganya di habisi nyawanya di hilangkan hak hidupnya. Dan itu tidak pernah di liput media massa kala itu. Pembunuhan dengan alasan pembangkangan, tidak patuh pada peraturan, tidak membayar pajak pada pemerintah Jepang dan berbagai alasan lainya meski sepele dapatlah menjadi ular-ular penyebabnya. Bisa sangat mungkin karena isteri atau anak seorang jiwa pribumi amat cantik paras kilitnya. Lalu sang keluarga ada yang tak sepakat jika anak-istrinya di bawa Jepang untuk dinikmati daging secuilnya. Pas tilah mati hukumannya. Karena pada massa itu pemerkosaan terjadi di mana-mana.
       Lalu, genosida kolonial Belanda yang selama 350 tahun lamanya berjalan mulus di negeri ini. Contoh kecilnya, ketika  masa pemerintahan Belanda sedang mengutus jendral Deandles memerintah di tanah Hindia Blanda (Jawa). Ia sedang melaksanakan program pelebaran dan pembuatan Jalan Raya Pos (Jalan Raya Deandles/Jalan Raya Jalur Pantura). Pada masa itu, setiap daerah yang di lalui perlintasan Jalan Raya Deandles pemerintah desa atau kota, karisedenan harus menyediakan buruh tanpa upah dengan kuantitas tetentu. Dan itu bersifat paksaan. Jika menolak kematianlah yang menjemput. Saat prosesi penggarapan jalan raya berlangsung begitu banyak bergantungan, bergelimpangan, dan di kuburnya mayat manusia kala itu. Pada saat beberapa kebijakan tanam paksa, kerja paksa dan permintaan pajak kepada pemerintah Belanda semakin di perkuat. Berapakah jiwa yang menolak lalu lagi-lagi nyawa menjadi taruhan. Dapat kita bayangkan semuanya atau kita cari dari kisah foklour silam.
       Pada masa sejarah kerajaan semua tak luput dari genosida dan pembunuhan. Peperangan akibat ekspansi kekuasaan, pemberontakan, perselisihan pribadi yang sampai merambah pada seluruh pagu kesatrian kerajaan menjadi jamur damin di musim kedelai.
       “Aku yakin dahula begitu banyak jiwa pribumi yang melakukan pelarian-pelarian dari berbagai pristiwa kekejaman-kenistaan. Demi mencari kemanan diri mereke berhamburan keluar dari pemukiman asalnya utuk selamanya. Dari dalam diriku berkata amat keras, yang kerasnya menggetarkan seisi jasmaniku.
       “Di sana adalah kehidupan alam tebu beserta ilalang. Saksi bisu dari Jiwa-jiwa yang lari bersembunyi. berhari-hari mencari arti kehidupan. Kehidupan yang di renggut oleh penguasa jaman. Memakan dan memuninum batangan tebu demi mempertahankan nyawa dalam diri. lupalah pada tanggal, hari, dan bulan. Lemasnya hati memikirkan rindunya perdamaian. Kulit-kulit jiwa Pribumi yang tersayat oleh mulut daun tebu. Tanah yang menjadi kasur tidur, sekaligus lantai, sekaligus tempat pembungan akhir dari hasil pencernaan makanan pada perut.
       Ada puluhan bayi yang kekurangan asi. Menangis tersedu-sedu yang kadang di bungkam mulutnya karena diluaran senjata perang mengancam. Pulahan anak seumur 8 kali panen tanaman tebu sedang berjuang melawan sejarah. Mempertaruhkan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan beberapa permainan kedaerahan. Di sana seorang ibu yang kehilangan suaminya karena telah kalah perang. Lalu sang ibu terpaksa merawat ke empat anaknya tanpa seorang kepala keluarga di bumi belantara tebu. Ratusan nenek yang kulitnya bercak darah karena kelusutannya mempermudah sobeknya kulit akibat cengkraman mulut daun tebu. Nenek-nenek yang meratapi kebahagiaan yang tak pernah ia dapat. Tulang belulangnya mengecil karena kurang makan semenjak pertempuran di halalkan. Nenek yang selalu menangis ketika anak cucunya bersembunyi di balik-balik ondokan tebu yang lainnya. Seorang kakek yang kakinya sobek. Sobek direnggut peluru peperangan. Tak ada seorang pemuda kecuali pemuda yang tak memiliki keberanian dan kedikdayan untuk mengambil sebagian kebahagiannya yang lain.
       Setelah suasana lumayan aman. Ketika fajar sodiq kehilangan kekuasaanya. Dan suara jangkrik, beberapa kali lolongan anjing sambut-menyahut, dengkuran babi liar mengitari telinga-telinga. Mereka semua merengkak-rangkak mencari keamanan yang lain menuju alas. Saat itu alas yang masih di huni berbagai kehidupan buas. Doyan daging manusaia kehidupannya. Mereka memilih lari ke sana ketimbang menunggu alam tebu di tebang. Dan saat mereka masih ketahuaan di sana  bombardier misilium, pedang, parang, kayu tumpul dan beberapa pemerkosaan dapat pula mengambil nyawa mereka. Mereka tidak ingin itu. Dan larilah mereka ke alas lalu bertarung dengan para kehidupan buas.
       Di alas mereka lupa bulan, lupa tahun, lupa tanggal kelahiran, lupa harta kepemilikan, lupa ritual keagamaan, lupa semuanya. Yang di ingat hanya kelupaan untuk melupakan apa yang di harus dilupakan. Mereka membuat tenda-tenda dari dedaunan seperti sarang burung. Menjauh dari peristiwa pertempuran. Berdandan dengan pakaian dari pelepah dan dedaunan pohon. Memanfaatkan alam alas untuk mempertahankan janin-janin. Hingga beberapa tahun kemudian janin-janin itu lahir dan berkembang.
       Sesekali waktu saat para penguasa sejarah datang. Mereka berlarian meninggalkan kehudupan lamanya. Jika tak sempat siap-siap. Sangat mungkin seorang bayi ketingalan lalu tak lama kemudian kepalanya bocor dan lehernya mengeluarkan darah. Mereka berlari-berlari dan terus berlari. Mereka tak berfikir untuk memihak pengauasa A atau B dan memilih berpihak pada dirinya, keluarganya, kelompoknya dan kaumya. Mereka terasingkan. Terpecah-pecah dari alam kemasyaraktan. Tak ada pembela kedamaiaan disana. Mayat-mayat yang berjatuahan seperti jatuhnya air hujan dari langit tak dapat di perhitungkan jumlah oleh siapa pun, termasuk tim peneliti kenegaraan atau wartawan.
       Alas dan alam tebu itu kini mencoba lupa. Karena jiwa pribumi sekarang telah menikmati sejarah baru. Perkembangan pola bentuk timah, emas dan perak serta besi menjadi tolok ukur perkembangan jaman. Tak ada lagi kebahagian yang tergadaikan. Inilah masa jaman perubahan. Alas dan alam tebu tak lagi menjadi tempat menitpakan sebongkok nyawa. Mereka sekarang menjadi wahana legalisasi formal kebutuhan penguasa sejarah abad modern. Privatisasi lahan dan reboisiasi berasas memperbesar kantong kas negara serta penguasanya. Dan sebagian sangat kecil rakyatnya. Alas dan alam tebu tak lagi belajar menyembunyikan nasib nyawa tawanan. Dan hanya teriakan tangisan yang mendalam yang selalu menemani kegelapan kebiasaan malam. Karena kelupaan luluhurnya telah menjadi kelupaan yang lupa akan sesama lagi sejarahnya. Dan berpihak pada para keturunan penguasa sejarah silam yang pernah menimbulkan pembunuhan serta genosida.


[1] PKI menurut penulis bukan golongan manusia yang tanpa beragama tanpa bertuhan. Melainkan masyarakat yang sedang terdaftar namanya pada lembaran keanggotaan PKI (Partai Komunis Indonesia). Jika di bilang tidak beragama penulis amat sangat tidak setuju. Sebab orang dulu termasuk orang Jawa adalah orang yang amat termat sangat patuh lagi taat pada agama, agama animisme-dinamisme saat itu maksudnya. Jika para penulis lain beranggapan tidak beragama lagi tidak bertuhan itu adalah kekeliruan fatal. Karena orang PKI semua beragama, semua bertuhan. Tapi bukan harus pasti beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghuchu berserta  Tuhannya. Mereka beragama dan bertuhan sesuai warisan nenek moyeng mereka sebelum agama formal diakui di negeri ini. sebelum agama formal di patenkan lagi di agung-agungkan manusia. Dan begitulah keadaan agama orang-orang PKI masa itu serta manusia masa sejarah silam.

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda