Saat Karmin
menyusuri jalan menuju ke Rembang dengan perlintasan stadion Bojonegoro lurus
ke utara. Ia melewati kecamatan Parengan, Singgahan, Bangilan, Jatirogo, dan
Bulu. Bayangannya kabur terbang melayang dari langit fantasi/langit imajinasi
menuju langit realitas. Atau dari langit realitas menuju langit fantasi. Ada
beberapa tempat yang membuat Karmin seperti membuang otak sadarnya untuk
sementara waktu dan menikmati lamunan sunyinya.
Persawahan
Tebu, masyarakat di daerah dataran tinggi atau setidaknya Tuban dan Semarang
(dekat pantai utara) memang terbiasa berladang tebu. Setiap mata melek Karmin keheranan.
Karena di tempat asalnya padilah yang menyelaputi warna persawahan di rumahnya.
Tapi di sana berhektar-hektar luasnya, sambung menyambung antar persawahan kanan-kiri
jalan tembusan Bojonegoro-Tuban tebu tumbuh subur. Tebu yang mulai meninggi
hingga 1 sampai 2 meter. Lebatnya cukup rapat, sekitar setengah meter antar ondokan tebu. Ada tebu merah, ada juga
yang putih yang jelas Karmin masih belum tahu jenis tebu tersebut.
Alas
Homogen, dengan pohon produksi jenis Mahono dan Jati tak terhitung jumlah
serta kuantitasnya. Yang jelas setiap pegunungan atau tanah pemerintah, tanah
pekarangan masyarakat, kanan-kiri jalanan, puncak-lembahnya pohon tersebut
berada. Seolah sudah menjadi icon andalah daerahnya. Wajar jika di daerah
tersebut masih sangat mudah Karmin menemukan rumah penduduk dengan berangka
kayu Jati. Rangka yang setebal 1-2 cm gebyoknya,
se tebal pinggul orang dewasa tiang dan blandarnya,
se ukuran betis praciknya. Alas Jati
dan Mahoni merupakan satu-satunya tanaman menghasilkan di sana. Baik kaum perhutani
dan masyarat memang meng iyakan. Dengan berbagai alasan masing-masingnya.
Alas Homogen tersebut sedang mengalami
regenerasi tanaman serta rebosasi
secara total. Hal itu diakibatkan fatwa mantan presiden Abdurrahman Wahid.
Sehingga terjadi penggundulan alas secara missal. Saat ini, pohonnya rata-rata
masih seukuran kenalpot motor Rx King dengan ketinggian yang beragam. Tapi
adakalanya di tempat tertentu cahaya surya kesulitan masuk. Akibat kerapatan
jarak reboisasi pohon.
Bagi Karmin tadi itu deskripsi riilnya.
Namun ingatan nylenehnya Karmin tidak
begitu baik selanjutnya. “Pernahkah manusia di negeriku ini membayangkan
tragedi genosida dan pembunuhan di sekitar Tuban, Semarang atau di tempat lainnya
! Ketika genosida di masa transisi antara orla (orde lama) dan orba (orde baru)
berjalan secara besar-besaran. Dengan alasan jiwa yang di anggap PKI[1] dengan
kuantitas tiada diketahui secara pasti.” Bayangnya.
Menurut Pram dan Soesilo jumlah korbannya
amat banyak. Bahkan tak terhitung jumlahnya. Kalau cetohnya Karmin, genosida
tersebut pasti lebih dari 3 juta jiwa manusia. Benar atau tidak itu masih hipotesa Karmin. Dan memang sampai saat
ini belum pernah ada pendataan yang pasti terkait jumlah korban genosida
tersebut.
Saat agresi militer 1-2 tak banyak data
disajika lengkap mengenai penculikan oleh tentara Indonesia terhadap masyarkat
yang pro Belanda. Dan Bom bardir tentara Belanda yang meraja lela dari jalur
udara serta darat. Jumlah korbannya tak di ketahui pasti. Bahkan ceritanya saja
tak banyak orang tahu. Apa lagi jiwa yang lahir paska 1945.
Pada masa kolonial Jepang keluar yang
mana menimbulkan peperangan yang amat besar. Perang yang terjadi setiap
perdesaan dan di perkotaan. Jumlah korbannya juga tak pasti rekapannnya.
Dan ketika Jepang masuk lalu memerintah
di negeri ini. Beribu-ribu penduduk beserta keluarganya di habisi nyawanya di
hilangkan hak hidupnya. Dan itu tidak pernah di liput media massa kala itu.
Pembunuhan dengan alasan pembangkangan, tidak patuh pada peraturan, tidak
membayar pajak pada pemerintah Jepang dan berbagai alasan lainya meski sepele
dapatlah menjadi ular-ular
penyebabnya. Bisa sangat mungkin karena isteri atau anak seorang jiwa pribumi
amat cantik paras kilitnya. Lalu sang keluarga ada yang tak sepakat jika anak-istrinya
di bawa Jepang untuk dinikmati daging secuilnya. Pas tilah mati hukumannya.
Karena pada massa itu pemerkosaan terjadi di mana-mana.
Lalu, genosida kolonial Belanda yang
selama 350 tahun lamanya berjalan mulus di negeri ini. Contoh kecilnya, ketika masa pemerintahan Belanda sedang mengutus
jendral Deandles memerintah di tanah Hindia Blanda (Jawa). Ia sedang melaksanakan
program pelebaran dan pembuatan Jalan Raya Pos (Jalan Raya Deandles/Jalan Raya
Jalur Pantura). Pada masa itu, setiap daerah yang di lalui perlintasan Jalan
Raya Deandles pemerintah desa atau kota, karisedenan harus menyediakan buruh
tanpa upah dengan kuantitas tetentu. Dan itu bersifat paksaan. Jika menolak
kematianlah yang menjemput. Saat prosesi penggarapan jalan raya berlangsung
begitu banyak bergantungan, bergelimpangan, dan di kuburnya mayat manusia kala
itu. Pada saat beberapa kebijakan tanam paksa, kerja paksa dan permintaan pajak
kepada pemerintah Belanda semakin di perkuat. Berapakah jiwa yang menolak lalu
lagi-lagi nyawa menjadi taruhan. Dapat kita bayangkan semuanya atau kita cari
dari kisah foklour silam.
Pada masa sejarah kerajaan semua tak
luput dari genosida dan pembunuhan. Peperangan akibat ekspansi kekuasaan,
pemberontakan, perselisihan pribadi yang sampai merambah pada seluruh pagu
kesatrian kerajaan menjadi jamur damin di musim kedelai.
“Aku yakin dahula begitu banyak jiwa
pribumi yang melakukan pelarian-pelarian dari berbagai pristiwa
kekejaman-kenistaan. Demi mencari kemanan diri mereke berhamburan keluar dari
pemukiman asalnya utuk selamanya. Dari dalam diriku berkata amat keras, yang
kerasnya menggetarkan seisi jasmaniku.
“Di sana adalah kehidupan alam tebu
beserta ilalang. Saksi bisu dari Jiwa-jiwa yang lari bersembunyi. berhari-hari
mencari arti kehidupan. Kehidupan yang di renggut oleh penguasa jaman. Memakan
dan memuninum batangan tebu demi mempertahankan nyawa dalam diri. lupalah pada
tanggal, hari, dan bulan. Lemasnya hati memikirkan rindunya perdamaian.
Kulit-kulit jiwa Pribumi yang tersayat oleh mulut daun tebu. Tanah yang menjadi
kasur tidur, sekaligus lantai, sekaligus tempat pembungan akhir dari hasil
pencernaan makanan pada perut.
Ada puluhan bayi yang kekurangan asi.
Menangis tersedu-sedu yang kadang di bungkam mulutnya karena diluaran senjata
perang mengancam. Pulahan anak seumur 8 kali panen tanaman tebu sedang berjuang
melawan sejarah. Mempertaruhkan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan
beberapa permainan kedaerahan. Di sana seorang ibu yang kehilangan suaminya
karena telah kalah perang. Lalu sang ibu terpaksa merawat ke empat anaknya
tanpa seorang kepala keluarga di bumi belantara tebu. Ratusan nenek yang kulitnya
bercak darah karena kelusutannya mempermudah sobeknya kulit akibat cengkraman
mulut daun tebu. Nenek-nenek yang meratapi kebahagiaan yang tak pernah ia
dapat. Tulang belulangnya mengecil karena kurang makan semenjak pertempuran di
halalkan. Nenek yang selalu menangis ketika anak cucunya bersembunyi di
balik-balik ondokan tebu yang
lainnya. Seorang kakek yang kakinya sobek. Sobek direnggut peluru peperangan.
Tak ada seorang pemuda kecuali pemuda yang tak memiliki keberanian dan
kedikdayan untuk mengambil sebagian kebahagiannya yang lain.
Setelah suasana lumayan aman. Ketika
fajar sodiq kehilangan kekuasaanya.
Dan suara jangkrik, beberapa kali lolongan anjing sambut-menyahut, dengkuran
babi liar mengitari telinga-telinga. Mereka semua merengkak-rangkak mencari
keamanan yang lain menuju alas. Saat itu alas yang masih di huni berbagai
kehidupan buas. Doyan daging manusaia
kehidupannya. Mereka memilih lari ke sana ketimbang menunggu alam tebu di
tebang. Dan saat mereka masih ketahuaan di sana
bombardier misilium, pedang, parang, kayu tumpul dan beberapa
pemerkosaan dapat pula mengambil nyawa mereka. Mereka tidak ingin itu. Dan
larilah mereka ke alas lalu bertarung dengan para kehidupan buas.
Di alas mereka lupa bulan, lupa tahun,
lupa tanggal kelahiran, lupa harta kepemilikan, lupa ritual keagamaan, lupa
semuanya. Yang di ingat hanya kelupaan untuk melupakan apa yang di harus
dilupakan. Mereka membuat tenda-tenda dari dedaunan seperti sarang burung.
Menjauh dari peristiwa pertempuran. Berdandan dengan pakaian dari pelepah dan
dedaunan pohon. Memanfaatkan alam alas untuk mempertahankan janin-janin. Hingga
beberapa tahun kemudian janin-janin itu lahir dan berkembang.
Sesekali waktu saat para penguasa sejarah
datang. Mereka berlarian meninggalkan kehudupan lamanya. Jika tak sempat
siap-siap. Sangat mungkin seorang bayi ketingalan lalu tak lama kemudian
kepalanya bocor dan lehernya mengeluarkan darah. Mereka berlari-berlari dan
terus berlari. Mereka tak berfikir untuk memihak pengauasa A atau B dan memilih
berpihak pada dirinya, keluarganya, kelompoknya dan kaumya. Mereka terasingkan.
Terpecah-pecah dari alam kemasyaraktan. Tak ada pembela kedamaiaan disana.
Mayat-mayat yang berjatuahan seperti jatuhnya air hujan dari langit tak dapat
di perhitungkan jumlah oleh siapa pun, termasuk tim peneliti kenegaraan atau
wartawan.
Alas dan alam tebu itu kini mencoba lupa.
Karena jiwa pribumi sekarang telah menikmati sejarah baru. Perkembangan pola
bentuk timah, emas dan perak serta besi menjadi tolok ukur perkembangan jaman.
Tak ada lagi kebahagian yang tergadaikan. Inilah masa jaman perubahan. Alas dan
alam tebu tak lagi menjadi tempat menitpakan sebongkok nyawa. Mereka sekarang
menjadi wahana legalisasi formal kebutuhan penguasa sejarah abad modern.
Privatisasi lahan dan reboisiasi berasas memperbesar kantong kas negara serta
penguasanya. Dan sebagian sangat kecil rakyatnya. Alas dan alam tebu tak lagi
belajar menyembunyikan nasib nyawa tawanan. Dan hanya teriakan tangisan yang mendalam
yang selalu menemani kegelapan kebiasaan malam. Karena kelupaan luluhurnya
telah menjadi kelupaan yang lupa akan sesama lagi sejarahnya. Dan berpihak pada
para keturunan penguasa sejarah silam yang pernah menimbulkan pembunuhan serta
genosida.
[1]
PKI menurut penulis bukan golongan manusia yang tanpa beragama tanpa bertuhan.
Melainkan masyarakat yang sedang terdaftar namanya pada lembaran keanggotaan
PKI (Partai Komunis Indonesia). Jika di bilang tidak beragama penulis amat
sangat tidak setuju. Sebab orang dulu termasuk orang Jawa adalah orang yang
amat termat sangat patuh lagi taat pada agama, agama animisme-dinamisme saat
itu maksudnya. Jika para penulis lain beranggapan tidak beragama lagi tidak
bertuhan itu adalah kekeliruan fatal. Karena orang PKI semua beragama, semua
bertuhan. Tapi bukan harus pasti beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha,
Konghuchu berserta Tuhannya. Mereka
beragama dan bertuhan sesuai warisan nenek moyeng mereka sebelum agama formal
diakui di negeri ini. sebelum agama formal di patenkan lagi di agung-agungkan
manusia. Dan begitulah keadaan agama orang-orang PKI masa itu serta manusia
masa sejarah silam.
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda