Selasa, 26 Agustus 2014

RIYOYO PAMER

       Rasanya lebaran tinggal di ujung rambut. 2 hari lagi kita semua merayakan lebaran idul fitri. Semuanya akan saling bermaafan menguras setiap dosa yang tertanam dalam hati beberapa bulan lalu. Lebaran atau riyoyo menjadi harapan seriap orang Islam. Ndak peduli islamnya KTP, bil lisan, bil qalbi atau bil mbentoni, bil ndableki. Secara filosofis “rioyo” berasal dari kata dasar bahasa arab “riya.” Bagi Karmin, riya’ artinya pamer.  Jadi sebenarnya rioyo yang selama ini banyak di tunggu orang islam adalah suatu masa dimana kita semua dapat melakukan aktivitas pamer yang dilkukan sekali dalam setahun. Maka, jangan heran jika ada yang lagi pamer baju baru, jajanan, property rumah, cat rumah segala macamnya, jenisnya serta variatif harganya.
       “Tapi bagaimana artinya jika riyoyo itu disambung dengan idul fitri alias rioyo idul fitri. Apakah artinya menjadi pamer kesucian…” bayang Karmin sambil tertawa kecil.
***
       Dalam masa pamer kali ini Karmin sedang Sibuk sekali. Dia sibuk memikirkan kenapa 21 teman sekelasnya saat sekolah di SMP yang 2 hari lalu mengundang Karmin, Karjo, Karsam dan Karmi’ah untuk reoni cilik-cilikan sekaligus buka bersama tak satu pun ada yang mengajak maaf-maafan. Anggapnya Karmin, kalau ndak ada yang pamer baju ya minimal pamer minta maaf dari SMS atau Telp. Namun tak satu pun dari 21 temannya ada yang begitu.
       “Apakah ke 21 temanku itu lagi belajar menerapkan teori perbedaan kelas sosial dan pamerisme” ucap Karmin. “Apakah keakraban yang diikat nominal 15.000 oleh anak-anak kidulan kemarin itu sekedar alibi untuk mencari eksistensi salah seorang oknum untuk pamer statusnya dihadapanku dan teman-teman.” Tambah Karmin yang semakin pusing.
       Suasana reoni seharusnya dapat mempererat hubungan silaturrahim sesamanya. Meskipun dalam forum itu ada yang statusnya sebagai mahasiswa, penjual cinol, kuli bangunan, buruh penjual buah, anak mas mahkota raja, ibu rumah tangga. Keakraban harus dapat dijalin melalui komunikasi verbal/non verbal yang benar-benar efektif.
       Perbedaan kelas sosial adalah suatu kewajaran dalam filsafat jawa. Tapi dalam perbedaan itu orang jawa bilang, semakin berisinya padi maka akan semakin merunduklah. Begitu pula yang sekarang statusnya mahasiswa juga harus semakin pandai merunduk dengan temannya yang penjual cinol, kuli bangunan, buruh penjual buah, ibu rumah tangga. Di benarkan atau disalahkan seorang mahasiswa tentunya memiliki status yang lebih tinggi di banding ke 5 status sosial yang di atas.
       Menunjukan ke-aku-an atas status yang kita miliki harus mampu kita brantas sedini mungkin dari pembawaan, ketika sedang berforum. Agar jika di dalam forum tidak ada seorang manusia pun merasakan tidak dihargai akibat kemunculan sifat  ke-aku-an tersebut.
       Tidak percaya kalau ke-aku-an itu tidak baik. Buktikan saja ! Bisa saja seorang teman diantaranya keluar forum dan mencari forumnya sendiri. Bisa saja keluar ruangan mencari ruangannya sendiri. Saking parahnya bisa saja kalau besok-besok ada uleman mereka kapok datang lagi
***
       .
       Setiap manusia pada hakikatnya sama derajat, posisi, wawasan, kewibawaan, kekuasaan, kehartaan dan lainya. Perbedaan itu hanya sementara, glamoria dunia belaka dan kekelan yang semu menurut Karmin. Jika ke-aku-an gara-gara faktor intelektualitas di pamerkan, itu hal yang salah kaprah. Pernah ada kisah seorang tuntunan rakyat namanya DPR. Dia adalah wakilnya rakyat, status pendidikannya bukan main. Dari S1, S2, S3 hingga S tong ada disana. Tetapi pada suatu ketika rapat pleno DPR berlangsung, gara-gara ke-aku-an banyak sekali kaki-kaki berterbangan bernyanyi diatas meja mimbar dan itu disaksikan seluruh masyarakat yang mereka wakili.
       Dalam skala kecil saja jika di desa ada seorang kiai, camat, bandit, blater, mahasiswa atau mahamanusia sekalipun menunjukan ke-aku-an pastilah dijauhi oleh khalayak ramai.
       Kultur ke-aku-an sepantasnya di imbangi kerendahan hati, kebaikan kemampuan berkomunikasi, dan merundukan diri pada yang lebih kecil status sosialnya. Kita semua akan kembali pada masyarakat yang multikulturalisme. Ndak peduli statusnya, maling, buruh, perampok, guru, kiai, mahasiswa, RT, Lurah, dan mboh lainya. Tetap saja kita kudu belajar menghargai orang lain apabila kita berada dalam posisi padi berisi.
       “Cramahku ini kok lumayan buanyak sekali ya. Kalau ini tak sampaikan di forum bisa-bisa aku yang malah di kira menunjukan ke-aku-an.” Cletuk Karmin.

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda