Rasanya lebaran tinggal di ujung rambut.
2 hari lagi kita semua merayakan lebaran idul fitri. Semuanya akan saling
bermaafan menguras setiap dosa yang tertanam dalam hati beberapa bulan lalu.
Lebaran atau riyoyo menjadi harapan
seriap orang Islam. Ndak peduli islamnya KTP, bil lisan, bil qalbi atau
bil mbentoni, bil ndableki. Secara
filosofis “rioyo” berasal dari kata dasar bahasa arab “riya.” Bagi Karmin, riya’ artinya pamer. Jadi sebenarnya rioyo yang selama ini banyak
di tunggu orang islam adalah suatu masa dimana kita semua dapat melakukan
aktivitas pamer yang dilkukan sekali dalam setahun. Maka, jangan heran jika ada
yang lagi pamer baju baru, jajanan, property rumah, cat rumah segala macamnya,
jenisnya serta variatif harganya.
“Tapi bagaimana artinya jika riyoyo itu
disambung dengan idul fitri alias
rioyo idul fitri. Apakah artinya menjadi pamer kesucian…” bayang Karmin sambil
tertawa kecil.
***
Dalam masa pamer kali ini Karmin sedang
Sibuk sekali. Dia sibuk memikirkan kenapa 21 teman sekelasnya saat sekolah di
SMP yang 2 hari lalu mengundang Karmin, Karjo, Karsam dan Karmi’ah untuk reoni cilik-cilikan sekaligus buka bersama tak
satu pun ada yang mengajak maaf-maafan. Anggapnya Karmin, kalau ndak ada yang
pamer baju ya minimal pamer minta maaf dari SMS atau Telp. Namun tak satu pun dari
21 temannya ada yang begitu.
“Apakah ke 21 temanku itu lagi belajar
menerapkan teori perbedaan kelas sosial dan pamerisme”
ucap Karmin. “Apakah keakraban yang diikat nominal 15.000 oleh anak-anak kidulan
kemarin itu sekedar alibi untuk
mencari eksistensi salah seorang oknum untuk pamer statusnya dihadapanku dan
teman-teman.” Tambah Karmin yang semakin pusing.
Suasana reoni seharusnya dapat mempererat
hubungan silaturrahim sesamanya. Meskipun dalam forum itu ada yang statusnya
sebagai mahasiswa, penjual cinol, kuli bangunan, buruh penjual buah, anak mas
mahkota raja, ibu rumah tangga. Keakraban harus dapat dijalin melalui
komunikasi verbal/non verbal yang benar-benar efektif.
Perbedaan kelas sosial adalah suatu
kewajaran dalam filsafat jawa. Tapi dalam perbedaan itu orang jawa bilang, semakin
berisinya padi maka akan semakin merunduklah. Begitu pula yang sekarang
statusnya mahasiswa juga harus semakin pandai merunduk dengan temannya yang penjual
cinol, kuli bangunan, buruh penjual buah, ibu rumah tangga. Di benarkan atau
disalahkan seorang mahasiswa tentunya memiliki status yang lebih tinggi di
banding ke 5 status sosial yang di atas.
Menunjukan ke-aku-an atas status yang
kita miliki harus mampu kita brantas sedini mungkin dari pembawaan, ketika
sedang berforum. Agar jika di dalam forum tidak ada seorang manusia pun
merasakan tidak dihargai akibat kemunculan sifat ke-aku-an tersebut.
Tidak percaya kalau ke-aku-an itu tidak
baik. Buktikan saja ! Bisa saja seorang teman diantaranya keluar forum dan
mencari forumnya sendiri. Bisa saja keluar ruangan mencari ruangannya sendiri.
Saking parahnya bisa saja kalau besok-besok ada uleman mereka kapok
datang lagi
***
.
Setiap manusia pada hakikatnya sama
derajat, posisi, wawasan, kewibawaan, kekuasaan, kehartaan dan lainya. Perbedaan
itu hanya sementara, glamoria dunia belaka dan kekelan yang semu menurut
Karmin. Jika ke-aku-an gara-gara faktor intelektualitas di pamerkan, itu hal
yang salah kaprah. Pernah ada kisah seorang tuntunan rakyat namanya DPR. Dia
adalah wakilnya rakyat, status pendidikannya bukan main. Dari S1, S2, S3 hingga
S tong ada disana. Tetapi pada suatu
ketika rapat pleno DPR berlangsung, gara-gara ke-aku-an banyak sekali kaki-kaki
berterbangan bernyanyi diatas meja mimbar dan itu disaksikan seluruh masyarakat
yang mereka wakili.
Dalam skala kecil saja jika di desa ada
seorang kiai, camat, bandit, blater,
mahasiswa atau mahamanusia sekalipun menunjukan ke-aku-an pastilah dijauhi oleh khalayak ramai.
Kultur ke-aku-an sepantasnya di imbangi
kerendahan hati, kebaikan kemampuan berkomunikasi, dan merundukan diri pada
yang lebih kecil status sosialnya. Kita semua akan kembali pada masyarakat yang
multikulturalisme. Ndak peduli statusnya, maling, buruh, perampok, guru, kiai,
mahasiswa, RT, Lurah, dan mboh lainya. Tetap saja kita kudu belajar menghargai orang lain apabila
kita berada dalam posisi padi berisi.
“Cramahku ini kok lumayan buanyak sekali
ya. Kalau ini tak sampaikan di forum bisa-bisa aku yang malah di kira
menunjukan ke-aku-an.” Cletuk Karmin.
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda