Suaramu
semakin parau bagiku meski menurutmu itulah arti suara yang menyarakan semangat.
Tindakanmu tak lebih dari ketidak sopanan bagiku meskipun apa yang kamu lakukan
saat ini kau anggap benar. Dan kini setiap orang berbondongan menyebarkan sms
seperti itu pada setiap dosen dan mahasiswa bahkan pada kariyawan. Mungkin
bagimu tak lain supaya dia menang, lantas menjadi Rektor. Tak aneh karena apa yang
seharusnya aneh sudah dianggap tak aneh.
Dalam
satu keadaan aku belajar memaklumi dan belajar menikmati. Dan disitulah aku
mendapatkan kenikmatannya. Keberadaan demokrasi itu bulsit saat untuk ini.
Karena demokrasi hanyalah dimiliki oleh kelompok-kelompok mayoritas dan
minoritas. Demokrasi hanyalah semacam alat pelengkap dalam perang politik.
Lantaran dalam sekala kecil saja yaitu ditataran kampus, ketika ada pemilihan
rector setiap orang riuh meramai mendukung bakal calon yang datangnya dari
kelompoknya sendiri. Baik kelompok yang berasal dari bendera, tanah kelahiran,
suku, bahasa, ras, keturunan, kerabat dekat, kerabat sesama pejabat dll.
Demokrasi
seolah telah mati rasa. Ndak banyak orang yang mau mencoba berfikir diluar
kebiasaan demokrasi yang ada. Maksudnya, mencitrakan calon pilihaannya sesuai
kualitas internal dan eksternal si calon. Sebab pada umumnya demokrasi kita
masih terkecoh pada lubang gelap yang penuh topeng. Topeng yang menganggap baik
dari yang lebih baik, menganggap kurang baik dari yang baik, menganggap lebih
baik dari baik. Semua serba ngawur ndak proporsional dalam berkampanye.
Lebih
mencengangkan lagi, mereka berkampanye dengan uang. Politic of commercial mungkin
ada dan mungkin tidak. Namun yang kami maksudkan bukan mencoba membahas yang
demikian.
Kampanye
dengan uang artinya siapa pun mereka yang mempunyai modal yang cukup besar maka
pola kampanyenya tentu lebih waw. “Matohh atau Sae” kata seorang dari
Bojonegoro dan Madura. Tak jarang kapanye semacam ini sampai menimbulkan persepsi
baik yang dapat menutupi kekurangan kualiatas si calon yang diusung. Namun belum
tentu juga siapa yang kampanyenya lebih santai dengan sedikit uang maka
kualitasnya yang lebih baik.
Pemahaman
tentang demokrasi seolah telah dianggap betul lagi benar bagi pelakunya yang
saat ini ada di sana. Padahal nyatanya salah kaprah, bener gak lumrah.
Namun dalam satu posisi tertentu, memang konstitusi yang ada tak bisa
menyalahkan pemahaman demokrasi yang realitasnya blok-blokan seperti ini.
Karena konstitusi yang ada tak pernah membahas sampai sedalam ini. Toh apabila
esok ada pemahaman dan pembahasan sampai seperti itu. Tak menutup kemungkinan
bakalan disalahi lagi bentuk realitasnya. Namanya manusia, mahluk yang pinternya
bukan main. Berusaha melanggar realitas namun secara teori dibenarkan adalah
kerjaannya.
Tak
hanya dalam pemilihan rektor saja. Diseluruh internal kampus rasanya telah
menjamur pemahaman demokrasi yang semacam ini. Mulai dari pemilihan ketua UKM
(Unit Kegiatan Mahasiswa), DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa), Presma (Presiden
Mahasiswa), HMJ/HMP (Himpunan Mahasiswa Jurusan/Prodi) serta berbagai badan
kelengkapan kampus yang diluaran sana berbeda-beda namanya.
Internal
dunia cendekiawan saja sudah seperti itu. Lalu bagaimana dengan keadaan
pemilihan umum di tingkat Presiden, DPR, DPRD, Bupati, Kades, Sekdes, RT, RW
dan lainya. Bagi kami malah parah dan amburadul lagi.
***
Disadari
atau tidak, diterima atau tidak. Mamang beginilah pemahaman realitas demokrasi
kita saat ini. Lalu bagaimanakah solusinya. Menurut kami tak ada cara lain, pertama
kita perlu mencoba acuh tak acuh saat adanya pra pemilihan X dalam hal apapun.
Entah anda ikut memilih atau tidak, tapi berusahalah tetap acuh dan biasa-saja
pada para calon dan pendukungnya saat kampanye berlangsung. Kedua,
kenali lebih dalam kualitas sang calon dengan prinsip investigasion of comparative
(investigasi perbandingan) dan bukan mengenalinya dari kuantitas kampenye atau
pun masa pendukungnya. Ketiga, setelah keduannya terlankasana maka
selanjutnya biarkanlah budi pekerti anda yang berjalan. Mau memilih atau tidak.
Tetapi
solusi semacam ini kadang dianggap amat berbahaya. Lantaran tak semua orang
berpemahaman sama. Ada yang berfikir seperti ini biasanya, “Kalau kita tak
memilih, bagaimana masa depan kita. Kalau esok hari jika yang menang malah
melakukan eksploitasi besar-besaran dan justru malah merugikan kita bagaimana. Kalau
kita tak memilih atau cuek, apa kita punya hak untuk menuntut mereke…”
Masalah
yang semacam ini telah lumrah kita jumpai. Solusi keberlanjutannya adalah kita
semua harus belajar dan memahami kekuatan serta keberadaan konstitusi kita.
Pabila memang terdapat pelanggaran maka pihak yang berwenang beserta lini
mahasiswa dan masyarakat harus saling membantu pada posisinya masing-masing.
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda