Minggu, 07 September 2014

BINGUNG MIKIR ARTI DEMOKRASINYA KAMPUS

Suaramu semakin parau bagiku meski menurutmu itulah arti suara yang menyarakan semangat. Tindakanmu tak lebih dari ketidak sopanan bagiku meskipun apa yang kamu lakukan saat ini kau anggap benar. Dan kini setiap orang berbondongan menyebarkan sms seperti itu pada setiap dosen dan mahasiswa bahkan pada kariyawan. Mungkin bagimu tak lain supaya dia menang, lantas  menjadi Rektor. Tak aneh karena apa yang seharusnya aneh sudah dianggap tak aneh.

Dalam satu keadaan aku belajar memaklumi dan belajar menikmati. Dan disitulah aku mendapatkan kenikmatannya. Keberadaan demokrasi itu bulsit saat untuk ini. Karena demokrasi hanyalah dimiliki oleh kelompok-kelompok mayoritas dan minoritas. Demokrasi hanyalah semacam alat pelengkap dalam perang politik. Lantaran dalam sekala kecil saja yaitu ditataran kampus, ketika ada pemilihan rector setiap orang riuh meramai mendukung bakal calon yang datangnya dari kelompoknya sendiri. Baik kelompok yang berasal dari bendera, tanah kelahiran, suku, bahasa, ras, keturunan, kerabat dekat, kerabat sesama pejabat dll.
Demokrasi seolah telah mati rasa. Ndak banyak orang yang mau mencoba berfikir diluar kebiasaan demokrasi yang ada. Maksudnya, mencitrakan calon pilihaannya sesuai kualitas internal dan eksternal si calon. Sebab pada umumnya demokrasi kita masih terkecoh pada lubang gelap yang penuh topeng. Topeng yang menganggap baik dari yang lebih baik, menganggap kurang baik dari yang baik, menganggap lebih baik dari baik. Semua serba ngawur ndak proporsional dalam berkampanye.
Lebih mencengangkan lagi, mereka berkampanye dengan uang. Politic of commercial mungkin ada dan mungkin tidak. Namun yang kami maksudkan bukan mencoba membahas yang demikian.
Kampanye dengan uang artinya siapa pun mereka yang mempunyai modal yang cukup besar maka pola kampanyenya tentu lebih waw. “Matohh atau Sae” kata seorang dari Bojonegoro dan Madura. Tak jarang kapanye semacam ini sampai menimbulkan persepsi baik yang dapat menutupi kekurangan kualiatas si calon yang diusung. Namun belum tentu juga siapa yang kampanyenya lebih santai dengan sedikit uang maka kualitasnya yang lebih baik.
Pemahaman tentang demokrasi seolah telah dianggap betul lagi benar bagi pelakunya yang saat ini ada di sana. Padahal nyatanya salah kaprah, bener gak lumrah. Namun dalam satu posisi tertentu, memang konstitusi yang ada tak bisa menyalahkan pemahaman demokrasi yang realitasnya blok-blokan seperti ini. Karena konstitusi yang ada tak pernah membahas sampai sedalam ini. Toh apabila esok ada pemahaman dan pembahasan sampai seperti itu. Tak menutup kemungkinan bakalan disalahi lagi bentuk realitasnya. Namanya manusia, mahluk yang pinternya bukan main. Berusaha melanggar realitas namun secara teori dibenarkan adalah kerjaannya.
Tak hanya dalam pemilihan rektor saja. Diseluruh internal kampus rasanya telah menjamur pemahaman demokrasi yang semacam ini. Mulai dari pemilihan ketua UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa), Presma (Presiden Mahasiswa), HMJ/HMP (Himpunan Mahasiswa Jurusan/Prodi) serta berbagai badan kelengkapan kampus yang diluaran sana berbeda-beda namanya.
Internal dunia cendekiawan saja sudah seperti itu. Lalu bagaimana dengan keadaan pemilihan umum di tingkat Presiden, DPR, DPRD, Bupati, Kades, Sekdes, RT, RW dan lainya. Bagi kami malah parah dan amburadul lagi.

                                                                           ***
Disadari atau tidak, diterima atau tidak. Mamang beginilah pemahaman realitas demokrasi kita saat ini. Lalu bagaimanakah solusinya. Menurut kami tak ada cara lain, pertama kita perlu mencoba acuh tak acuh saat adanya pra pemilihan X dalam hal apapun. Entah anda ikut memilih atau tidak, tapi berusahalah tetap acuh dan biasa-saja pada para calon dan pendukungnya saat kampanye berlangsung. Kedua, kenali lebih dalam kualitas sang calon dengan prinsip investigasion of comparative (investigasi perbandingan) dan bukan mengenalinya dari kuantitas kampenye atau pun masa pendukungnya. Ketiga, setelah keduannya terlankasana maka selanjutnya biarkanlah budi pekerti anda yang berjalan. Mau memilih atau tidak.
Tetapi solusi semacam ini kadang dianggap amat berbahaya. Lantaran tak semua orang berpemahaman sama. Ada yang berfikir seperti ini biasanya, “Kalau kita tak memilih, bagaimana masa depan kita. Kalau esok hari jika yang menang malah melakukan eksploitasi besar-besaran dan justru malah merugikan kita bagaimana. Kalau kita tak memilih atau cuek, apa kita punya hak untuk menuntut mereke…”
Masalah yang semacam ini telah lumrah kita jumpai. Solusi keberlanjutannya adalah kita semua harus belajar dan memahami kekuatan serta keberadaan konstitusi kita. Pabila memang terdapat pelanggaran maka pihak yang berwenang beserta lini mahasiswa dan masyarakat harus saling membantu pada posisinya masing-masing.

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda