Senin, 08 September 2014

ArtiS-TopenG-OspeK (ATO)

Siapa sih yang tak suka bila dirinya memiliki status sebagai artis. Tentu semua orang ingin terkenal pada umumnya. Apalagi di jaman serba mengetes adreanalin seperti sekarang. Mulai dari artis figuran, sampai artis musiman; mulai artis senior layar lebar atau sinetron sampai artis hot sex. Dengan sedikit eksis pada peluang yang tepat sekejap orang dapat menjadi artis. Tapi bukan itu yang dapat kita bicarakan sebagai seorang mahasiswa. Karena beberpa tahun terakhir ini banyak artis bermunculan tiap tahunnya di kampus-kampus yang justru menimbulkan kontroversi. Artis yang muncul saat ospek misalnya.
Artis seperti ini kadang kalau di dalam kampus X muncul dari golongan satu bendera, satu organisasi, satu tempat kelahiran dan satu-satu yang lainnya. Artis di masa ospek tergolong artis musiman. Disini menurut saya, mahasiswa bisa memiliki status sebagai artis karena dua hal. Antara dipilih secara spesial dengan dasar pada kalimat sebelumnya dan dengan cara diseleksi, tergantung dinamika politik kampus masing-masing.
Biasanaya artis senior tentu memiliki peluang lebih leluasa untuk menunjukisasi dan mendelegasikan anggota yang akan ikut ngospek. Siapa yang pantas dan tidak untuk mendampinginya dalam mengospek dapat ditentukan secara cepat.
Artis yang baik tentu memberi contoh yang baik. Tapi lha wong namanya manusia dan ini pun artis yang muncul ditingkat kampus yang tugas kastingnya ngospek bukan artis seperti di tipi-tipi.
Ada-ada saja caranya menghidupkan suasana per-artisannya. Mereka memasang wajah yang bertopeng pada kebanyakan artis yang ngospek. Hawat-hawat marah, kereng, emosi, mbentak-mbentak, dll. Tapi kalau sampai ada yang memukul maba (mahasiswa baru) itu semua tetep tergantung pada sirkulasi dan dinamika kampus masing-masing. Kalau umumnya ngospek, separah apapun seharusnya tak sampai terjadi kontak fisk. Secara mendasar Dirjen dikti telah menolak adanya perploncoan apalagi adanya kontak fisik.
***
Topeng dalam ospek adalah wajar bagi yang mewajarkan. Dan dari sinilah munculnya para artis dadakan berasal. Mereka bertindak seperti Jengis Khan, Hitler, Pak Harto kecil yang berkiprah ditataran kelas mahasiswa.
Artis dengan topeng di kampus X telah menjamur. Meskipun pembatu rektor III yang selaku menangani masalah kemahasiswaan dan beberpa kajur/kaprodi (ketua jurusan/ketua prodi) serta dosen telah mewanti-wanti agar tak ada bentak-bentak yang sifatnya tak masuk akal saat ngospek. Lagi-lagi namanya wong pinter. Dimana-mana murid itu lebih cerdik dan lebih pinter dari gurunya. Sedikit berpura-pura dengan mengenakan topeng di depan para birokrat kampus X, ospekpun dianggap lancar tak ada penyimpangan, akhirnya. (walaupun praksisnya ...)
Para artis bertopeng tak bisa lepas dari budaya senioritas dan ke-aku-an.
Mereka suka memberi tugas. Kadang memberi penugasan ini itu-itu ini yang mana filosofi penugasannya berasal dari etika otak atik matok yang dipaksakan. Kemarin malah ada pula penarikan dana ospek secara khusus di kampus X, yang jelas melebihi kapasitas ketentuan. Sehingga muncul keluhan secara ramai dari maba atau saya sebut sebagai masayarakat baru yang namanya baru tercatat di absensi akademika kampus. Apa coba alasan penarikan itu ! Tak tahulah aku, wong cilik hanya bisa komentar. Yang jelas sampai hari ini masalah ini belum tuntuas teratasi. Dan saya rasa tak bakalan tuntas.
Topeng artis akan memiliki nilai plus bagi yang merasa dapat waw dalam memasang topeng dan skenario ke-aktingannya di depan masyarakt baru. Dan disitulah wujud ke-aku-annya.
Untungnnya maba yang dihadapi. Coba mala (mahasiswa lama), bisa susah mareka itu.
Dalam hal ini apakah kita akan berbicara salah-benar dari budaya bertopeng selama ini. Baik budaya bertopeng yang muncul dari dirinya sendiri atau seniornya. Itu terserah penilaian anda. Hanya saja praktik mereka selama ini saya anggap kurang benar. Dan kenapa pula para orang terdahulunya dulu meninggalkan budaya ngospek yang kurang mendidik. Ribet pula untuk dibahas.
Dapat kita coba tes argumen diatas. Begini caranya, silahkan anda menarik riset manual dengan menayakan beberapa pertanyaan kepada para maba. Pertama, apakah mereka paham dengan esensi dasar ospek, trifungsi mahasiswa; apakah mereka masih ingat; apakah mereka pernah merenungkannya. Kedua, ada penyimpangan apa sajakah dalam ospek tersebut dikampus anda? Ketiga, bagaimanakah ospek yang menurut anda paling efektif.
Hanya dengan tiga pertanyaan, anda akan mendapat keberagaman hasil data. Dan disitulah anda mengetahui kelemahan ospek di kampus anda.
Jadi, sesekali konsep ngospek itu sebisa mungkin terlahir dari bawah ke atas. Maksudnya dari maba yang saat ini mengikuti ospek. Bukan dari atas kebawah. Kalau mau bagus ! dan siap-siap untuk memilah-pilah jawaban yang muncul. Kalau ndak juga ndak papa. Udah pada gede gak boleh di paksa.
Tadi itu berbicara topeng dengan sedikit tetek mbengeknya. Sekarang apakah ospek dengan sistem topeng selama ini dapat dibilang efektif. Hanya anda sendiri yang dapat menjawabnya.
Kemarin saya mendapat informasi waktu/jarak waktu prosesi ospek.
Jadi ada yang memakan satu tahun, enam bulan, ada yang satu minggu. (Ett.....waktunya beda-beda tergantung ketentuan Kampus, Fakultas dan jurusan masing-masing)
Yang saya jumpai ospek itu dibagi tiga ranah. Pertama, ranah Universitas. Yang menungi pengenalan tentang seluruh badan kelengkapan, sifitas akademika, dan beberapa pelengkap lainnya di tinggkat Universitas. Kedua, tingkat Fakultas yang tentu lebih spesifik dikupas tuntas tentang apa-apa saja yang dimiliki oleh fakultas. Ketiga, tingkat jurusan atau prodi yang lebih spesifik dan kecil ranahnya.
Menurut anda apakah pembagian itu juga sudah efektif? Saya rasa tidak, sebab dengan waktu yang lama maka anggaran yang dibutuhkan juga lebih besar, waktu yang diperlukan oleh artis tentu lebih lama untuk mempersiapkan dan mengakhiri ospek, dan SDA (sumber daya artis) yang dibutukan juga lebih buanyak lagi. Lalu, kenapa anda tidak mencoba menyingkat waktu sesingkat mungkin namun tak sampai melepas esensinya. Hal semacam inilah yang perlu kita rembuk dengan kepala dingin. Dan hanya anda sendirilah yang dapat menjawabnya.
***
Untuk melengkapi komentar sosial ini agaknya agar tidak seperti tong kosong nyaring bunyinya, banyak bicara tidak banyak bekerja atau bahkan memunculkan kata elu bisa kasih masalah tapi mana solusinya. Maka demi tiga hal tersebut saya mencoba menawarkan solusi.
Pertama, hilangkanlah ospek yang berbau bentak-bentak dan segala hal tentang topeng-topeng ke-artis-an seperti di kampus anda yang tiada gunanya. Dan apabila memberikan tugas, cukuplah menyuruh-menghimbau bukan memaksa. Penugasannya pun harus bersangkutan secara etika dan filosofi secara mendasar sederhanannya bukan karena otak atik matok yang dipaksakan yang dapat menguras keuangan maba. Kan kasihan, sudah terkena SPP tunggal dan uang pengembangan. Apa masih perlu ditambah lagi dengan dana ini itu-itu ini untuk ospek.
Kedua, mengenai isi dan sistem materi. Sebisa mungkin yang disajikan bukan materi yang berujung arogansi. Ospek harus mencerminkan keluhuran esensi ospek sendiri. Dengan makna dasar Orientasi Pengenalan Kampus. Jadi materi yang disajikan boleh dengan sistem seminar atau sharing-hearing. Yang mana tema di usulkan sesuai kebutuhan masing-masing. Umpanya memilih jalur sharing-hearing sebisa mungkin jangan hanya memuat kulit, dagingnya buah saja. Namun isinya juga harus diinformasikan. Alasannya kita tidak bicara kebaikannya kampus tok. Namun bisa juga berbicara karakteristik dosen, pelayanan administrasi, pengajuan beasiswa, keberadaan badan kelengkapan kampus-lembaga/organisasi kampus, jajaran pejabat kampus dll. Setidaknya mengenai permasalahan-permasalah umum yang ada di kampus dapat dibahas pada jalur ini. Dan materi tentang pemantapan trifungsi mahasiswa dapat pula lebih di galakkan. Karena ini adalah filosofi dasar titel seorang mahasiswa. Jadi apabila dasarnya mlenceng maka bangunan rumahnya juga bakalan kurang sempurna.
Ketiga, pembagian ranah ospek tetap namun waktu dipersingkat. Melalui rekonstruksi sistem materi ospek.
Keempat, artis yang dipilih ngospek perlu memiliki kualitas wawasan kepekaan sosial dan pengetahuaan umum tentang kampusnya.
Kelima, para calon artis yang ngospek harus lebih selektif penerimaannya. Jagan sampai ada praktik nepotis didalamnya. Yang bertujuan A, B, C, atau D. Yang malah memperkeruh dinamika kampus kedepannya.

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda