Siapa sih yang tak suka bila dirinya memiliki
status sebagai artis. Tentu semua orang ingin terkenal pada umumnya. Apalagi di
jaman serba mengetes adreanalin
seperti sekarang. Mulai dari artis figuran, sampai artis musiman; mulai artis
senior layar lebar atau sinetron sampai artis hot sex. Dengan sedikit eksis pada peluang yang tepat sekejap orang
dapat menjadi artis. Tapi bukan itu yang dapat kita bicarakan sebagai seorang
mahasiswa. Karena beberpa tahun terakhir ini banyak artis bermunculan tiap
tahunnya di kampus-kampus yang justru menimbulkan kontroversi. Artis yang
muncul saat ospek misalnya.
Artis seperti ini kadang kalau di dalam kampus X
muncul dari golongan satu bendera, satu organisasi, satu tempat kelahiran dan
satu-satu yang lainnya. Artis di masa ospek tergolong artis musiman. Disini menurut
saya, mahasiswa bisa memiliki status sebagai artis karena dua hal. Antara dipilih
secara spesial dengan dasar pada kalimat sebelumnya dan dengan cara diseleksi,
tergantung dinamika politik kampus masing-masing.
Biasanaya artis senior tentu memiliki peluang
lebih leluasa untuk menunjukisasi dan mendelegasikan anggota yang akan ikut
ngospek. Siapa yang pantas dan tidak untuk mendampinginya dalam mengospek dapat
ditentukan secara cepat.
Artis yang baik tentu memberi contoh yang baik.
Tapi lha wong namanya manusia dan ini
pun artis yang muncul ditingkat kampus yang tugas kastingnya ngospek bukan
artis seperti di tipi-tipi.
Ada-ada saja caranya menghidupkan suasana
per-artisannya. Mereka memasang wajah yang bertopeng pada kebanyakan artis yang
ngospek. Hawat-hawat marah, kereng, emosi, mbentak-mbentak, dll.
Tapi kalau sampai ada yang memukul maba (mahasiswa baru) itu semua tetep
tergantung pada sirkulasi dan dinamika kampus masing-masing. Kalau umumnya ngospek,
separah apapun seharusnya tak sampai terjadi kontak fisk. Secara mendasar Dirjen
dikti telah menolak adanya perploncoan apalagi adanya kontak fisik.
***
Topeng dalam ospek adalah wajar bagi yang mewajarkan.
Dan dari sinilah munculnya para artis dadakan berasal. Mereka bertindak seperti
Jengis Khan, Hitler, Pak Harto kecil yang berkiprah ditataran kelas mahasiswa.
Artis dengan topeng di kampus X telah menjamur.
Meskipun pembatu rektor III yang selaku menangani masalah kemahasiswaan dan
beberpa kajur/kaprodi (ketua jurusan/ketua prodi) serta dosen telah mewanti-wanti agar tak ada bentak-bentak
yang sifatnya tak masuk akal saat ngospek. Lagi-lagi namanya wong pinter. Dimana-mana murid itu lebih
cerdik dan lebih pinter dari gurunya. Sedikit berpura-pura dengan mengenakan topeng
di depan para birokrat kampus X, ospekpun dianggap lancar tak ada penyimpangan,
akhirnya. (walaupun praksisnya ...)
Para artis bertopeng tak bisa lepas dari budaya
senioritas dan ke-aku-an.
Mereka suka memberi tugas. Kadang memberi
penugasan ini itu-itu ini yang mana filosofi penugasannya berasal dari etika otak atik matok yang dipaksakan. Kemarin
malah ada pula penarikan dana ospek secara khusus di kampus X, yang jelas
melebihi kapasitas ketentuan. Sehingga muncul keluhan secara ramai dari maba
atau saya sebut sebagai masayarakat baru yang namanya baru tercatat di absensi akademika
kampus. Apa coba alasan penarikan itu ! Tak tahulah aku, wong cilik hanya bisa komentar. Yang jelas sampai hari ini masalah
ini belum tuntuas teratasi. Dan saya rasa tak bakalan tuntas.
Topeng artis akan memiliki nilai plus bagi yang
merasa dapat waw dalam memasang
topeng dan skenario ke-aktingannya di depan masyarakt baru. Dan disitulah wujud
ke-aku-annya.
Untungnnya maba yang dihadapi. Coba mala
(mahasiswa lama), bisa susah mareka itu.
Dalam hal ini apakah kita akan berbicara salah-benar
dari budaya bertopeng selama ini. Baik budaya bertopeng yang muncul dari
dirinya sendiri atau seniornya. Itu terserah penilaian anda. Hanya saja praktik
mereka selama ini saya anggap kurang benar. Dan kenapa pula para orang
terdahulunya dulu meninggalkan budaya ngospek yang kurang mendidik. Ribet pula
untuk dibahas.
Dapat kita coba tes argumen diatas. Begini
caranya, silahkan anda menarik riset manual dengan menayakan beberapa pertanyaan
kepada para maba. Pertama, apakah
mereka paham dengan esensi dasar ospek, trifungsi mahasiswa; apakah mereka
masih ingat; apakah mereka pernah merenungkannya. Kedua, ada penyimpangan apa sajakah dalam ospek tersebut dikampus
anda? Ketiga, bagaimanakah ospek yang
menurut anda paling efektif.
Hanya dengan tiga pertanyaan, anda akan mendapat
keberagaman hasil data. Dan disitulah anda mengetahui kelemahan ospek di kampus
anda.
Jadi, sesekali konsep ngospek itu sebisa mungkin terlahir
dari bawah ke atas. Maksudnya dari maba yang saat ini mengikuti ospek. Bukan
dari atas kebawah. Kalau mau bagus ! dan siap-siap untuk memilah-pilah jawaban
yang muncul. Kalau ndak juga ndak papa. Udah pada gede gak boleh di paksa.
Tadi itu berbicara topeng dengan sedikit tetek mbengeknya. Sekarang apakah ospek dengan
sistem topeng selama ini dapat dibilang efektif. Hanya anda sendiri yang dapat
menjawabnya.
Kemarin saya mendapat informasi waktu/jarak waktu
prosesi ospek.
Jadi ada yang memakan satu tahun, enam bulan, ada
yang satu minggu. (Ett.....waktunya beda-beda tergantung ketentuan Kampus,
Fakultas dan jurusan masing-masing)
Yang saya jumpai ospek itu dibagi tiga ranah. Pertama, ranah Universitas. Yang menungi
pengenalan tentang seluruh badan kelengkapan, sifitas akademika, dan beberapa
pelengkap lainnya di tinggkat Universitas. Kedua,
tingkat Fakultas yang tentu lebih spesifik dikupas tuntas tentang apa-apa
saja yang dimiliki oleh fakultas. Ketiga,
tingkat jurusan atau prodi yang lebih spesifik dan kecil ranahnya.
Menurut anda apakah pembagian itu juga sudah
efektif? Saya rasa tidak, sebab dengan waktu yang lama maka anggaran yang dibutuhkan
juga lebih besar, waktu yang diperlukan oleh artis tentu lebih lama untuk
mempersiapkan dan mengakhiri ospek, dan SDA (sumber daya artis) yang dibutukan
juga lebih buanyak lagi. Lalu, kenapa anda tidak mencoba menyingkat waktu
sesingkat mungkin namun tak sampai melepas esensinya. Hal semacam inilah yang
perlu kita rembuk dengan kepala dingin. Dan hanya anda sendirilah yang dapat
menjawabnya.
***
Untuk melengkapi komentar sosial ini agaknya agar
tidak seperti tong kosong nyaring
bunyinya, banyak bicara tidak banyak
bekerja atau bahkan memunculkan kata elu
bisa kasih masalah tapi mana solusinya. Maka demi tiga hal tersebut saya
mencoba menawarkan solusi.
Pertama, hilangkanlah ospek yang berbau bentak-bentak dan
segala hal tentang topeng-topeng ke-artis-an seperti di kampus anda yang tiada
gunanya. Dan apabila memberikan tugas, cukuplah menyuruh-menghimbau bukan
memaksa. Penugasannya pun harus bersangkutan secara etika dan filosofi secara
mendasar sederhanannya bukan karena otak
atik matok yang dipaksakan yang dapat menguras keuangan maba. Kan kasihan,
sudah terkena SPP tunggal dan uang pengembangan. Apa masih perlu ditambah lagi
dengan dana ini itu-itu ini untuk ospek.
Kedua, mengenai isi dan sistem materi. Sebisa mungkin
yang disajikan bukan materi yang berujung arogansi. Ospek harus mencerminkan
keluhuran esensi ospek sendiri. Dengan makna dasar Orientasi Pengenalan Kampus.
Jadi materi yang disajikan boleh dengan sistem seminar atau sharing-hearing. Yang mana tema di
usulkan sesuai kebutuhan masing-masing. Umpanya memilih jalur sharing-hearing sebisa mungkin jangan
hanya memuat kulit, dagingnya buah saja. Namun isinya juga harus
diinformasikan. Alasannya kita tidak bicara kebaikannya kampus tok. Namun bisa
juga berbicara karakteristik dosen, pelayanan administrasi, pengajuan beasiswa,
keberadaan badan kelengkapan kampus-lembaga/organisasi kampus, jajaran pejabat
kampus dll. Setidaknya mengenai permasalahan-permasalah umum yang ada di kampus
dapat dibahas pada jalur ini. Dan materi tentang pemantapan trifungsi mahasiswa
dapat pula lebih di galakkan. Karena ini adalah filosofi dasar titel seorang
mahasiswa. Jadi apabila dasarnya mlenceng
maka bangunan rumahnya juga bakalan kurang sempurna.
Ketiga, pembagian ranah ospek tetap namun waktu
dipersingkat. Melalui rekonstruksi sistem materi ospek.
Keempat, artis yang dipilih ngospek perlu memiliki
kualitas wawasan kepekaan sosial dan pengetahuaan umum tentang kampusnya.
Kelima, para calon artis yang ngospek harus lebih
selektif penerimaannya. Jagan sampai ada praktik nepotis didalamnya. Yang
bertujuan A, B, C, atau D. Yang malah memperkeruh dinamika kampus kedepannya.
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda