Air suci tertetes dari lubuk hati kami. Keluar dari mata pun tak mampu
dan malu. Mata kami menyaksikan hewan berakal menelurkan bibit-bibit kenaifan-kemunafikan.
Mata kami meyaksikan seorang berbaju biru dikata symbol almamater yang
merenggut kekebasan sesamanya dengan bentakan. Mata kami menyaksikan gelembung
angin retorika yang meminta tumbal tiap tahunnya. Mata kami menyaksikan hewan
berwajah manusia sedang beralibi dan bersembunyi dibalik tembok berumur empat
tahun dan pabila tiba waktunya ia dapat mencengkram apa yang disebut “Kekuasaan/Kesenioran” di tembok tersebut.
Mata kami menyaksiakan para hewan itu tertawa ria bahkan teramat bangga setelah
menelurakan kenaifan-kemunafikan dengan penuh rasa balas dendam dibalik
tembok-tembok sekat kamar, warung kopi dan di daratan lepas pada jagat ini.
Kelelahan dirasakan hati kami. Kaki dan pikiran kami pun berontak
semakin resahnya. Melangkah tak mau, melawan pun ragu. Hati yang lusuh karena
lisan yang begitu fasih mengeluarkan aturan-aturan permainan di tembok berumur empat
tahun. Aturan yang berisi ini dan itu yang ku rasa tak berlandasan amat kuat,
kecuali mencoba kuat. Alasan yang rapuh dimata pengadilan negeri atau hukum
agama kami. Hati kami menyeret kaki kami, sembari berteriak, “Anjing sialan, Kerbau dungu ! Engkau harus
tetap kuat dan berjalan wahai kaki. Penuhi keinginan mereka meski bagimu itu
gila. Sebab inilah prosesmu. Dan kelak engkau akan seperti mereka atau tidak
itu terserah padamu.”
Tangan kami membisu melihat seorang teman yang alat komunikasinya
dilempar pada tanah. Tanga kami membisu melihat seorang yang direndahkan harga
dirinya didepan yang lainnya. Tangan kami membisu melihat seseorang yang makan
dibatasi dengan waktu hitung jari, dicampur nasinya, diguyur air nasinya lalu
diaduk. Tangan kami membisu melihat seseorang yang dipaksa minum sampai
memuntahkan apa yang berasal dari perut. Tangan kami membisu melihat seseorang
yang dipaksa mendengar nyanyian hewan bertaring panjang. Dimana nyanyiannya
menggelegarkan ruangan selebar lapangan. Tapi nyanian itu tiada kemerduan. Hati
dan telinga kami pun menolak kalau nyanyian itu disebut oleh para hewan itu
sebagai “Nyanyian Termerdu Pernuh Makna.”
Mata kami tak bisa membedakan mana baik-mana buruk, mana asli mana
palsu, mana nurani mana nafsu. Semua serba samar, sangat samar. Kadang mata kami
menyaksikan kepala suku mereka menentang bawahannya karena perlakuannya pada
kami. Tapi kadang kepala suku mereka ada yang diam dan merasa aman-aman saja melihat
keberadaan negerinya. Kadang mata kami menyaksikan kepala suku mereka ada yang berlagak
bodoh dan tak tahu menahu. Kadang mata kami menyaksikan kepala suku mereka
membenarkan tindakan anak buahnya. Begitu banyaknya kepala suku mata kami pun
sayu.
Telinga kami mencibirkan gendangnya agar tak mendengar kenistaan dari
negeri ini. “Inilah aib di negeriku,”
kata telinga kami. Dari dulu ternyata begitu dan begini itu biasa. Perlahan
tas-tas karung dan kardus serta yang dikata perploncoan mulai sirna dari negeri
ini. Tapi kesadaran untuk berbicara isi bukan kulit buah Nanas yang masih nampak.
Mereka juga tak pernah menyampaikan bahwa isi buah Nanas itu amat keras hingga
seorang berumur balita sulit untuk mengunyahnya. Telinga kami pasrah mendengar
cerita. Tapi diantara kami ada yang berontak dengan berjalan kaki di
lorong-lorong sunyi sambil berbicara lantang. Telinga kami pun gugup, kesal dan
marah mendengar cerita seorang hewan yang mengaku teman. Yang semakin membuat
telinga kami kesal adalah saat para hewan itu selalu berburu mangsa baru untuk
diajak menikmati ranjang dengan telanjang, disedot kepemilikannya, direnggut
ambisinya, dicuri kesucian pemikirannya, dirampok perasaannya. Telinga kami
marah menerima hal itu. Tapi kadangkala telinga kami juga merasa senang sekali.
Sebab dari mereka kami punya cerita, dimasa awal memasuki tembok berumur empat
tahun. Tapi kandangkala telinga kami juga merasa senang bisa berfantasi. Karena
saat sang fajar sodiq tiba, kami akan mencoba serupa bahkan
melebihi sifat mereka saat datangnya pengunjung baru.
Jiwa yang terkubur jauh dari tubuh manusia melewati 7 lapisan manusia.
Jiwa yang tertidur lalu bangun karena kegundahan sinar surya di pagi hingga
petangnya hari. Yang sebenarnya teramat sopan, tak pernah berkata apapun karena
saking nrimanne. Pada suatu malam
sang jiwa menuliskan empat kalimat pada suratnya, yang ditulis pada kertas
kehidupan dengan berbunyi, “Opo ngeneki kang
diarani Ospek[1]
! Mugio mbenjeng mben wonten seng enggal lan serat makno. Angin kang kenceng mlampahe
iku ra keno dirasak ake enak’e, anangeng angin keng alon-alon, ati-ati mlakune
yo nikulah angin sepoi-sepoi. Angin kang ndugek ake kasenengan marang manungso.”
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda