Selasa, 02 September 2014

JIWO nggolek OSPEK ANGIN


Air suci tertetes dari lubuk hati kami. Keluar dari mata pun tak mampu dan malu. Mata kami menyaksikan hewan berakal menelurkan bibit-bibit kenaifan-kemunafikan. Mata kami meyaksikan seorang berbaju biru dikata symbol almamater yang merenggut kekebasan sesamanya dengan bentakan. Mata kami menyaksikan gelembung angin retorika yang meminta tumbal tiap tahunnya. Mata kami menyaksikan hewan berwajah manusia sedang beralibi dan bersembunyi dibalik tembok berumur empat tahun dan pabila tiba waktunya ia dapat mencengkram apa yang disebut “Kekuasaan/Kesenioran” di tembok tersebut. Mata kami menyaksiakan para hewan itu tertawa ria bahkan teramat bangga setelah menelurakan kenaifan-kemunafikan dengan penuh rasa balas dendam dibalik tembok-tembok sekat kamar, warung kopi dan di daratan lepas pada jagat ini.

Kelelahan dirasakan hati kami. Kaki dan pikiran kami pun berontak semakin resahnya. Melangkah tak mau, melawan pun ragu. Hati yang lusuh karena lisan yang begitu fasih mengeluarkan aturan-aturan permainan di tembok berumur empat tahun. Aturan yang berisi ini dan itu yang ku rasa tak berlandasan amat kuat, kecuali mencoba kuat. Alasan yang rapuh dimata pengadilan negeri atau hukum agama kami. Hati kami menyeret kaki kami, sembari berteriak, “Anjing sialan, Kerbau dungu ! Engkau harus tetap kuat dan berjalan wahai kaki. Penuhi keinginan mereka meski bagimu itu gila. Sebab inilah prosesmu. Dan kelak engkau akan seperti mereka atau tidak itu terserah padamu.
Tangan kami membisu melihat seorang teman yang alat komunikasinya dilempar pada tanah. Tanga kami membisu melihat seorang yang direndahkan harga dirinya didepan yang lainnya. Tangan kami membisu melihat seseorang yang makan dibatasi dengan waktu hitung jari, dicampur nasinya, diguyur air nasinya lalu diaduk. Tangan kami membisu melihat seseorang yang dipaksa minum sampai memuntahkan apa yang berasal dari perut. Tangan kami membisu melihat seseorang yang dipaksa mendengar nyanyian hewan bertaring panjang. Dimana nyanyiannya menggelegarkan ruangan selebar lapangan. Tapi nyanian itu tiada kemerduan. Hati dan telinga kami pun menolak kalau nyanyian itu disebut oleh para hewan itu sebagai “Nyanyian Termerdu Pernuh Makna.
Mata kami tak bisa membedakan mana baik-mana buruk, mana asli mana palsu, mana nurani mana nafsu. Semua serba samar, sangat samar. Kadang mata kami menyaksikan kepala suku mereka menentang bawahannya karena perlakuannya pada kami. Tapi kadang kepala suku mereka ada yang diam dan merasa aman-aman saja melihat keberadaan negerinya. Kadang mata kami menyaksikan kepala suku mereka ada yang berlagak bodoh dan tak tahu menahu. Kadang mata kami menyaksikan kepala suku mereka membenarkan tindakan anak buahnya. Begitu banyaknya kepala suku mata kami pun sayu.
Telinga kami mencibirkan gendangnya agar tak mendengar kenistaan dari negeri ini. “Inilah aib di negeriku,” kata telinga kami. Dari dulu ternyata begitu dan begini itu biasa. Perlahan tas-tas karung dan kardus serta yang dikata perploncoan mulai sirna dari negeri ini. Tapi kesadaran untuk berbicara isi bukan kulit buah Nanas yang masih nampak. Mereka juga tak pernah menyampaikan bahwa isi buah Nanas itu amat keras hingga seorang berumur balita sulit untuk mengunyahnya. Telinga kami pasrah mendengar cerita. Tapi diantara kami ada yang berontak dengan berjalan kaki di lorong-lorong sunyi sambil berbicara lantang. Telinga kami pun gugup, kesal dan marah mendengar cerita seorang hewan yang mengaku teman. Yang semakin membuat telinga kami kesal adalah saat para hewan itu selalu berburu mangsa baru untuk diajak menikmati ranjang dengan telanjang, disedot kepemilikannya, direnggut ambisinya, dicuri kesucian pemikirannya, dirampok perasaannya. Telinga kami marah menerima hal itu. Tapi kadangkala telinga kami juga merasa senang sekali. Sebab dari mereka kami punya cerita, dimasa awal memasuki tembok berumur empat tahun. Tapi kandangkala telinga kami juga merasa senang bisa berfantasi. Karena saat sang fajar sodiq tiba, kami akan mencoba serupa bahkan melebihi sifat mereka saat datangnya pengunjung baru.
Jiwa yang terkubur jauh dari tubuh manusia melewati 7 lapisan manusia. Jiwa yang tertidur lalu bangun karena kegundahan sinar surya di pagi hingga petangnya hari. Yang sebenarnya teramat sopan, tak pernah berkata apapun karena saking nrimanne. Pada suatu malam sang jiwa menuliskan empat kalimat pada suratnya, yang ditulis pada kertas kehidupan dengan berbunyi, “Opo ngeneki kang diarani Ospek[1] ! Mugio mbenjeng mben wonten seng enggal lan serat makno. Angin kang kenceng mlampahe iku ra keno dirasak ake enak’e, anangeng angin keng alon-alon, ati-ati mlakune yo nikulah angin sepoi-sepoi. Angin kang ndugek ake kasenengan marang manungso.


[1] Otoritas Pencari Kekuasaan

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda