Selasa, 26 Agustus 2014

SUL

SAKA
Hari ini aku melihat warna saka merah-putih berganti wajah. Di depan-depan perkantoran, perhotelan, taman dan perumahan. Bukanlah murni merah putih lagi yang berkibar. Warna kuning, hijau, biru pun menemani warna bendera negara kita dalam satu jaitan, satu deret kain, satu tiang. Ada saja yang mengubah desainnya. Dari warna asli yang polos menjadi lebih unik (kata orang sekarang). Di dalamnya berhias logo suatu instatansi lembaga keuangan, perkreditan bengkel motor, dll. Atau menambah tulisan Indonesia pada warna putihnya. Dan lambing garuda pada warna merahnya. Tak jarang juga menambahkan unsur semiotika sebagai ciri khas instansi tersebut.
Tak lagi gagah, standarisasi ketinggian tiang pengibar bendera banyak orang tak tahu. Sahingga ada yang mengikatkan benderanya pada ranting pohon, dahan pohon, emperan rumah, diberi tiang se meter lalu di ikatkan pada kayu di depan rumah, berkilo-kilo meter ukuran tiangnya tak sama. Ada tinggi-ada rendah seperti gelombang air samudra.
Aku melihat, kibaran bendera dianggap kewajiban tanpa maksud perenungan spiritual perjuangan. Kibaran tinggal kibaran yang lupa sejarahnya. Di beberapa tempat, bendera yang berkibar selang-seling keberadaannya. Ada yang tampak ada yang tidak. Dengan alasan tak punya bendera serta malas membuat tiang pengibar.
Aku melihat pada lorong-lorong desa yang amat teramat ramai berbagai warna kain di kibarka. Warna saka kita pun berkibar disetiap meternya. Lulu mereka berbisik, “Semoga dalam perlombaan kali ini kita yang menang !”
Aku melihat, seorang kepala desa dan para pengusaha yang baru saja terbang namanya tak mengibarkan bendera yang aku belum tahu alasannya.
Lalu aku mendengar, dibeberapa wilayah NKRI, sang saka  merah-putih tak pernah dikibarkan saat hari bersejarah bahkan tanggal 17 Agustus.

UPACARA
Aku melihat ada peserta upacara dari golongan pejabat dan guru sedang asyik bermain handphone dan tak memperdulikan kedisiplinan dalam baris berbaris saat upacara bendera berlangsung. Dan diantara mereka ada yang mencoba menjadi pejuang tapi kata-katanya di hiraukan bagai angin lalu. Lalu pejuang itu berusaha menegur anak-anak sekolah agar lebih tertib dalam berbaris. Ia pun dihiraukan.
Aku melihat, ratusan peserta resah dan mengeluh saat sinar surya menembus permukaan kulit mereka. Lalu kringat-kringat yang menetes di usaplah dengan lengan atau tisu.
Aku melihat komandan upacara kehabisan suaranya dan para veteran menangis saat mengikuti upacara bendera.
Aku melihat, perkumpulan para manusia cacat fisik dan akalnya beserta kumpulan gepeng (gelandangan dan pengemis) dan apupeng (anak punk dan pengamen) bersusah payah mengadakan upacara bendera 17 Agustus mereka sendiri-sendiri dengan amat serius.
Aku melihat Aku mendengar lagi melihat ada seorang pemuda pincang yang berbisik, “Apakah mereka tak merasakan keagungan perjuangan dalam upacara seperti ini. Apakah fantasi mereka tak mampu masuk pada gerbang perjuangan 1945
Aku mendengar lagi melihat gadis-gadis cantik, para lelaki tampan yang keduanya tinggi badannya berbisik, “Ealah coba saja kalau ini ndak kewajiban dan ndak ada punishment khusus jika ndak mengikuti upacara. Maleslah aku ndak ikut…”
Aku mendengar, di sebuah desa tak pernah sekalipun ada orang tua yang menanyakan keberadaan upacara bendera 17 Agustus di sebuah sekolah dimana anaknya bersekolah.

LUPA
Aku pun lupa bagaimana cara merayakan hari kemerdekaan bangsa kita. Aku pun tak tahu bagaimanaca caranya memaknai hari kemerdekaan bangsa kita. Aku lelah mencari jati diri hari kemerdekaan bangsa kita. Aku pun tak peduli kisah para veteran.
Aku lebih bangga merayakan hari kemerdekaan kelahiran anakku, pernikahanku, agamaku, dan hari jadi perusahaanku.
Aku pun lupa pristiwa genosida menjelang dan sesudah hari kemerdekaan. Aku pun hidup sendiri-sendiri. Aku pun lupa jika esok adalah hari kemerdekaan bangsa kita.

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda