SAKA
Hari ini aku melihat warna saka
merah-putih berganti wajah. Di depan-depan perkantoran, perhotelan, taman dan perumahan.
Bukanlah murni merah putih lagi yang berkibar. Warna kuning, hijau, biru pun
menemani warna bendera negara kita dalam satu jaitan, satu deret kain, satu
tiang. Ada saja yang mengubah desainnya. Dari warna asli yang polos menjadi lebih
unik (kata orang sekarang). Di dalamnya berhias logo suatu instatansi lembaga
keuangan, perkreditan bengkel motor, dll. Atau menambah tulisan Indonesia pada
warna putihnya. Dan lambing garuda pada warna merahnya. Tak jarang juga
menambahkan unsur semiotika sebagai ciri khas instansi tersebut.
Tak lagi gagah, standarisasi ketinggian
tiang pengibar bendera banyak orang tak tahu. Sahingga ada yang mengikatkan
benderanya pada ranting pohon, dahan pohon, emperan
rumah, diberi tiang se meter lalu di ikatkan pada kayu di depan rumah,
berkilo-kilo meter ukuran tiangnya tak sama. Ada tinggi-ada rendah seperti
gelombang air samudra.
Aku melihat, kibaran bendera dianggap
kewajiban tanpa maksud perenungan spiritual perjuangan. Kibaran tinggal kibaran
yang lupa sejarahnya. Di beberapa tempat, bendera yang berkibar selang-seling keberadaannya.
Ada yang tampak ada yang tidak. Dengan alasan tak punya bendera serta malas membuat
tiang pengibar.
Aku melihat pada lorong-lorong
desa yang amat teramat ramai berbagai warna kain di kibarka. Warna saka kita
pun berkibar disetiap meternya. Lulu mereka berbisik, “Semoga dalam perlombaan kali ini kita yang menang !”
Aku melihat, seorang kepala desa
dan para pengusaha yang baru saja terbang namanya tak mengibarkan bendera yang
aku belum tahu alasannya.
Lalu aku mendengar, dibeberapa
wilayah NKRI, sang saka merah-putih tak
pernah dikibarkan saat hari bersejarah bahkan tanggal 17 Agustus.
UPACARA
Aku melihat ada peserta upacara
dari golongan pejabat dan guru sedang asyik bermain handphone dan tak memperdulikan kedisiplinan dalam baris berbaris
saat upacara bendera berlangsung. Dan diantara mereka ada yang mencoba menjadi
pejuang tapi kata-katanya di hiraukan bagai angin lalu. Lalu pejuang itu
berusaha menegur anak-anak sekolah agar lebih tertib dalam berbaris. Ia pun
dihiraukan.
Aku melihat, ratusan peserta
resah dan mengeluh saat sinar surya menembus permukaan kulit mereka. Lalu kringat-kringat
yang menetes di usaplah dengan lengan atau tisu.
Aku melihat komandan upacara
kehabisan suaranya dan para veteran menangis saat mengikuti upacara bendera.
Aku melihat, perkumpulan para
manusia cacat fisik dan akalnya beserta kumpulan gepeng (gelandangan dan pengemis) dan apupeng (anak punk dan
pengamen) bersusah payah mengadakan upacara bendera 17 Agustus mereka
sendiri-sendiri dengan amat serius.
Aku melihat Aku mendengar lagi
melihat ada seorang pemuda pincang yang berbisik, “Apakah mereka tak merasakan keagungan perjuangan dalam upacara seperti
ini. Apakah fantasi mereka tak mampu masuk pada gerbang perjuangan 1945”
Aku mendengar lagi melihat
gadis-gadis cantik, para lelaki tampan yang keduanya tinggi badannya berbisik,
“Ealah coba saja kalau ini ndak kewajiban
dan ndak ada punishment khusus jika ndak mengikuti upacara. Maleslah aku ndak ikut…”
Aku mendengar, di sebuah desa tak
pernah sekalipun ada orang tua yang menanyakan keberadaan upacara bendera 17
Agustus di sebuah sekolah dimana anaknya bersekolah.
LUPA
Aku pun lupa bagaimana cara
merayakan hari kemerdekaan bangsa kita. Aku pun tak tahu bagaimanaca caranya
memaknai hari kemerdekaan bangsa kita. Aku lelah mencari jati diri hari
kemerdekaan bangsa kita. Aku pun tak peduli kisah para veteran.
Aku lebih bangga merayakan hari
kemerdekaan kelahiran anakku, pernikahanku, agamaku, dan hari jadi
perusahaanku.
Aku pun lupa pristiwa genosida
menjelang dan sesudah hari kemerdekaan. Aku pun hidup sendiri-sendiri. Aku pun
lupa jika esok adalah hari kemerdekaan bangsa kita.
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda