Selasa, 09 September 2014

KARMIN : NIKAH BEDA AGAMA IKI SOAL ABOT


Hari ini Karmin sedang mengikuti jam kuliah di jurusaannya. Tak tanggung-tanggung mata kuliah yang diambil adalah Masail Fiqhiyah. Itulah mata kuliah yang menurutnya membahas bagaimana islam memandang gejala dan kejadian-kejadian kontemporer, dimana hukumnya masih menuai ikhtilaf (perselisihan) ditataran ulama’.
 Terlihat waw mungkin. Karena Karmin sedang belajar jadi ulama’ di sono-sono yang sedang membahas bagaimana caranya menganalisa suatu hokum dalam islam terhadap permasalahan yang tergolong modern. Karena hukumnya membutuhkan pemikiran ulang,  lantaran dalam alqur’an dan hadis tak jilaskan secara rinci.
Kembali ke masalahnya Karmin. Ia sedang duduk dikursi dinomor dua dari belakang. Ia begitu termanggut-manggut mendengarkan burung-burung yang berkicaubegitu merdu. Sehingga seekor harimau liarpun tertidur mendengarnya. Sembari duduk, ia memandangi seorang dosen yang sedang menikmati suasana kelas yang ramai riuh.
“Beginilah seharusnya kelas ! ramai berisi,” gremeng si Dosen.
“Pusing dah ! Enak-enak ndengerin siulan burung. Ada saja yang ngridu saya,” geram si Karmin.
Di kelasnya karmin Cuma diam saja. Mau tak mau ia harus belajar menikmati. Meski hati menolak doktrinasi A, B, C atau D tapi dia wajib menjaga kekondusifan kelas. Tak terkecuali mahasiswa semester tua seperti Karmin[1].
“Bokkk, bocah-bocah iki. Kenapa sih pada rebut mbahas sah-tidaknya, boleh-tidaknya, dibaptis-atau di akadkan secara islami, haram-tidaknya, baik-buruknya nikah beda agama. Berat itu ndull… ” geram Karmin. “Padahal baik dalam agama Islam, Hindu, Budha, Kristen Protestan, Katolik atau apalah. Secara etika dan perspektif landasan kritis keagamaan nikah beda agama itu sama saling dilarang. Wong sudah jelas ndak boleh kok masih dibahas. Dasar manusia. Cukup hakimi saja manusianya, kasih sanksi syariah saja cukup to.” Lanjut Karmin sambil bersandar di kursi sejengkalnya.
Lapo mbahas seng abot-abot. Sekarang lho yang nikah sesama agama ae itu juga kontroversi. Soale, katane islam tapi kok cuma KTP. Kan kalau dipandang dari efek negatifnya, yah minimal juga bahasa to. Eh bahaya maksudnya. Kan kalau bapak ibu nya islam KTP sangat mungkin kalau punya anak maka didikan social keagaman secara internal juga kurang, kalau kurang sang anak pun pemahaman agamanya juga kurang, kalau kurang si anak cuak terhadap agama, kalau cuek agama si anak bisa…..tutttt kena sensor.”
Coba kalian fikir. Nikah sesama agama namun kedua belah pihak menganggap agama itu sebagai pelangkap saja. Yang namanya pelengkap, jika ada sukur-jika tidak juga ndak pa-pa. lalu bagaimana effek jangka panjangnya. Bahaya to, susah to.” Gremeng Karmin yang tak henti dari bawah perdebatan dasar agama yang saling berterbangan dari bibir-bibir tak berdosa.
Karmin tak bisa disalahkan. Namun temennya juga sangat tak boleh disalahkan pula. Yang namanya hidup penuh dengan warna bunga. Jadi walau nama bunganya sama. Tapi jenis dan modelnya bisa beda. Dan jangankan cuma bunga, sidik jari seantar manusia saja beda. Jadi ngapain diambil pusing, dinikmati saja Min, Karmin. Santai saja  Ya min.


[1] Saat ini Karmin sedang mengikuti kuliah dengan semester 5, sendang dirinya semester 7 alias menjelang sekripsi.

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda