Hari ini Karmin sedang mengikuti jam
kuliah di jurusaannya. Tak tanggung-tanggung mata kuliah yang diambil adalah Masail Fiqhiyah. Itulah mata kuliah yang
menurutnya membahas bagaimana islam memandang gejala dan kejadian-kejadian
kontemporer, dimana hukumnya masih menuai ikhtilaf
(perselisihan) ditataran ulama’.
Terlihat waw mungkin. Karena Karmin sedang
belajar jadi ulama’ di sono-sono yang sedang membahas bagaimana caranya
menganalisa suatu hokum dalam islam terhadap permasalahan yang tergolong
modern. Karena hukumnya membutuhkan pemikiran ulang, lantaran dalam alqur’an dan hadis tak
jilaskan secara rinci.
Kembali ke masalahnya Karmin. Ia
sedang duduk dikursi dinomor dua dari belakang. Ia begitu termanggut-manggut
mendengarkan burung-burung yang berkicaubegitu merdu. Sehingga seekor harimau
liarpun tertidur mendengarnya. Sembari duduk, ia memandangi seorang dosen yang
sedang menikmati suasana kelas yang ramai riuh.
“Beginilah seharusnya kelas ! ramai
berisi,” gremeng si Dosen.
“Pusing dah ! Enak-enak ndengerin
siulan burung. Ada saja yang ngridu saya,” geram si Karmin.
Di kelasnya karmin Cuma diam saja.
Mau tak mau ia harus belajar menikmati. Meski hati menolak doktrinasi A, B, C
atau D tapi dia wajib menjaga kekondusifan kelas. Tak terkecuali mahasiswa
semester tua seperti Karmin[1].
“Bokkk, bocah-bocah iki. Kenapa sih
pada rebut mbahas sah-tidaknya, boleh-tidaknya, dibaptis-atau di akadkan secara
islami, haram-tidaknya, baik-buruknya nikah beda agama. Berat itu ndull… ”
geram Karmin. “Padahal baik dalam agama Islam, Hindu, Budha, Kristen Protestan,
Katolik atau apalah. Secara etika dan perspektif landasan kritis keagamaan
nikah beda agama itu sama saling dilarang. Wong sudah jelas ndak boleh kok
masih dibahas. Dasar manusia. Cukup hakimi saja manusianya, kasih sanksi
syariah saja cukup to.” Lanjut Karmin sambil bersandar di kursi sejengkalnya.
Lapo mbahas seng abot-abot. Sekarang lho yang nikah sesama agama ae itu juga
kontroversi. Soale, katane islam tapi kok cuma KTP. Kan kalau dipandang dari
efek negatifnya, yah minimal juga bahasa to. Eh bahaya maksudnya. Kan kalau
bapak ibu nya islam KTP sangat mungkin kalau punya anak maka didikan social
keagaman secara internal juga kurang, kalau kurang sang anak pun pemahaman
agamanya juga kurang, kalau kurang si anak cuak terhadap agama, kalau cuek
agama si anak bisa…..tutttt kena sensor.”
Coba kalian fikir. Nikah sesama agama
namun kedua belah pihak menganggap agama itu sebagai pelangkap saja. Yang
namanya pelengkap, jika ada sukur-jika tidak juga ndak pa-pa. lalu bagaimana
effek jangka panjangnya. Bahaya to, susah to.” Gremeng Karmin yang tak henti
dari bawah perdebatan dasar agama yang saling berterbangan dari bibir-bibir tak
berdosa.
Karmin tak bisa disalahkan. Namun temennya juga
sangat tak boleh disalahkan pula. Yang namanya hidup penuh dengan warna bunga.
Jadi walau nama bunganya sama. Tapi jenis dan modelnya bisa beda. Dan jangankan
cuma bunga, sidik jari seantar manusia saja beda. Jadi ngapain diambil pusing,
dinikmati saja Min, Karmin. Santai saja
Ya min.
[1] Saat ini Karmin sedang
mengikuti kuliah dengan semester 5, sendang dirinya semester 7 alias menjelang
sekripsi.
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda