Sebenarnya
Tuah pun memuji alam sejagat dan dimensi sejagat. Begitu pun sebaliknya.
Kala
fajar dan pecahan purnama tiba selalu saja begitu. Mana mata, mana telinga,
mana jiwa yang haus akan kedekatan, mana intisari yang menginti pada setiap
posisinya.
Terbingkai
pada pujian-pujian suci bagai mantra sepanjang usia puasanya.
Siapa
yang akan kita temui akhirnya nanti. Alam sejagat pun malu meski rela disembah
dengan segala macam Tuhan berkedok Agamawan agung dari belahan ujung dunia. Ada
pula kelahiran Tuhan baru dari kaum para batu, hewan, tumbuhan dan setiap
partikel rasa dari genggaman jiwa buta dalam cahaya seterang fajar shadiq.
Siapa
yang akan kita temui akhirnya nanti. Dimensi sejagat pun lihai mempermainkan
manusia dengan segala keterbatasan mansia. Ada guncangan alam yang sunyi kejam.
Ada bebatuan keluar dan masuk ke dataran planet. Ada hawa yang saling
menyerupai partikelnya di seluasan atas sana. Ada gua persembunyian bertabir
kabut gelap bening diluaran sana. Ada kehidupan tanpa kuat dihitung jumlahnya.
Ada semua dalam kediaman kita, keraguan kita.
Tuhan
mana yang akan kita pilih. Bahkan akal dan jiwa kita selalu menyesatkan kita
pada jurang ketiada tahuan yang semu kadang buta. Siapa sandaran kita banggakan
bila setiap kita memiliki sandaran menurut pembenarannya masing-masing. Siapa
lagi kalau bukan suara ketenganan yang hulu-hilirnya tanpa dapat kita ketahui.
Datangnya pun tanpa kenal "kapan."
Siapa
Tuhan kita sebenarnya. Alam sejagat dan Dimensi sejagat pun kaku malu lagi
takut dengan sebenarnya Tuhan.
Bangkalan, Senin, 16 Maret 2015
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda