Seperti apakah dirinya?
Adakah
kumis disekitar bibirnya? Putihkah kulitnya? kekarkah badannya? sipitkah
matanya? santunkah katanya? murahkah senyumya?
Lamaku
ingat-ingat sakit bagiku. Dulu aku bayi, kini 20 Tahun berlalu sudah.
Berkali-kali
aku simpan sedihku dilaci besi yang terkunci rapat-rapat diantara hati dan
logika.
Berkali-kali
aku tersenyum lalu sebentar-sebentar terbahak keras, namun palsu.
Ketulusan
lengan kakek tua tak henti ku saksikan. Menggendong, menenangkanku saat gelisah
melandaku, memberiku makan-minum dalam laparku, menghidupiku dimana saat aku
butuh sekolah, berparas, atau sekedar jalan-jalan saja
Ada
ibu sebagai ayah. Ayah tak bisa sebagai ibu. 1 dalam 2 dalam satu raga dalam 2
jiwa
Ketika
seekor kelinci hutan saja memiliki kegembiraan, kebebasan lalu dimana diriku
adanya
Siapakah
aku?dari manakah aku?untuk apakah aku berada? Pecah serasa isi kepalaku
memikirkannya.
Kepastian
nasip yang bagiku tak pasti. Sebentar ibuku tersenyum menatapku, sebentar ia
muram melihatku. Ukiran pipi dan kening yang lusut diantara usia yang makin
rentan begitu mudah aku temui diwajah sang pengasuh. Dimana ukiran itu
terkadang juga menuntut janji akan masa depanku nantinya.
Disana
atau disini bagiku sama saja, sama sama tak memiliki arti makna kasih sayang
Terkadang
bibir tetangga bersiul dengan siulan pisau, bernyanyi dengan nyanyian buldoser,
lalu mereka mengarahkannya pada hati. Tepat dihati ku
Sebentar-sebentar
runtuh tulang belulang ini, sekedar dikenakan baju saja tak bisa karena ragaku
malu, malas, dan benci untuk berdiri tegak
Madura
laksana tempat bersinggah dimasa muda, gambaran kasih seorang lelaki berkumis
aku bayangkan selalu.
Masih
akan adakah fajar yang akan terbit dengan cahaya terang, hingga terangnya
membuka mata manusia sejagat raya.
Sekepal
harap, segunung rindu, segenggam cita, selaut duka aku mencoba berbaring
diantara nyanyian kehidupan.
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda