Penulis, “Terangnya isi akan
memancarkan luarnya pula”
![]() |
Add caption |
Disela-sela hidangan malam ditemani air hitam amat
pekat namun manis, yang dapat dinikmati untuk beberapa jam rasanya. Air obat
mujarap penghilang rasa kesal atau pun kegundahan pikir. Sambutan lengan dengan
enteng mendekat pada cangkirnya, menggenggem cangkir itu, lalu dingkatlah. Tak lama
kemudian, air mengalir dari cangkir itu dan membajiri sekujur rungga
tenggorokan.
Aku masih ingat ketika itu ku
sandarkan punggungku pada papan kayu warung. Warung WDK sahabat hati. Pena-pena
bergantung pada warung itu, masa depan mimpi yang tergali di situ pula.Tak jarang
ku lepaskan sedikit tawaan lembut untuk ku fikirkan
maksud tawanya dalam
beberapa menit kemudian.
Ku kira tawaan itu tak kira selesai
meskipun aku setahun lagi disungkur dari tempat ini. Tempat yang sangat
strategis bagiku untuk merenungi kisah rumah pendidikanku sendiri. Nasip manusia-manusia
berpena, gedung- gedung, ruang- ruang, jalanan, lorong-lorong, dan beberapa
hewan malam yang digadaikan oleh kepentingan seseorang yang bersembunyi dibalik
tumpukan bata dan semen serta beberapa tabir halus yang ada didalam hatinya.
Alasan janggal terselip disela-sela
tawaku tadi.
Aku berterimakasih, inilah rumah
pendidikan yang cocok buat perekonomian manusia didaratan kekuasaan kerajaan Jawa.
Terkait pendidikan, apa saja dapat aku jumpai disini. Gedung mewah (mepet sawah),
rak-rak bertumpuk buku di sebagian ruang, ribuan kursi-kursi kosong ketika
malam, masjid kampus, warung, tempat foto kopi, asrama mahasiswa, asrama dosen,
lapangan basket, lapangan bola, pasar ATM, ruang-ruang bertuliskan “ruang doctoral
dan guru besar, rauang kepala dan sekretaris jurusan, ruang pelayanan akademik
dan administrasi, ruang fakultas *, ruang kuliah bersama (RKB), dll ”.
Kaya kan kampusku? Yo jelas to sri-sri lha wong seng ndwe
negoro j.
Ketika pagi tiba pun dapat mudah kau
jumpai kerumun kelompok pemuda-pemudi bersepatu, berkemeja sedang duduk
menghadap papan tulis atau para pengajar. Berbagai macam jenis mobil
berwarna-warni platnya, parkiran yang di penuhi ribuan motor, pegawai-pegawai
berdasi mudah sekali kau jumpai disini.
Selebihnya, aku tak pandai
menggambarkan keadaan kampusku. Yang jelas ramai ketika hari aktif pastinya dan
akan senyap tiba-tiba ketika fajar sudah ditelan bulan. Dimana saat itu kau kan
dapati hal aneh. Kemegahan dan keramaian yang tak sebanding dengan latar cahaya
dimalam hari.
Ada lampu yang menyala kedap-kedip
bagai lampu diskotik di jalan sentral kampusku. Ada lampu yang tinggal
saklarnya saja. Ada lampu yang terlepas dari tempat dopnya[1]. ada pula lorong, ruang, gedung yang
gelapnya mampu bersaing dengan gelapnya kuburan didesaku.
Apakah tidak ngeri? Apakah tidak
bingung kamu?
Seharusnya wacana semacam ini dapat diperhatikan
oleh setiap masyarakat kampusku. Dana Negara yang begitu besar, pusatnya orang
berpendidikan, lengkapnya fasilitas penunjang sudah saatnya difokuskan pada penerangan
semacam ini.
Tak jarang bayang-bayang daun ku
kira hantu malam, suara-suara hewan aneh yang semakin menggerutkan nyaliku, beberapa
sudut-sudut jalan begitu gelap hingga seekor ular Pyton lewat pun tak kira aku
dapat mengetahuinya. Begitulah Susana kampusku beberapa tahun terakhir ini.
Ku harapa ada harapan baru tentang
penerangan, penerangan yang pro pada asumsi mahasiswanya yang kurang begitu
kagum dengan keadaan semacam ini. Penambahan jumlah lampu pada lokasi vital
seperti tikungan, penambahan kuantitas daya listrik dapat segera digagas. Biar kampus
Universitas Trunojoyo Madura ini dapat
berbesar hati jika nantinya ada touris lokal atau manca Negara yang tak sengaja
mengarahkan matanya kea rah matahari terbit ketika malam tiba.
Bangkalan, 24 Mei 2014
Kurang joss bro hehehehehhe
BalasHapusKebanyakan bertele2 akhirnya fungsi kritikannya hilang dan tenggelam,,, mkin ini lebih mengarah pada novel...
BalasHapusmemang kami sengaja mengkritik bermodelkan sastra mas/mbk... karena terlalu berbahaya jika kritiknya vulgar..hehehe
BalasHapus