“Bukanlah orang yang terang-terangan ingin
dipilih dan mencalonkan diri jadi seorang pemimpin itu ia bakalan amanah_tapi
orang yang diamlah yang cenderung dapat mengantarkan batu-batu besar itu ke
posisinya yang sebenarnya.” Penulis.
Wakil-Wakilan
Amat
lembut aku ucap kepada setiap jiwa, sesambutku pada anda semua. Salamat pagi,
siang, sore atau malam wahai saudara sekalian kapan pun waktu anda membaca
artikel ini…!!!
Kumulai
pada cerita bahwa dahulu, saat itu aku masih begitu muda dan dapat mudah
memerhatikan matahari fajar merah merona terbit dari ujung galuh sana. Fajarku
yang penuh pencarian makna dan penilaian akan apa saja yang ada disekitar
penglihatan kedua bola mataku ini. Baik, buruk, pantas, tak pantas, tapi
bukanlah aku yang “paling” diantara semua atas penilaian itu karena aku tak
lebih dari pengamat dibalik layar.
Dalam
ingatanku, kala itu dunia serasa miliku dan milik orang-orang yang saat itu
sepaham dengan prinsipku. “Harus aku dan
klanku yang menguasai dunia pendidikan ini, hanya aku yang paham seluk beluk
disini, tak lupa lumayanlah aku sesekali terkenal sekaligus saat merubah sistem
disini. Ya hanya aku dan klanku.” Begitu percaya diri aku kala itu. Tak
peduli saudara seperjuangan atau mahasiswa maksudku. “Ku sikut kau, ku babat kau, ku kalahkan kau, tak pantas kalian disana
kecuali aku dan klanku,” anganku sombong masa itu.
Menguasai
kampus agar sistem berubah maksudku. Begitu pula maksud lawanku. Kadang, kita
juga ada titik temu saat berdealektik. “Dengan
menjabat maka aku dapat menciptakan, membentuk serta menjalin link (jaringan).
Ya tak lupa link untuk mendapatkan sponsorship kegiatan, kawan kerja, kawan
taktis politik kampus, kawan ideologis, kontrak-kontrak politik atau apalah.”
Hmm…
tak benar rasanya jika prinsip itu sekarang harus aku kenakan selalu pada
tubuhku, pada selusin ini otakku dan otak para saudara diklanku. Fajar sudah
teramat tua sekarang. Pohon-pohon rimbun didepan kelas kuliahku juga sudah
mulai berguguran. Begitu juga prinsipku yang tak jauh berbeda dengan perenungan
fajar senja dan daun.
Kalau
Mas/Mbk/Adik/Kakak/Mantan Mahasiswa/Bu Dosen/ Pak Satpam dan maaf kaum Office Boy (OB), masih ingatkah kalian
semua “kapan terakhir kali kalian semuanya menyaksikan dunia perebutan
jabatan-kursi kepemimpinan di kampus ini. Jabatan ditingkat, Dewan Perwakilan
Mahasiswa (DPM) Fakulatas/ Universitas, Badan Eksekutif Mahasiswan (BEM)
Fakulatas/ Universitas, Dekanat, Rektorium, ke-UKM-an, ke-Pegawaian dan apa
pula aku tak banyak tahu. Kapan wahai saudaraku kau saksikan itu?
Pemilihan
ketua BEM, dan Kabinet-kabinet yang pada saling rebut, saling tuding, saling
mencari kelemahan, penggunaan system politik yang tak sewajarnya dulu sering
aku jumpai di gedung-gedung yang selalu diam dalam senyapnya. Ratusan atau
kadang puluhan orang saja, yang jelas pasti mengatas namakan ribuan mahasiswa.
“Apah…nuranikah yang bicara waktu itu, kemanahan bertanggung jawab, atau
eksistensi, atau apa yang mereka rembukan pada klan mereka, apa peduliku…!”
Kau
temui aku dipersimpangan jalan pertentangan politik, kau temui aku pula di
persimpangan warung kopi atau warung makan dengan membawa perdamaian politik.
Ajaran memperebutkan hak orang lain untuk meng-hak-kan dirimu sendiri kayaknya.
Aku
sadar betul, kalau aku hanyalah orang perantauan dari tanah seberang yang
kadang terbungkam mulutku oleh keberanian kebudayaan. Maka biasalah aku diam,
kecuali tulisan. Mungkin itu pula yang dirasakan, puluhan, ratusan bahkan
ribuan saudaraku yang sampai hari ini masih menghuni tanah pribumi orang timur
ini.
Masaku
telah tua, fajar yang dulu aku nanti-nanti cerahnya ternyata di persimpangan
angkasa terserang awan hitam. Awan yang mentang sejuta pemikiran untuk sebuah
perenungan masa lalu yang tak begitu tahu makna keadilan dalam berpenjabatan.
Ajaran nasionalisme, islamisme, independensime kadang tergadaikan namanya oleh
beberapa orang dari klanku, dari klan mereka pula. Ya, dari klan mereka.
Aku
pun diam. “Aku memang tak paham tugas
mereka sebenrnya, sesaat mereka bilang aku lho pejabat yang bakalan
melindungimu, mewakili aspirasimu, menyampaiakan perdamaian padamu. Tapi tak
tahulah sahabat apakah itu benar akan terjadi nantinya,” kata sahabat yang
berusaha menghiburku sambil menghisapi lintingan
tembakau berasap.
Tak
Terwkili-Diwakili
Kumpul mereka dalam visi
Ramai mereka dalam cengkrama atar kepentingan
klan
Siapa, siapa dan siapa sahabat kita, bisik seorang teman bisu
Aku seorang mahasiswa berpijak tri fungsi
Aku pejabat berparas tri dharma
Kalian penghuni tapi kalian bukan siapa-siapa, bisik seorang teman bisu yang satunya
Aku haus air kedamaian
Aku lapar akan persaudaraan
Aku gundah datangnya perjuangan sejarah
Aku ragu menatap janji-janji kekuatan
perpolitikan
Aku iba pada ketidak serasian
Aku mengis menyaksikan kepentingan-kepentingan
Berdiri diwakili, duduk, tidur, marah, senang pun
diwakili
Tangaku tangan mereka
Otakku otak mereka, bisik seorang teman bisu
Diwakili atau tak diwakili
Tak paham mereka
Tak peduli mereka
Menunggu pengaduan tapi sekedar pengaduan
Lalu hilang dalam sajarah pengaduan
Peperangan seperti ini akan sampai kapan
Politik seperti ini akan sampai kapan
Pemahaman seperti ini akan sampai kapan
Persaudaraan semu seperti ini akan sampai kapan
Tunggu aku akan bukti
Bukan bukti yang menungguku
Tunggu aku akan tanya
Bukan tanya yang menungguku
Tunggu aku akan diwakili
Bukan diwakili yang menungguku
Atau tak diwakili sama sekali kayaknya
Rindukah kalian akan makna guna jabatan
Rindukah kalian akan makna perjuangan
Rindukah kalian akan makna kematian saudara di
medan pendidikan
Rindukah kalian akan makna veteran bangsa kita
Rindukah kalian akan makna nasib bapak-ibu kalian
nantinya
Rindukah kalian akan makna nasib tukang becak,
penjual nasi, pedagang kaki lima pula
Rindukah kalian akan makna mereka
WAKIL, MEWAKILI
Keabadian sejarah selalu dimiliki siapa
pun juga, itu realitanya. Aku tak berhak mengatur, mengkritik, mencibir, siapa
pun juga. Karena setiap orang punya garis sejarahnya masing-masing, punya ruang
prosesnya masing-masing.
Meminta waktu agar selalu bersamaku,
harapku. Memohon pada mereka, mereka yang sudah pasti peduli pada nasip
kampusku, nasipku, nasipnya kaum OB, Satpam, Dosen, Pegawai pada ruang dekanat
atau rektorium.
Tetesan tangis air mata pada batin selalu
keluar kapan pun ketika ku pandangi kampusku. Sendu sedih tak berlinang mataku
berhari-hari. Lalu pada siapa aku memohon keadilan, kalau tak pada mereka.
Tuhan pun sudah tak mau mengambil tindakan, bahkan untuk sekedar bicara saja Ia
tak mau. Maka hanya pada kalian aku menyerahkan mimpiku dan saudaraku OB dan
satpam yang bergaji muram dalam kerja penuh kegentiran.
Bukan pula mahasiswa yang tertawa
terbahak-bahak lalu diam kembali jika ingat pula pada rumah pendidikannya. Ya
pada merekalah ia memohon pula. Pada mereka yang memiliki hak wakil dan
mewakili.
Tangis sedih, bahagia dalam duka salam
tutupku pada anda sekalian. Mohon maaf atas kekurang ajaran kata pada siapa
saja yang merasa dirugikan. Aku sekedar menorehkan suara lubuk hati setiap
insan yang sepaham padaku. Sekali pun kasar bagimu, ku bilang maaf…!!!
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda