Senin, 02 Juni 2014

KILI_KILI_KILAN[1]


 “Bukanlah orang yang terang-terangan ingin dipilih dan mencalonkan diri jadi seorang pemimpin itu ia bakalan amanah_tapi orang yang diamlah yang cenderung dapat mengantarkan batu-batu besar itu ke posisinya yang sebenarnya.”  Penulis.

Wakil-Wakilan
       Amat lembut aku ucap kepada setiap jiwa, sesambutku pada anda semua. Salamat pagi, siang, sore atau malam wahai saudara sekalian kapan pun waktu anda membaca artikel ini…!!!
       Kumulai pada cerita bahwa dahulu, saat itu aku masih begitu muda dan dapat mudah memerhatikan matahari fajar merah merona terbit dari ujung galuh sana. Fajarku yang penuh pencarian makna dan penilaian akan apa saja yang ada disekitar penglihatan kedua bola mataku ini. Baik, buruk, pantas, tak pantas, tapi bukanlah aku yang “paling” diantara semua atas penilaian itu karena aku tak lebih dari pengamat dibalik layar.

       Dalam ingatanku, kala itu dunia serasa miliku dan milik orang-orang yang saat itu sepaham dengan prinsipku. “Harus aku dan klanku yang menguasai dunia pendidikan ini, hanya aku yang paham seluk beluk disini, tak lupa lumayanlah aku sesekali terkenal sekaligus saat merubah sistem disini. Ya hanya aku dan klanku.” Begitu percaya diri aku kala itu. Tak peduli saudara seperjuangan atau mahasiswa maksudku. “Ku sikut kau, ku babat kau, ku kalahkan kau, tak pantas kalian disana kecuali aku dan klanku,” anganku sombong masa itu.
       Menguasai kampus agar sistem berubah maksudku. Begitu pula maksud lawanku. Kadang, kita juga ada titik temu saat berdealektik. “Dengan menjabat maka aku dapat menciptakan, membentuk serta menjalin link (jaringan). Ya tak lupa link untuk mendapatkan sponsorship kegiatan, kawan kerja, kawan taktis politik kampus, kawan ideologis, kontrak-kontrak politik atau apalah.”
       Hmm… tak benar rasanya jika prinsip itu sekarang harus aku kenakan selalu pada tubuhku, pada selusin ini otakku dan otak para saudara diklanku. Fajar sudah teramat tua sekarang. Pohon-pohon rimbun didepan kelas kuliahku juga sudah mulai berguguran. Begitu juga prinsipku yang tak jauh berbeda dengan perenungan fajar senja dan daun.
       Kalau Mas/Mbk/Adik/Kakak/Mantan Mahasiswa/Bu Dosen/ Pak Satpam dan maaf kaum Office Boy (OB), masih ingatkah kalian semua “kapan terakhir kali kalian semuanya menyaksikan dunia perebutan jabatan-kursi kepemimpinan di kampus ini. Jabatan ditingkat, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakulatas/ Universitas, Badan Eksekutif Mahasiswan (BEM) Fakulatas/ Universitas, Dekanat, Rektorium, ke-UKM-an, ke-Pegawaian dan apa pula aku tak banyak tahu. Kapan wahai saudaraku kau saksikan itu?
       Pemilihan ketua BEM, dan Kabinet-kabinet yang pada saling rebut, saling tuding, saling mencari kelemahan, penggunaan system politik yang tak sewajarnya dulu sering aku jumpai di gedung-gedung yang selalu diam dalam senyapnya. Ratusan atau kadang puluhan orang saja, yang jelas pasti mengatas namakan ribuan mahasiswa. “Apah…nuranikah yang bicara waktu itu, kemanahan bertanggung jawab, atau eksistensi, atau apa yang mereka rembukan pada klan mereka, apa peduliku…!”
       Kau temui aku dipersimpangan jalan pertentangan politik, kau temui aku pula di persimpangan warung kopi atau warung makan dengan membawa perdamaian politik. Ajaran memperebutkan hak orang lain untuk meng-hak-kan dirimu sendiri kayaknya.
       Aku sadar betul, kalau aku hanyalah orang perantauan dari tanah seberang yang kadang terbungkam mulutku oleh keberanian kebudayaan. Maka biasalah aku diam, kecuali tulisan. Mungkin itu pula yang dirasakan, puluhan, ratusan bahkan ribuan saudaraku yang sampai hari ini masih menghuni tanah pribumi orang timur ini.
       Masaku telah tua, fajar yang dulu aku nanti-nanti cerahnya ternyata di persimpangan angkasa terserang awan hitam. Awan yang mentang sejuta pemikiran untuk sebuah perenungan masa lalu yang tak begitu tahu makna keadilan dalam berpenjabatan. Ajaran nasionalisme, islamisme, independensime kadang tergadaikan namanya oleh beberapa orang dari klanku, dari klan mereka pula. Ya, dari klan mereka.
       Aku pun diam. “Aku memang tak paham tugas mereka sebenrnya, sesaat mereka bilang aku lho pejabat yang bakalan melindungimu, mewakili aspirasimu, menyampaiakan perdamaian padamu. Tapi tak tahulah sahabat apakah itu benar akan terjadi nantinya,” kata sahabat yang berusaha menghiburku sambil menghisapi lintingan tembakau berasap.

Tak Terwkili-Diwakili
Kumpul mereka dalam visi
Ramai mereka dalam cengkrama atar kepentingan klan
Siapa, siapa dan siapa sahabat kita, bisik seorang teman bisu

Aku seorang mahasiswa berpijak tri fungsi
Aku pejabat berparas tri dharma
Kalian penghuni tapi kalian bukan siapa-siapa, bisik seorang teman bisu yang satunya

Aku haus air kedamaian
Aku lapar akan persaudaraan
Aku gundah datangnya perjuangan sejarah
Aku ragu menatap janji-janji kekuatan perpolitikan
Aku iba pada ketidak serasian
Aku mengis menyaksikan kepentingan-kepentingan

Berdiri diwakili, duduk, tidur, marah, senang pun diwakili
Tangaku tangan mereka
Otakku otak mereka, bisik seorang teman bisu

Diwakili atau tak diwakili
Tak paham mereka
Tak peduli mereka
Menunggu pengaduan tapi sekedar pengaduan
Lalu hilang dalam sajarah pengaduan

Peperangan seperti ini akan sampai kapan
Politik seperti ini akan sampai kapan
Pemahaman seperti ini akan sampai kapan
Persaudaraan semu seperti ini akan sampai kapan

Tunggu aku akan bukti
Bukan bukti yang menungguku
Tunggu aku akan tanya
Bukan tanya yang menungguku
Tunggu aku akan diwakili
Bukan diwakili yang menungguku
Atau tak diwakili sama sekali kayaknya

Rindukah kalian akan makna guna jabatan
Rindukah kalian akan makna perjuangan
Rindukah kalian akan makna kematian saudara di medan pendidikan
Rindukah kalian akan makna veteran bangsa kita
Rindukah kalian akan makna nasib bapak-ibu kalian nantinya
Rindukah kalian akan makna nasib tukang becak, penjual nasi, pedagang kaki lima pula
Rindukah kalian akan makna mereka

WAKIL, MEWAKILI
       Keabadian sejarah selalu dimiliki siapa pun juga, itu realitanya. Aku tak berhak mengatur, mengkritik, mencibir, siapa pun juga. Karena setiap orang punya garis sejarahnya masing-masing, punya ruang prosesnya masing-masing.
       Meminta waktu agar selalu bersamaku, harapku. Memohon pada mereka, mereka yang sudah pasti peduli pada nasip kampusku, nasipku, nasipnya kaum OB, Satpam, Dosen, Pegawai pada ruang dekanat atau rektorium.
       Tetesan tangis air mata pada batin selalu keluar kapan pun ketika ku pandangi kampusku. Sendu sedih tak berlinang mataku berhari-hari. Lalu pada siapa aku memohon keadilan, kalau tak pada mereka. Tuhan pun sudah tak mau mengambil tindakan, bahkan untuk sekedar bicara saja Ia tak mau. Maka hanya pada kalian aku menyerahkan mimpiku dan saudaraku OB dan satpam yang bergaji muram dalam kerja penuh kegentiran.
       Bukan pula mahasiswa yang tertawa terbahak-bahak lalu diam kembali jika ingat pula pada rumah pendidikannya. Ya pada merekalah ia memohon pula. Pada mereka yang memiliki hak wakil dan mewakili.
       Tangis sedih, bahagia dalam duka salam tutupku pada anda sekalian. Mohon maaf atas kekurang ajaran kata pada siapa saja yang merasa dirugikan. Aku sekedar menorehkan suara lubuk hati setiap insan yang sepaham padaku. Sekali pun kasar bagimu, ku bilang maaf…!!!


[1] Atau kepanjangan dari WAKIL, MEWAKILI, DIWAKILI, TAK TERWKILI, WAKIL-WAKILAN

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda