ARAH AGAMA
Agama
seolah menjadi cerita khas dalam sastra. Manusia-manusia yang berusaha
menampakkan agamanya menyala-nyala terlihat dari waktu ke waktu. Agama yang
sebenarnya mati namun kian hari mencoba di hidupi oleh pengikutnya. Agama tak
mempunya sifat kecuali ajaran yang diterjemahkan oleh berbeda-beda pemikiran,
manusia.
Beberapa
tahun lalu sebelum masehi agama Hinddu yang di bawa dari tanah India menyebar
di setiap penjuru dunia. Lalu agama Gereja pada awal Masehi. Muncul pula agama Budha
yang ikut meramai setelah itu. Diatara ke tiganya muncul pula agama Islam yang
ikut meramaikan sejarah keberadaan agama. Selain agama yang saya sebutkan
banyak pula agama-agama kedaerahan.[1]
Agama yang banyak dianut suatu kelompok-kelompok tertentu di negeri ini dan mereka
berbeda-beda pula agamanya.
Agama
tanpa manusia tak ada arti. Dan manusia tanpa agama pun tiada arti pula. Banyak
penganut agama menimbulkan banyak jenis ajaran. Disana ada baik ada buruk pula
orangnya dalam mendiskripsikan setiap ajarannya. Hidup rukun antar agama dalam
sejarah juga ada. Karena pengajarnya dalam menyebarkan intisari agama tersebut
selalu mencoba riwayatkan, mengarahan dan mejalin kerukunan serta saling menghargai
sesama mahluk ciptaan-Nya di dunia ini. Ada pula, agama yang saling perang
saling adu keterkenalan dan kekuasaan di dalamnya. Merekalah pengajar agama
yang memandang kebenaran agama dari dalam dirinya sendiri, dari kulit agamanya,
dari sepihak mata Tuhannya saja. Tak dihargai orang lain, tak ada kesempurnaan
dan keberkaahan dari agama mereka sendiri, kiranya.
Agama
tak pernah salah namun praksis ajarannya perlu di kaji kembali ketika yang
menerima tak mencoba mengindahkannya dengan keseimbangan dunia. Ajaran luhur
agama juga tak ada yang salah tapi pemaknaan pada kepala-kepala penganutnya
yang perlu di benahi.
Sampai
kini tak ada orang yang sadar akan hal ini. Banyak diantara mereka malah marah
ketika kita berbicara multi kulturalisme
agama atau multi kulturalisme teis (banyak
Tuhan). Maksudnya, Tuhan yang di Tuhankan oleh agama mereka sendiri tak ada
yang berhak dicampur adukkan. Apa lagi dipaksa untuk disamakan secara pemahaman
esensi atau eksistensinya.
Beberapa
pemuka agama di negeri ini akan marah ketika kita berbicara tetang kata yang
tadi. Bahkan bisa-bisa kemarahannya haus akan darah dan kehidupan. Kehidupan
yang tak lebih penting dari keberadaanya agama.
Agama
haruslah dimaknai untuk menyatukan perbedaan dalam tetap keberbedaannya. Agama
yang tak punya kaki lagi bibir harus diarahkan kearah kedamaian. Sehingga dapat
menjadi dasar untuk saling menghargainya setiap kehidupan dari ciptaan sang
maha Pencipta. Agama tak boleh menjadi hakim atau tangan kanan Tuhan atas
ajaran yang diberkahi masing-masing agama. Yang dapat dengan mudahnya
melebelisasi jiwa kemanusiaan manusia.
Agama
tak boleh mengajarkan pertumpahan darah bahkan apa-apa saja yang mengarah pada
pertumpahan darah. Seperti prasangka. Agama bersifat umum dan mendasar pada
diri manusia sendiri-sendiri. Agama tak boleh dijadikan candu dan topeng pada perbuatan
manusianya. Agama bersifat rohaniah dan praktiknya jangan terlalu dikentarakan,
dispesialisasikan. Agama menghendaki kehidupan agama lain. Tak ada pengkhususan
kelompok karena agama dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan
begitu agama dapat menjadi pedoman hidup. Hidup untuk diri sendiri lagi orang
lain. Karena esensi semua agama adalah berusaha menjaga kelangsungan setiap
kehidupan setiap mahluk.
Kehendak Yang
Abstrak
Diberbagai
agama, manusia memiliki Tuhan dalam jiwanya, batinnya, pikirannya. Tuhan yang
memiliki berbagai kehendak prioritas atas kehidupan manusia. Tuhan yang
dibicarakan dengan keberpihakan berbeda esensi dan eksistensinya terhadap antar
agama.
Tetapi
pernahkan anda berfikir, kalau Tuhan-Tuhan yang anda sebut itu adalah sekedar nama.
Karena dasarnya siapa pun manusia di bumi ini tak dapat secara pasti mampu
mendiskripsikan tentang Tuhan. Nama Tuhan yang berbeda-beda. Yang mana dalam
pemahaman unik memiliki kesamaan kehendak. Seperti dalam kehendak-Nya untuk mengambil
nyawa, memberikan Jiwa dan Ruh pada kehidupan ciptaan-Nya, memberi dan
mengambil serta memutus mata Rizki, membimbing, menuntun, memberikan kebebasan
berfikir, berjalan, menggunakan Indra, ke samaan memiliki hak untuk bersifat
adil, murka, mengasihi, perkasa, kuasa menurut-Nya sendiri.
Lalu
apa yang akan kita perdebatkan jika terdapat kehendak yang sama. Bukanlah jadi
alasan kita untuk tak menghargai Tuhan orang lain. Sebab Tuhan-Tuhan pada agama
yang lain pun sekedar nama yang dikehendakkan-Nya. Siapa pun namanya pun kita
juga belum pernah paham lagi menjajaki dunia Tuhan. Maka, berdasarkan kesamaan
kehendak, bisa jadi terdapat kesamaan esensi nama Tuhan sebenarnya yang sedang dibungkus kehendak-Nya melalui
perbedaan-perbedaan nama Tuhan yang kita anut selama ini.
Apakah
mungkin itu terjadi? Hanya pemikiran lues dan terbuka terhadap agama dan Tuhan
yang dapat menjawabnya. Maka, “adakalanya
mencoba melepaskan doktrin agama kita masing-masing terlebih dahulu demi
mendapatkan sebuah jawaban yang koheren, universal, terpusat, mudah diterima
adalah jalan baik. Namun kiranya, kita juga wajib kembali kepada doktrin agama kita masing-masing lagi dengan
tetap mengindahkan agama dan Tuhan sebagaimana mestinya. Dan tetap saya ulang
lagi, tak ada kata mengatakan agama jiwa orang yang lain tak lebih baik dari
agama kita.”
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda