Minggu, 13 Juli 2014

PEDOMAN AGAMA


ARAH AGAMA
    Agama seolah menjadi cerita khas dalam sastra. Manusia-manusia yang berusaha menampakkan agamanya menyala-nyala terlihat dari waktu ke waktu. Agama yang sebenarnya mati namun kian hari mencoba di hidupi oleh pengikutnya. Agama tak mempunya sifat kecuali ajaran yang diterjemahkan oleh berbeda-beda pemikiran, manusia.

       Beberapa tahun lalu sebelum masehi agama Hinddu yang di bawa dari tanah India menyebar di setiap penjuru dunia. Lalu agama Gereja pada awal Masehi. Muncul pula agama Budha yang ikut meramai setelah itu. Diatara ke tiganya muncul pula agama Islam yang ikut meramaikan sejarah keberadaan agama. Selain agama yang saya sebutkan banyak pula agama-agama kedaerahan.[1] Agama yang banyak dianut suatu kelompok-kelompok tertentu di negeri ini dan mereka berbeda-beda pula agamanya.
       Agama tanpa manusia tak ada arti. Dan manusia tanpa agama pun tiada arti pula. Banyak penganut agama menimbulkan banyak jenis ajaran. Disana ada baik ada buruk pula orangnya dalam mendiskripsikan setiap ajarannya. Hidup rukun antar agama dalam sejarah juga ada. Karena pengajarnya dalam menyebarkan intisari agama tersebut selalu mencoba riwayatkan, mengarahan dan mejalin kerukunan serta saling menghargai sesama mahluk ciptaan-Nya di dunia ini. Ada pula, agama yang saling perang saling adu keterkenalan dan kekuasaan di dalamnya. Merekalah pengajar agama yang memandang kebenaran agama dari dalam dirinya sendiri, dari kulit agamanya, dari sepihak mata Tuhannya saja. Tak dihargai orang lain, tak ada kesempurnaan dan keberkaahan dari agama mereka sendiri, kiranya.
       Agama tak pernah salah namun praksis ajarannya perlu di kaji kembali ketika yang menerima tak mencoba mengindahkannya dengan keseimbangan dunia. Ajaran luhur agama juga tak ada yang salah tapi pemaknaan pada kepala-kepala penganutnya yang perlu di benahi.
       Sampai kini tak ada orang yang sadar akan hal ini. Banyak diantara mereka malah marah ketika kita berbicara multi kulturalisme agama atau multi kulturalisme teis (banyak Tuhan). Maksudnya, Tuhan yang di Tuhankan oleh agama mereka sendiri tak ada yang berhak dicampur adukkan. Apa lagi dipaksa untuk disamakan secara pemahaman esensi atau eksistensinya.
       Beberapa pemuka agama di negeri ini akan marah ketika kita berbicara tetang kata yang tadi. Bahkan bisa-bisa kemarahannya haus akan darah dan kehidupan. Kehidupan yang tak lebih penting dari keberadaanya agama.
       Agama haruslah dimaknai untuk menyatukan perbedaan dalam tetap keberbedaannya. Agama yang tak punya kaki lagi bibir harus diarahkan kearah kedamaian. Sehingga dapat menjadi dasar untuk saling menghargainya setiap kehidupan dari ciptaan sang maha Pencipta. Agama tak boleh menjadi hakim atau tangan kanan Tuhan atas ajaran yang diberkahi masing-masing agama. Yang dapat dengan mudahnya melebelisasi jiwa kemanusiaan manusia.
       Agama tak boleh mengajarkan pertumpahan darah bahkan apa-apa saja yang mengarah pada pertumpahan darah. Seperti prasangka. Agama bersifat umum dan mendasar pada diri manusia sendiri-sendiri. Agama tak boleh dijadikan candu dan topeng pada perbuatan manusianya. Agama bersifat rohaniah dan praktiknya jangan terlalu dikentarakan, dispesialisasikan. Agama menghendaki kehidupan agama lain. Tak ada pengkhususan kelompok karena agama dalam kehidupan bermasyarakat.
       Dengan begitu agama dapat menjadi pedoman hidup. Hidup untuk diri sendiri lagi orang lain. Karena esensi semua agama adalah berusaha menjaga kelangsungan setiap kehidupan setiap mahluk.
Kehendak Yang Abstrak
       Diberbagai agama, manusia memiliki Tuhan dalam jiwanya, batinnya, pikirannya. Tuhan yang memiliki berbagai kehendak prioritas atas kehidupan manusia. Tuhan yang dibicarakan dengan keberpihakan berbeda esensi dan eksistensinya terhadap antar agama.
       Tetapi pernahkan anda berfikir, kalau Tuhan-Tuhan yang anda sebut itu adalah sekedar nama. Karena dasarnya siapa pun manusia di bumi ini tak dapat secara pasti mampu mendiskripsikan tentang Tuhan. Nama Tuhan yang berbeda-beda. Yang mana dalam pemahaman unik memiliki kesamaan kehendak. Seperti dalam kehendak-Nya untuk mengambil nyawa, memberikan Jiwa dan Ruh pada kehidupan ciptaan-Nya, memberi dan mengambil serta memutus mata Rizki, membimbing, menuntun, memberikan kebebasan berfikir, berjalan, menggunakan Indra, ke samaan memiliki hak untuk bersifat adil, murka, mengasihi, perkasa, kuasa menurut-Nya sendiri.
       Lalu apa yang akan kita perdebatkan jika terdapat kehendak yang sama. Bukanlah jadi alasan kita untuk tak menghargai Tuhan orang lain. Sebab Tuhan-Tuhan pada agama yang lain pun sekedar nama yang dikehendakkan-Nya. Siapa pun namanya pun kita juga belum pernah paham lagi menjajaki dunia Tuhan. Maka, berdasarkan kesamaan kehendak, bisa jadi terdapat kesamaan esensi nama Tuhan sebenarnya yang  sedang dibungkus kehendak-Nya melalui perbedaan-perbedaan nama Tuhan yang kita anut selama ini.
       Apakah mungkin itu terjadi? Hanya pemikiran lues dan terbuka terhadap agama dan Tuhan yang dapat menjawabnya. Maka, “adakalanya mencoba melepaskan doktrin agama kita masing-masing terlebih dahulu demi mendapatkan sebuah jawaban yang koheren, universal, terpusat, mudah diterima adalah jalan baik. Namun kiranya, kita juga wajib kembali kepada  doktrin agama kita masing-masing lagi dengan tetap mengindahkan agama dan Tuhan sebagaimana mestinya. Dan tetap saya ulang lagi, tak ada kata mengatakan agama jiwa orang yang lain tak lebih baik dari agama kita.


[1] Agama yang berdasarkan animisme dan dinamisme

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda