Penulis, “Tak ada orang yang dalam hidupnya tak pernah
terasingkan. Muncul dengan asing hilang dengan asing”
Namaku
Ma. Aku adalah mahasiswa universitas Kerajaan Timur Jawa. Sekarang aku telah
bersiap-siap mengakhiri ajaran matakuliah. Karena sekarang sudah semester 6. Di
sini aku masuk Jurusan ekonomi Syariah atau sering juga teman-temanku
menyebutnya “Ekonomi Islam”.
Kebiasaanku ditahun terakhir ini selain fokus matakuliah semester akhir, aku hanya
masuk dan masuk dibeberapa organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tingkat
fakultas serta universitas, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Organisasi
Eksternal kampus dan beberapa komunitas.
Masuk
pada beberapa organisasi dengan tujuan mencari ilmu terkadang menjadikan diri
kita linglung tak konsisten. Kedalaman dan keloyalan kita ketika menceburkan
diri ke organisasi tersebut selalu menjadi masalah yang unik untuk dibahas
sampai sekarang. Mungkin kalau diibaratkan ilmu yang masuk, kemungkinan
terbesar kita hanya sedikit tahu organisasi itu tepatnya.
Sebagai
ibarat, ‘ada seorang pengemudi Kereta Api pengantar beras yang saat ini berjalan-jalan
melewati jalurnya. Ketika itu ia selalu berfikir bagaimana caranya agar
mendapatkan untung besar ? Akhirnya, kereta itu menambah 5 sampai 7 Gerbong yang
awalnya hanya 1 gerbong. Biasanya dengan 1 gerbong kereta itu dapat berlari
dengan kecepatan 100 Km/Jam. Tetapi semenjak gerbongnya ditambah, kereta itu
hanya mampu melejit dengan kecepatan 40-65 Km/Jam. Lalu, menurutmu apakah tidak
rugi waktu nantinya jika proses ini selalu berlaku.
Dalam
ibaratku diatas bukan berarti si pengemudi kereta api awalnya hanya terfokus
pada satu misi, cepat sampai. Lalu pada priode kedua pengemudi terfokus pada
dua misi, cepat sampai dan untung besar. Tapi ternyata dalam prosesnya
pengemudi ternyata mengeluarkan ongkos perawatan yang sangat tinggi dalam
perjalanannya.
Itu
lah yang dulu aku rasakan, sebelum aku mengetahui hobi dan dan kesukaanku. Tapi
kini aku sudah mengetahui hobi dan kesukaanku, membaca dan tulis menulis. Suatu
harapan yang saat ini masih aku asah karena baru aku temukan sekitar semester
empat lalu. dan hobi tersebut aku pondasikan sebagai sebuah pengabdian untuk
negeri.
Ketika,
itu sebelum tanggal 12 Mei atau awal masuk semester lima aku berfikir untuk keluar
masuk di berbagai organisasi. Tak sangka, mulai awal semester satu aku pernah
masuk Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia atau GMNI, Ikatan Mahasisawa
Muhammadiyah (IMM), Himpunan Mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah (Himaesya), UKM
Riset, UKM Al-Ahzam, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) FANATIK, comunitas Orang
Indonesia (Oi), Komunitas Pemuda Peduli Bangsa (KPPB. Ku pikir aku akan banyak
wawasan nantinya dengan mengikuti banyak organisasi. Ternya benar, tapi hanya
separuh saja. hehehe
Tiba
waktunya aku mulai mengerti tentang bagaimana rasanya dituntut dengan
kefokusan. Dimasa itulah aku mencoba mengambil kesipulan bahwa “selama ini aku hanya berkutat pada kulit
bukan isi.” Lalu, aku merengsek mengambil kesimpulan pada malam itu, “mulai besok pagi aku akan keluar dari semua
organisasi yang hari ini masih nempel pada bajuku,” derapku dalam suasana
hening saat itu.
Mungkin
sudah lama sekali aku mengasingkan diri dan meresa diasingkan oleh orang-orang organisatoris
karena pemikiranku yang semaune dewe.
Organisasi bukan batu loncotan tapi bagaimana caranya aku menemukan hobi dan
kesukaanku kala itu. Kala itu pula aku hilir mudik dari organisasi, mulai
menemukan pemaknaan tentang suatu ideologi, menganggur hanya numpang nama pun
pernah aku lakukan. Tapi sekalipun aku tak moncoba berfikir sebagai oportunis,
kalau skeptis mungkin bisa jadi. Dan itu pun atas keragu-raguanku pada berbagai
hal di organisasi tersebut.
“Muncul dengan asing hilang dengan asing.”
Kini aku alami. Kebiasaan lumrah tanpa beban mental menelaah pemikiranku.
Ringan kepala-tanganku. Kemana saja santai. Inilah kenyataannya. Berfokus pada
satu organisasi merupakan keharusanku saat ini. tiada rasa untuk berpaling.
Yang ada menuli-menulis dan menulis, serta membaca. Itulah kunci hobiku kini.
Terpisah,
aku sadar mata-mata kurawa dan pandawa memata-mataiku dari ujung altar.
Kepicikanku menjadikan aib bagi golongannya. Keberpihakan mereka mungkin benar
munkin juga kurang benar. Kebebasan yang kurasa tak lebih dari jiwa yang selama
ini terkurung dalam sangkar bersi tiada celah. Lalu jiwa itu dengan seketika
dapat terbang, terlepas dari sangkar besi tersebut. Jiwa itu belajar menyusuri
sungai nil, amazon, ciliwung dsb. Namun mata mereka tetap merunyam ketika
melihatku. Sembari kesabaran menguji, ketabahan yang kua ajak berlari sejauh
mungkin dari mereka, kesombongan yang aku tenggelamkan, amarah yang ku gadaikan
pada tiang-tiang Suramadu. Aku melangkah dan memohon kerendahan hati kepada
mereka, “kataku tak selembut katamu,
lakuku tak sebaik lakumu, aku hanyalah insan yang jiwanya baru saja terbebas.
Jiwa bertemu jiwa bersemayam dalam raga, mengintai sukma dan nafsu. Lalu
bertempurlah setan dan malaikat di dalamnya. Dan sebelum setan menang dari
kancah peperangan beserta ratusan juta pasukannya yang mengepung 2 atau 3
malaikat. Disitulah aku mengantarkan sebungkus kota suci, kota yang berkilauan.
Cahayanya seterang bapak surya. Kota yang selalu berpandang kalem. Dan di
dalamnya berisi suara kemanusiaan serta permintaan maaf.”
Setelah
itu, kuharap kotak itu dapat kalian simpan dan kalian pahami keseluruhannya.
Trimakasih.
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda