Janji dan komitmen merupakan
saudara sejak kecil. Yang lahir dari rahim yang sama namun dibesarkan pada
tempat yang berbeda. Saat sang janji terbiasa dengan keingkaran. Sedang sang
komitmen terbiasa hidup dengan kesungguhan, keseriusan. Lalu mereka berdua
tumbuh berkembang dengan sendirinya.
Saat sang janji berusaha ingin lari
sekencang mungkin untuk sekian kalinya berharap dapat meninggalkan
peristiwa-peristiwa perjanjiannya. Kala itu sang komitmen pun merasakan hal
yang sebaliknya. Ia tak pernah ingin lari dari apa yang sudah menjadi
pilihannya.
Dalam sebuah perjalanan, didekat
rawa-rawa yang kanan kirinya berisi tanaman kebahagiaan dan kesengsaraan yang nampak
sama hijau meronanya. Mereka berdua bertemu di sana. “Hai, engkalah mahluk yang telah menyelubung halus dalam dada. Sekali berucap
kenapa engkau harus lari. Bukankah aku ini saudaramu, yang selalu menemanimu
saat engkau mengambil keputusan. Dan bukankah aku, saudaramu, yang paling dekat
denganmu saat engkau menimbang sebuah pilihan hidupmu.”
“Iya, wahai komitmen. Engkau betul.”
“Lantas kenapa, setelah berjanji
engkau berusaha melepaskan apa yang sebenarnya telah engkau janjikan. Kita memang
dibesarkan pada tempat yang berbeda. Tapi perbedaan tak lebih dari tebalnya daun
pisang.”
“Aku tak ingin bersusah payah
saudaraku. Aku ingin hidup santai tanpa tekanan dari siapapun.”
“Tak malu kah engkau jika hari
ini engkau meminta makan pada orang tuamu, dan orang tuamu begitu susah payah memberimu
makan. Lalu engkau bilang padanya, ‘maaf ayah, aku cuma bercanda memnta makan'. Tak malu kah engkau, atas janjimu itu, bila
suatu hari engkau dituntut seorang manusia atas janjimu.”
Sang Janji diam. Mukanya memerah.
Kedua tangannya melambai-lambai lemas sekali bagai tanpa tulang.
“Hidup ini adalah perjuangan
mempertahankan pilihan. Setelah engkau mengambil pilhan maka tanggung pula
resikonya. Jangan malah lari. Sebab jika engkau lari, engkau tak akan pernah
tahu rasanya hidup yang sebenarnya.”
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda