Jamannya serba searah. Homogenitas mencoba memonopoli apa yang
telah searah tersebut. Tali temali ditarik dari atas hingga dasar archapada. Dianggap berwibawa bila tak
menyalahi budaya yang ada. Bhinika
Tunggal Ika, berbeda-beda memang tetap satu jua. Tapi tidak begitu artinya
bagi Karmin yang sedang menempuh kuliah di rumah shalter-nya. Di daerah sekitar Madura.
Dia sedang menyandarkan kepalanya
pada cabang pohon yang bentuknya melengkung seperti ranjang. Tangannya
melambai-lambai mengaisi tanah dari bawah tubuhnya. Pupilnya ditarik pada ujung
ranting pohon cemara yang tepat diatasnya. Sedang kakinya diselonjorkan lurus
dibawah mukanya.
Tampaknya dia sedang memikirkan
sesuatu. Terlihat dari mukanya yang penuh dengan kerutan kening. Apalagi
kulitnya seperti sawo matang. Jelas saja kelihatan kerutan itu.
Tak salah lagi ternyata ia sedang
merenungkan beberapa keberadaan Unit Kreativitas Mahasiswa (UKM) dan beberapa
komunitas di kampusnya. Apa yang kurang baik dan apa yang baik, apa yang kurang
efektif dan apa yang efektif sedang merancaukan pikirannya. Perdebatan tentang
kedua hal itu rasanya tak bakalan selesai semalam saja. Jangankan bicara kultur
mereka dan solusinya, ngomong legalitas formalnya saja pasti sulit baginya.
Singkat kata singkat cerita
maksudnya seperti ini.
Di sebuah kampus tempat Karmin
menitihkan harapan lembaran kriss pusaka masa
depan. Ia sering kali menggerutu setelah melakukan observasi pada beberpa UKM
dan komunitas.
“Dasar rodok nyleneh ! gimana to maunya. Organisasi kok begitu. Di tingkat
universitas ada Pers, ditingkat Fakultas Pers, dijurusan juga ada Pers. Huhhh.
Tapi tak hanya pers. Ku pikir di tiga hal bayangan strata kelembagaan mahasiswa
semua sama. Semua fakultas hampir berkiprah seprti itu sifatnya. Atas ada
keolah ragaan di keduanya juga ada, atas ada seni bawahnya ada pula, atas ada musik
dibawah ada pula musik. Bahh…ribet tenan
!” Angan Karmin dari keredupan surya oleh mendung yang telah menua.
“Berapa lama lagi hal semacam ini
akan terus belalu. Mungkin baik, bila yang diatas dan bawah punya kesamaan.
Tapi rumitnya, bila fokusnya sama atau bahakan sama biasnya sebab terlalu
banyak kefokusan. Bukankah akan menjadi dilema yang berkelanjutan. Menurutku,
kenapa kampusku tak mencoba merekonstruksi ulang bentuk kefokusan UKM dan
komunitas yang ada. Bolehlah sama tujuannnya, tapi kalau tingkatan atas sudah
tari masik. Apakah bawahnya harus fokus tari juga, bila atasnya olah raga
tenis, sepak bola dll. Apa bawahnya tetap sama. Kenapa tak mencoba hal yang
berbeda gitu. Bila atas fokusnya tari, bawahnya fokus pada drama/wayang/batik
atau apa gitu. Atau kalau atasnya ada musik yang fokus Reggae, Pop, Rock.
Kenapa bawahnya tak mencoba fokus pada music Jass, Kleningan kebudayaan, atau musik timur tengahan gitu. Ndak tahulah
susah mikirnya.” Tambah Karmin sambil menyemot cireng dari kantung platiknya.
Karmin berharap hal semacam ini
dapat dipertimbangkan. Tapi Karmin juga tak berharap ini dianggap paksaan.
Namun alangkah baiknya dana yang selama ini mereka terima dialirkan untuk
kefokusan yang berbeda. Dengan perbedaan tersebut, mahasiswa se kampus ini
lebih leluasa memilih UKM atau komunitas yang sesuai dengan kemampuannya.
Bukankah ini lebih efektif dan seru !
Bila mungkin terjadi, suatu hari
kampusnya dapat memiliki berpuluh-puluh UKM dan komunitas yang memiliki
kefokusan bermacam-macam. Apakah kampus lain tak iri mendengarnya. Pasti irilah
! Dan bila ada kejuaraan atau event,
kampusnya bakalan lebih memiliki peluang untuk mengikuti berbagai event tersebut. Bila banyak event yang
diikuti maka bukankah besar kemungkinan kampusnya untuk meraih nama dari laga
emas, perak, atau sekedar tropi.
Disamping demikian, dapat
dibayangkan berapa ribu mahasiswa yang bakalan ditarik pada dunia ke UKM an-komunitas.
“Haha, andai saja kampus kita memiliki UKM dan
komunitas yang khusus menggarap pewayangan,
tinju, karate, ludruk, langen tayub, rebana, music jass, bluse, metal, rock,
hard core, country, RAB, danggut, reog, kuda lumping, sintren, ondel-ondel,
gambang kromong, lukis, hias kriss, membuat patung, ukir, dekorasi ato
apalah.” Karmin tersenyum membayangkannya. Sebentar saja senyum itu hilang lagi
dali plakat mukanya. “Padahal kampus ini dihuni manusia dari berbagai daerah.
Andai saja beberpa organisasi daerah (Organda) yang ada menyumbang kehasan seni
dari wilayahnya masing-masing. Pasti uniik dahh…tapi ngipi. Aku hanya berani berangan-angan mewakili orang yang sama
pemikiran. Sebab sekali waktu aku utarakan didepan podium, yang ada hanyalah
celaan atau hinaan. Yah mending aku diam aja, atau bila esok aku berani. Aku
akan menulis petisi atau beberapa Master
Plan.” Kecuh Karmin.
Sebagai wong cilik, ia sangat sadar. Bahwa dalam hal ini, kehendak dan
kemampuan sepenuhnya dimiliki oleh pemilik kekuasaan legalitas formal. Sedang dia hanya mampu bertutur kata pada jiwa
dan akalnya sendiri. Yahh itung-itung
sebagai garis introspeksi diri bila esok ia ditakdirkan sebagai penguasa yang
seperti mereka.
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda