Minggu, 14 September 2014

NGIPEKNE KURANG APIK LAN APIK

Jamannya serba searah. Homogenitas mencoba memonopoli apa yang telah searah tersebut. Tali temali ditarik dari atas hingga dasar archapada. Dianggap berwibawa bila tak menyalahi budaya yang ada. Bhinika Tunggal Ika, berbeda-beda memang tetap satu jua. Tapi tidak begitu artinya bagi Karmin yang sedang menempuh kuliah di rumah shalter-nya. Di daerah sekitar Madura.
Dia sedang menyandarkan kepalanya pada cabang pohon yang bentuknya melengkung seperti ranjang. Tangannya melambai-lambai mengaisi tanah dari bawah tubuhnya. Pupilnya ditarik pada ujung ranting pohon cemara yang tepat diatasnya. Sedang kakinya diselonjorkan lurus dibawah mukanya.
Tampaknya dia sedang memikirkan sesuatu. Terlihat dari mukanya yang penuh dengan kerutan kening. Apalagi kulitnya seperti sawo matang. Jelas saja kelihatan kerutan itu.
Tak salah lagi ternyata ia sedang merenungkan beberapa keberadaan Unit Kreativitas Mahasiswa (UKM) dan beberapa komunitas di kampusnya. Apa yang kurang baik dan apa yang baik, apa yang kurang efektif dan apa yang efektif sedang merancaukan pikirannya. Perdebatan tentang kedua hal itu rasanya tak bakalan selesai semalam saja. Jangankan bicara kultur mereka dan solusinya, ngomong legalitas formalnya saja pasti sulit baginya.
Singkat kata singkat cerita maksudnya seperti ini.
Di sebuah kampus tempat Karmin menitihkan harapan lembaran kriss pusaka masa depan. Ia sering kali menggerutu setelah melakukan observasi pada beberpa UKM dan komunitas.
“Dasar rodok nyleneh ! gimana to maunya. Organisasi kok begitu. Di tingkat universitas ada Pers, ditingkat Fakultas Pers, dijurusan juga ada Pers. Huhhh. Tapi tak hanya pers. Ku pikir di tiga hal bayangan strata kelembagaan mahasiswa semua sama. Semua fakultas hampir berkiprah seprti itu sifatnya. Atas ada keolah ragaan di keduanya juga ada, atas ada seni bawahnya ada pula, atas ada musik dibawah ada pula musik. Bahh…ribet tenan !” Angan Karmin dari keredupan surya oleh mendung yang telah menua.
“Berapa lama lagi hal semacam ini akan terus belalu. Mungkin baik, bila yang diatas dan bawah punya kesamaan. Tapi rumitnya, bila fokusnya sama atau bahakan sama biasnya sebab terlalu banyak kefokusan. Bukankah akan menjadi dilema yang berkelanjutan. Menurutku, kenapa kampusku tak mencoba merekonstruksi ulang bentuk kefokusan UKM dan komunitas yang ada. Bolehlah sama tujuannnya, tapi kalau tingkatan atas sudah tari masik. Apakah bawahnya harus fokus tari juga, bila atasnya olah raga tenis, sepak bola dll. Apa bawahnya tetap sama. Kenapa tak mencoba hal yang berbeda gitu. Bila atas fokusnya tari, bawahnya fokus pada drama/wayang/batik atau apa gitu. Atau kalau atasnya ada musik yang fokus Reggae, Pop, Rock. Kenapa bawahnya tak mencoba fokus pada music Jass, Kleningan kebudayaan, atau musik timur tengahan gitu. Ndak tahulah susah mikirnya.” Tambah Karmin sambil menyemot cireng dari kantung platiknya.
Karmin berharap hal semacam ini dapat dipertimbangkan. Tapi Karmin juga tak berharap ini dianggap paksaan. Namun alangkah baiknya dana yang selama ini mereka terima dialirkan untuk kefokusan yang berbeda. Dengan perbedaan tersebut, mahasiswa se kampus ini lebih leluasa memilih UKM atau komunitas yang sesuai dengan kemampuannya. Bukankah ini lebih efektif dan seru !
Bila mungkin terjadi, suatu hari kampusnya dapat memiliki berpuluh-puluh UKM dan komunitas yang memiliki kefokusan bermacam-macam. Apakah kampus lain tak iri mendengarnya. Pasti irilah ! Dan bila ada kejuaraan atau event, kampusnya bakalan lebih memiliki peluang untuk mengikuti berbagai event tersebut. Bila banyak event yang diikuti maka bukankah besar kemungkinan kampusnya untuk meraih nama dari laga emas, perak, atau sekedar tropi.
Disamping demikian, dapat dibayangkan berapa ribu mahasiswa yang bakalan ditarik pada dunia ke UKM an-komunitas.
“Haha, andai saja kampus kita memiliki UKM dan komunitas yang khusus menggarap pewayangan, tinju, karate, ludruk, langen tayub, rebana, music jass, bluse, metal, rock, hard core, country, RAB, danggut, reog, kuda lumping, sintren, ondel-ondel, gambang kromong, lukis, hias kriss, membuat patung, ukir, dekorasi ato apalah.” Karmin tersenyum membayangkannya. Sebentar saja senyum itu hilang lagi dali plakat mukanya. “Padahal kampus ini dihuni manusia dari berbagai daerah. Andai saja beberpa organisasi daerah (Organda) yang ada menyumbang kehasan seni dari wilayahnya masing-masing. Pasti uniik dahh…tapi ngipi. Aku hanya berani berangan-angan mewakili orang yang sama pemikiran. Sebab sekali waktu aku utarakan didepan podium, yang ada hanyalah celaan atau hinaan. Yah mending aku diam aja, atau bila esok aku berani. Aku akan menulis petisi atau beberapa Master Plan.” Kecuh Karmin.
Sebagai wong cilik, ia sangat sadar. Bahwa dalam hal ini, kehendak dan kemampuan sepenuhnya dimiliki oleh pemilik kekuasaan legalitas formal. Sedang dia hanya mampu bertutur kata pada jiwa dan akalnya sendiri. Yahh itung-itung sebagai garis introspeksi diri bila esok ia ditakdirkan sebagai penguasa yang seperti mereka.

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda