Rabu, 17 September 2014

MENGGAGAS EKSISTENSIAL-ESENSIAL UTM

     Siapa yang menyangka kalau kampus Universitas Trunojoyo Madura (UTM) telah mampu melewati berbagai proses perubahan. Sejak dari Universitas Bangkalan (Unibang) hingga sekarang, UTM. Banyak hal yang selama ini kita lalui. Mulai dari transformasi antar jajaran pimpinan, rekonstruksi pembangunan, peningkatan pendapatan kampus, penambahan kuantitas mahasiswa, pemenuhan perlengkapan sarana-prasarana belajar mengajar sampai pada perubahan sistem birokrasi yang serba mini saat itu, hingga bersekala besar seiring meningkatnya jumlah mahasiswa. Kita pun mengalaminya. Dapat dibilang kampus kita telah mengalami pergantian wajah secara signifikan.

     Sangat dimungkinkan, bahwa pelegalan kelembagaan dari swasta menjadi negeri adalah salah satu pendongkrak percepatan perubahan tersebut.
     Semenjak kampus kita menjadi negeri semuanya berubah. Saya pernah mendengarkan sebuah obrolan lepas seperti ini, “mas, kita patut bersyukur dengan pencapaian kita selama ini. Bahwa semenjak kita menjadi negeri, bantuan dikucurkan begitu besar oleh kementrian. Dan inilah wajah kita sekarang. Bangunan serba megah. Apalagi kantor pusatnya, satu-satunya gedung tertinggi di Madura. Masalah keamanan, kampus kita sudah lebih berani memperlihatkan eksistensinya untuk lebih meningkatkan jaminan kenyamanan di kampus. Belum lagi berbagai macam beasiswa yang telah digelontorkan untuk para pengajar yang ingin melanjutkan kuliah dan mahasiswanya selama ini.”
     Percaya atau  tidak, akibat perubahan tersebut kampus kita telah memiliki nilai tawar lumayan tinggi diluaran sana, minimal se wilayah Jawa Timur. Pada tahun 2014, terdapat calon mahasiswa baru yang mencoba manaruh kepercayaannya di UTM. Tak tanggung-tanggung, 26.000 calon mahasiswa baru. Tapi sayang, kampus kita hanya mampu memuat tak lebih dari 3.500 mahasiswa. Angka yang lumayan fantastik bagi saya. Karena saya tahu bagaimana susahnya membuat dan membangun brad dari Madura.
     Saat ini kita memiliki berjumlah total mahasiswa sekitar kurang lebih 15.000. Dan dari paragraf diatas, saya menyebutkan angaka 26.000, namun yang diterima adalah tak lebih dari 5.000 orang. Maklum, hal tersebut diakibatkan gara-gra permasalahan klasik. Pertama, masalah kapasitas ruangan. Dimana jumlah raungan yang tersedia belum sepenuhnya dapat mengimbangi jumlah mahasiswa yang ada. Seperti kemarin, saat proses belajar mengajar dimulai untuk pertma kalinya setelah mahasiswa melakukan pemrograman Kartu Rencana Studi (KRS). Beberapa jurusan mengalami bentrokan kelas. Tak banyak, memang. Tapi perlu juga untuk kita cermati bersama.
     Yang kedua, masalah ketersediaan tenaga pengajar (dosen). Memang selama ini penambahan dosen kontrak ataupun tetap telah sering diupayakan. Namun ternyata masih belum sepenuhnya mampu memenuhi kekurangan yang ada. Terbukti dibeberapa jurusan, terdapat dosen yang mengajar melebihi Satuan Kredit Semester (SKS) yang telah ditentukan.
   Lalu secara terpisah, pada akhir tahun 2014 mendatang UTM akan melakukan pergantian dan pengangkatan rektor baru menggantikan rektor sebelumnya.
    Kembali ketopik awal. Saya kira kampus kita telah memiliki brand saat ini. Untuk lebih membumingkan brand UTM baik di lingkup regional, nasional atau pun internasional. Permasalah ruang kuliah dan jumlah tenaga pengajar, kedepannya semoga dapat dibahas dan diselesaikan dengan serius. Selain itu, rektor terpilih diharapkan dapat memberikan perubahan-perbaikan yang lebih eksistensial dan esensial demi kampus kita.
     Demi tercwujudnya kampus yang sesuai harapan. Mari kita bersama-sama menyongsong hari ini dengan keseriusan. Apa yang ada dihadapan kita, mari kita selesaikan, kita nikmati sebaik mungkin.

La raiba-Bangkalan, 17 September 2014

2 komentar:

  1. Apalagi perpustakaan umum, utuk sebuah kampus negeri tdk layak klw perpusx seperti itu.

    BalasHapus
  2. adik bisa ngomong begitu.. datanya dari mana ya adik mustawan

    BalasHapus

silahakan tambahakan komentar anda