Senin, 29 September 2014

KEBERANIAN sang KATAK

Kambing gembala di padang savana yang manakah nantinya dapat menjadi singa. Angin ribut seperti apakah yang dapat berubah menjadi angi sepoi-sepoi lalu merubah savana lunglai dapat berdiri tegak dengan bentuk tulang belulangnya. Dan air bah yang mana yang dapat berubah menjadi gengangan air hujan yang kadang membanjiri lalu cepat sekali kering. Agar padang tandus itu menjadi penuh tumbuhan dan tanah berhumus.

Di luaran sana banyak sekali burung Merpati yang berterbangan bersama Rajawali. Mereka datang dari ujung-ujung tanah harapan. Menanti dan mengundi jiwa yang tidur di dalam dada mereka. Sudah menjadi kebiasaan dan kewajiban ketika mereka tiba pada tandus ini. Harus  berbagi rejeki. Padang yang tiada keadilan berfikir. Kesejukan air syurga yang dapat mengaliri hati dan jiwa terpenggal di bendungan neraka. Mangsa-mangsa yang bersembungi di balik Pencipta.
Kambing, Merpati dan Rajawali amatlah berbeda. Fisik, kemampuan, jumlah, rupa, atau pun retorikanya. Siapa yang menyangka jika suara minoritas di dongkrak oleh suara mayoritas. Melawan berarti memberontak. Dan para pemberontak akan diasingkan dari padang savana. Di tindas kebebasannya, di kebiri tindak tanduknya, digunjing pemikirannya. Meski melawan adalah kebijaksanaan. Siapa yang menyangka.
Beberpa bulan dan tahun telah berlalu. Kepala kawanan Kambing menyamar menjadi Singa. Tiada tujuan yang jelas dalam jiwanya. Memimpin kawanan Merpati dan Rajawali. Kekuasaannya ibarat mawar yang merekah pada tangkai-tangkai hati yang tersakiti. Kambing yang menyamar biasa pamer suara merdu. Lari ketika badai dan lembah api gunung kenistaan turun dari tempatnya. Berfikir pongoh serasa ingin menggenggam lebarnya 7 jagat raya. Tak hari ini, tak juga yang akan datang. Begitulah tingkahnya.
Dalam sebuh tampat teduh para kawanan kambing yang amat mayoritas berteriak memberi apresiasi pada sang Kambing bermuka singa. Tak jelas alasannya kenapa demikian. Apakah sekedar eksistensi golongan, pamoritas, primordialitas. Tak perlu berfikir panjang katanya. “Pemilihan kepala kawanan haruslah selesai hari ini juga. Tak ada waktu lagi, ini waktu yang genting, tak ada pula rumput untuk menjamu jiwa-jiwa kawanan Rajawali dan Merpati,” anggap mereka dalam alam kebutaan.
Ringan bicara, sembunyi fakta menjadi kebiasaan. Kini kawanan lainya berlarian bersama angin saat sang kepala kawanan tak juga menunjukan kewibawaannya.
Aku membencimu saudara, kenapa engakau mengoceh saja sedangkan aku dan engaku amat berbeda. Engakau memakan biji dan aku memakan rerumputan. Dan engkau Rajawali, engkau hanya tahu bagaimana rasanya memakan daging. Si Kambing amat pongah saat menjadi pemimpin. Padahal ia lahir dari kalangan hewan kecil. Si Merpati yang selalu bersifat nriman ing pandum mengikuti arus angin yang berhembus. Dan si Rajawali, engkau begitu somong pula saat masamu tiba. Dan kini adalah masa robohmu.
Akulah seekor katak yang dapat hidup di dua alam. Mampu melihat pahit getirnya alam air dan daratan. Mampu melihat suasana siang malam ari dalam atau luar air. Aku tahu itu semua. Aku tahu apa yang terjadi di sana-sini. Bukanlah kebenaran bila kita semua tak belajar melihat apa yang tak dapat dilihat orang lain. Meng-aku-kan aku adalah kinaifan. Namun melupakan ke-aku-an adalah kekejaman. Marilah hidup dengan normal saudaraku. Tanpa harus menodong sana-sini.
Ternyata si Katak berkhotbah dari pinggir pantai harapan. Sendiri tanpa saudara pendengar. Karena bila ia berkhutbah di khalayak, kebebasan tak lagi jadi keagungan.

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda