Bagaimanakah menurut anda tentang manajemen sistem
pengelolaan pengaduan pelayanan di instansi anda? Baik dalam bentuk pengaduan
pelayanan secara online atau manual ?
Mungkin,
bagi sebagai mahasiswa, dosen, kariyawan, satpam dan lainnya. Masalah pelayanan
tak begitu diperdulikan. Tapi lain halnya bagi mereka yang sering menuntut
kesempurnaan dan ketepatan kinerja. Jelas kedua hal yang berbeda titik temu.
Yang satu dengan krangka berfikir apatis, jenuh atau pasrah. Sedang satunya
dengan krangka berfikir disiplinisasi, keadilan dan amanah. Namun, keduanya tak
dapat dipersalahkan, karena keduanya memiliki hak asasi serta alasan
masing-masing.
Sebagai
contoh kajian. Seperti inilah sisi lain masalah pelayanan di kampus teman saya.
Beberapa lembaga pengaduan pelayanan di kampusnya tak berfungsi normal. Tak
jarang sebagian kariyawannya suka marah-marah dengan alasan dasar yang tak
logis.
Katanya,
ada kariyawan perpustakaan yang menegur dengan kasar ketika seorang mahasiswa
kesulitan melakukan sign card di
loket masuk. Saat di dalam perpustaakaan, si mahasiswa mencoba bertanya
kembali, “Amet pak, dimana ya letak buku
filsafat?” tanyanya. “Carilah disana,
kan sudah ada kode buku di samping almarinya. Atau kamu chaking saja di komputer
itu?” jawab kariyawan tersebut. Anehnya, kariyawann tersebut akan
bertingkah baik lagi sopan jika yang bertanya tadi adalah seorang perempuan
cantik, manis, atau berbadan seksi.
Ia
juga pernah melihat, di ruang Administrasi dan Akademik, ada kariyawan yang
memarahi puluhan mahasiswa saat mencoba bertanya perihal transparansi
pengelolaan dana beasiswa Bidikmisi. Begitupun ditungkat fakulatas. Di ruang
Pengadaan dan Pengelolaan Sarana-Prasarana, ada kariyawan yang melucuti nyali
mahasiswa saat mengadukan masalah pelayanan sewa gedung dan transportasi bus kampus
yang kurang efektif. Di depan ruang Rektor ada kariyawan yang malah mengusir
mahasiswa. Karena si mahasiswa ngeyel
ingin bertemu rektor secara langsung. Sedang si kariyawan berharap, apa yang
dikatakan si mahasiswa dapat diwakilkan saja lewat dirinya. Bahkan sempat pula
mahasiswa tersebut didatangi seorang satpam dan ditegur, diancam ingin diusir.
Ada juga beberapa mahasiswa yang resah karena memiliki dosen yang ketika
memberikan nilai akhir ujian kuliah tidak bersifat realistis sesuai proseduaral
oprasional alias sekarepe dewe. Ia
juga pernah melihat mahasiswa yang menulis dan berdemo menuntut maksimalisasi
eksistensi lembaga kemahasiswaan di kampusnya.
Tak
cukup sampai disitu. Teman saya juga pernah mendengar, kalau dikampusnya,
mahasiswa jangan sampai berani-berani mengusik masalah anggaran secara
mendalam. Baik masalah pengadaan, pembangunan, dan perawatan barang. Bisa
panjang masalahnya.
Belum
lagi beberapa kariyawan yang suka nylewengin
wewenang. “Sudah jelas-jelas ada tempelan
dilarang masuk dengan kaos oblong, celana robek, dan sandal. E…maunya. Kariyawannya malah melanggar, memakai sandal. Namun
jika mahasiswanya melanggar jelas kena tegur dan usir oleh satpam !” Kata
teman saya.
“Pokoknya buuanyak deh sob masalah palayanan
yang sekiranya kurang normal di kampus saya…”
Dapat
dibayangkan, jika mahasiswa dan kariyawan terbiasa dengan pelayanan yang kurang
maksimal. Seperti dalam teori keterkaitan. Maka mereka pun akan menelurkan
benih-benih pelayanan yang tak maksimal di kalangan lainnya. Bila seringkali
pelayanan tak maksimal, maka apa yang akan terjadi pada negeriku. Adakalanya
akan lahir SDM yang berkualitas tak maksimal, yang kurang memiliki daya saing,
kurang tahan kritik-saran, nantinya.
Tekanan
moral dan batin perlu menjadi senjata ultimatum
ketika melihat pelayanan yang tak maksimal. Dan siapa pun dapat memberikannya.
Asal tujuan dan esensinya jelas, untuk perbaikan pada akhirnya.
Perbaikan
manajemen sistem pelayanan jelas diperlukan. Selain itu kampus juga perlu
memberanikan membuat trobosan pusat pelayanan
terpadu. Guna mereduksi ketimpangan dan miss-komunikasi. Kampus harus berani memberikan pelayanan maksimal.
Sebab urusan pelayanan, rasanya bukan sekedar angin siang berlalu tanpa waktu.
Tapi pelayanan ibarat ruh dari suatu keadaan, yang menentukan eksistensi
keberadaan itu sendiri. Ditingkat kampus, payanan jelas menyangkut berbagai
instrumen didalamnya. Tak hanya mahasiswa ! para pengajar tetap-kontrak,
satpam, klining service, dan citivitas akademik lainnya. Lalu akan pergi kemana
mereka jika kampus tak berani memberanikan trobosan-trobosan pelayanan yang
lebih baik. Saat mereka mendapati pelayanan kurang maksimal tak sesuai porsi
pelayanan pada mestinya jelas mereka bingung. Jika memang tak ada tempat untuk
melakukan pengaduan, yang dapat segera menindak lanjuti apa yang diadukan.
Jelas mereka akan seperti seseorang yang saya sebutkan pada paragraf pertama
tadi, dengan krangka berfikir apatis, jenuh atau pasrah.
Bangkalan, 25 Oktober 2014
0 komentar:
Posting Komentar
silahakan tambahakan komentar anda