Sabtu, 25 Oktober 2014

Dimanakah Wujud Pengaduan Pelayanan ?


Bagaimanakah menurut anda tentang manajemen sistem pengelolaan pengaduan pelayanan di instansi anda? Baik dalam bentuk pengaduan pelayanan secara online atau manual ?

       Mungkin, bagi sebagai mahasiswa, dosen, kariyawan, satpam dan lainnya. Masalah pelayanan tak begitu diperdulikan. Tapi lain halnya bagi mereka yang sering menuntut kesempurnaan dan ketepatan kinerja. Jelas kedua hal yang berbeda titik temu. Yang satu dengan krangka berfikir apatis, jenuh atau pasrah. Sedang satunya dengan krangka berfikir disiplinisasi, keadilan dan amanah. Namun, keduanya tak dapat dipersalahkan, karena keduanya memiliki hak asasi serta alasan masing-masing.
       Sebagai contoh kajian. Seperti inilah sisi lain masalah pelayanan di kampus teman saya. Beberapa lembaga pengaduan pelayanan di kampusnya tak berfungsi normal. Tak jarang sebagian kariyawannya suka marah-marah dengan alasan dasar yang tak logis.
       Katanya, ada kariyawan perpustakaan yang menegur dengan kasar ketika seorang mahasiswa kesulitan melakukan sign card di loket masuk. Saat di dalam perpustaakaan, si mahasiswa mencoba bertanya kembali, “Amet pak, dimana ya letak buku filsafat?” tanyanya. “Carilah disana, kan sudah ada kode buku di samping almarinya. Atau kamu chaking saja di komputer itu?” jawab kariyawan tersebut. Anehnya, kariyawann tersebut akan bertingkah baik lagi sopan jika yang bertanya tadi adalah seorang perempuan cantik, manis, atau berbadan seksi.
       Ia juga pernah melihat, di ruang Administrasi dan Akademik, ada kariyawan yang memarahi puluhan mahasiswa saat mencoba bertanya perihal transparansi pengelolaan dana beasiswa Bidikmisi. Begitupun ditungkat fakulatas. Di ruang Pengadaan dan Pengelolaan Sarana-Prasarana, ada kariyawan yang melucuti nyali mahasiswa saat mengadukan masalah pelayanan sewa gedung dan transportasi bus kampus yang kurang efektif. Di depan ruang Rektor ada kariyawan yang malah mengusir mahasiswa. Karena si mahasiswa ngeyel ingin bertemu rektor secara langsung. Sedang si kariyawan berharap, apa yang dikatakan si mahasiswa dapat diwakilkan saja lewat dirinya. Bahkan sempat pula mahasiswa tersebut didatangi seorang satpam dan ditegur, diancam ingin diusir. Ada juga beberapa mahasiswa yang resah karena memiliki dosen yang ketika memberikan nilai akhir ujian kuliah tidak bersifat realistis sesuai proseduaral oprasional alias sekarepe dewe. Ia juga pernah melihat mahasiswa yang menulis dan berdemo menuntut maksimalisasi eksistensi lembaga kemahasiswaan di kampusnya.     
       Tak cukup sampai disitu. Teman saya juga pernah mendengar, kalau dikampusnya, mahasiswa jangan sampai berani-berani mengusik masalah anggaran secara mendalam. Baik masalah pengadaan, pembangunan, dan perawatan barang. Bisa panjang masalahnya.
       Belum lagi beberapa kariyawan yang suka nylewengin wewenang. “Sudah jelas-jelas ada tempelan dilarang masuk dengan kaos oblong, celana robek, dan sandal. E…maunya. Kariyawannya malah melanggar, memakai sandal. Namun jika mahasiswanya melanggar jelas kena tegur dan usir oleh satpam !” Kata teman saya.
       Pokoknya buuanyak deh sob masalah palayanan yang sekiranya kurang normal di kampus saya…
       Dapat dibayangkan, jika mahasiswa dan kariyawan terbiasa dengan pelayanan yang kurang maksimal. Seperti dalam teori keterkaitan. Maka mereka pun akan menelurkan benih-benih pelayanan yang tak maksimal di kalangan lainnya. Bila seringkali pelayanan tak maksimal, maka apa yang akan terjadi pada negeriku. Adakalanya akan lahir SDM yang berkualitas tak maksimal, yang kurang memiliki daya saing, kurang tahan kritik-saran, nantinya.
       Tekanan moral dan batin perlu menjadi senjata ultimatum ketika melihat pelayanan yang tak maksimal. Dan siapa pun dapat memberikannya. Asal tujuan dan esensinya jelas, untuk perbaikan pada akhirnya.
       Perbaikan manajemen sistem pelayanan jelas diperlukan. Selain itu kampus juga perlu memberanikan membuat trobosan pusat pelayanan  terpadu. Guna mereduksi ketimpangan dan miss-komunikasi. Kampus harus berani memberikan pelayanan maksimal. Sebab urusan pelayanan, rasanya bukan sekedar angin siang berlalu tanpa waktu. Tapi pelayanan ibarat ruh dari suatu keadaan, yang menentukan eksistensi keberadaan itu sendiri. Ditingkat kampus, payanan jelas menyangkut berbagai instrumen didalamnya. Tak hanya mahasiswa ! para pengajar tetap-kontrak, satpam, klining service, dan citivitas akademik lainnya. Lalu akan pergi kemana mereka jika kampus tak berani memberanikan trobosan-trobosan pelayanan yang lebih baik. Saat mereka mendapati pelayanan kurang maksimal tak sesuai porsi pelayanan pada mestinya jelas mereka bingung. Jika memang tak ada tempat untuk melakukan pengaduan, yang dapat segera menindak lanjuti apa yang diadukan. Jelas mereka akan seperti seseorang yang saya sebutkan pada paragraf pertama tadi, dengan krangka berfikir apatis, jenuh atau pasrah.

Bangkalan, 25 Oktober 2014


* Tulisan ini adalah cerita fiksi. Dan apabila terdapat kesamaan pada isi cerita, penulis mohon maaf sebesar besarnya. terimakasih

0 komentar:

Posting Komentar

silahakan tambahakan komentar anda